LAPORAN Badan Pemeriksa Keuangan menyatakan, departemen yang terkorup adalah Departemen Agama, Departemen Pendidikan Nasional, dan Departemen Kesehatan.
Suatu laporan yang memilukan karena mengungkapkan realitas sosial yang akut. Bangsa Indonesia sesungguhnya sedang menderita sakit parah karena ternyata semua departemen pemerintah yang mengurusi soal kesehatan bangsa dalam berbagai aspeknya telah bobrok.
Departemen Agama (Depag) mengurusi kesehatan mental spiritual bangsa, Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) mengurusi kesehatan intelektual bangsa, dan Departemen Kesehatan (Depkes) mengurusi kesehatan fisikal bangsa, semuanya telah busuk dan membusuk. Adakah bangsa ini akan pulih dari sakitnya bila korupsi makin meluas?
Secara berseloroh, saat dipertanyakan mengapa Depag paling besar korupsinya, jawabannya karena di situ banyak orang merasa tahu bagaimana cara menghapus dosa sehingga mereka tidak takut melakukan korupsi. Kini, di masyarakat telah berkembang anggapan, ibadah umrah adalah salah satu cara pemutihan atas dosa-dosa. Karena itu, ramainya umrah para artis, pejabat, dan politisi ditengarai sebagai bagian menghapus dosa-dosanya. Dalam kaitan ini, dimensi horizontal kehidupan sosial agama terlepas dengan melemahnya etika sosial bangsa, padahal kemiskinan kian besar, sementara dosa korupsi lebih merupakan dosa horizontal yang tidak bisa dihapus melalui jalur vertikal.
Belakangan ini Republika memasang iklan mencolok di halaman depan bagian atas soal Jihad Tumpas Korupsi. Di sebelah tengahnya ada pesan singkat yang bernada mengingatkan dari tokoh-tokoh terkemuka.
DERASNYA semangat untuk tidak memilih politisi busuk, salah satu sebabnya dikarenakan kian hari gerakan korupsi dalam berbagai level, malah semakin mangkrak. Bahkan kini ditambah suasana baru berupa korupsi legal yang dipermainkan para politisi di berbagai kantor dewan perwakilan rakyat. Begitu pula beberapa waktu lalu, kalangan pengusaha seolah sepakat untuk menghilangkan suap kepada birokrat dst.
MINGGU, 24 Maret 2002, Pusat Klinik Pendidikan Indonesia (PKPI) Yogyakarta mengundang saya dan rekan Darmanto Jatman menjadi pembicara dalam kegiatan seminar bertema AFTA 2003 dan Kesiapan Sekolah dan Orangtua Menghadapinya. Dalam forum itu, seorang siswa SMU, Tony, dengan sangat santun nyaris tak terdengar, bertanya: Para tokoh dan pemegang kekuasaan negeri kita saat ini adalah hasil didikan dalam negeri (maupun luar negeri) tahun 1970-1980-an. Dulu, mereka sarat dengan idealisme se-perti kami kaum muda sekarang ini. Namun, toh, mereka itu juga yang dewasa ini terlibat dalam carut-marut korupsi. Bagaimana dengan kami ini, berapa tahun lagi, kapan, dan bagaimana dapat mempersiapkan diri?
Pekan lalu, Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah mengumumkan 222 nama yang lulus verifikasi tahap pertama yang memenuhi persyaratan administratif calon (bakal calon) pemimpin KPK. Pendaftaran pemimpin komisi ternyata tercatat mencapai lebih 500 nama, bahkan terdapat nama pendaftar yang telah genap berusia 80 tahun. Mudah-mudahan ini bukan fenomena mencari jabatan atau popularitas, melainkan ekspresi kemarahan rakyat untuk ikut berperang melawan korupsi.
Untuk memberantas korupsi yang sudah menggurita saat ini, dibutuhkan keseriusan dan dukungan semua pihak. Sebab, dalam kenyataan niat itu baru sebatas ucapan oleh pemerintah dan para elite politik yang ditujukan untuk menenangkan masyarakat. Belum terlihat aksi konkret yang betul-betul sejalan dengan tujuan reformasi yang menghendaki korupsi diberantas sampai ke akar-akarnya.
Setelah lama ditunggu-tunggu, akhirnya Presiden Megawati Soekarnoputri mengeluarkan juga Keputusan Presiden tentang Pengangkatan Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Keppres ini memang sudah lama dinanti-nantikan, karena dalam Pasal 70 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang merupakan bagian dari Ketentuan Penutup UU tersebut, dinyatakan bahwa KPK harus telah melaksanakan tugas dan wewenangnya paling lambat satu tahun setelah UU ini diundangkan. Dengan demikian, paling lambat pada 27 Desember 2003 KPK harus sudah melaksanakan tugas dan wewenangnya.
Salah satu persoalan yang menarik dan perlu disorot dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 adalah masalah korupsi. Diprediksikan, Pemilu 2004 berpotensi menjadi ledakan bom waktu korupsi. Alih-alih menjadi pesta demokrasi rakyat, Pemilu 2004 berpotensi kuat berubah menjadi ajang pesta nasional para koruptor.
Kosakata korupsi dalam kamus Oxford, Inggris bila kita terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah perbuatan jahat, perbuatan busuk, perusak moral, penyuap negara dan pejabat negara yang menerima suap, dan penular kebusukan. Bergandengan dengan itu adalah collusion (kolusi) yang artinya adalah persekongkolan jahat terutama suatu kongkalikong antara pejabat negara atau pejabat perusahaan negara dengan pihak lainnya untuk menciptakan peraturan atau ketentuan dan undang-undang yang memberi ruang berlangsungnya kejahatan.