Demokrasi Para Malaikat?

If men were angels, no government would be necessary. (James Madison)

Hauskah memberikan suara dalam pesta demokrasi 5 April nanti? Bukankah sebagian calon anggota legislatif telah dikategorikan sebagai politisi busuk? Bukankah wajar jika menjadi pesimis lalu tidak memberikan suara pada hari pemilihan?

Rangkaian pertanyaan berupa gugatan ini kerap diungkapkan kelompok pemilih kritis yang terdidik dan umumnya ada di perkotaan.

Ada tiga argumentasi untuk menyatakan kekecewaan pemilih kritis, jangan diterjemahkan dalam perilaku tidak memilih, mengecam demokrasi, atau memimpikan masa lalu kembali.

Pertama, demokrasi tidak mengasumsikan calon anggota legislatif (caleg) atau politisi sebagai malaikat. Justru demokrasi berangkat dari asumsi hakikat manusia adalah haus kekuasaan serta mementingkan diri sendiri dan kelompoknya. Adalah dengan asumsi semacam ini, demokrasi yang dijalankan, salah satunya melalui instrumen pemilu, bukan ditujukan untuk memilih para malaikat, tetapi memilih manusia biasa dengan seluruh ketidaksempurnaannya. Karena itu, kontribusi terbesar dari demokrasi adalah memberikan kemerdekaan (liberty) bagi manusia untuk berbeda pendapat, menyatakan kepentingannya, membentuk kelompoknya, mengaspirasikan hasrat kekuasaannya dengan tujuan mencegah terjadinya dominasi satu kelompok terhadap kelompok lain.

Dalam rumusan berbeda, demokrasi justru amat dibutuhkan untuk mengendalikan hasrat haus kekuasaan. Sebaliknya, bentuk pemerintahan di luar demokrasi, seperti autokrasi dan monarki, justru menciptakan ruang yang hampir tidak terbatas untuk memenuhi hasrat kekuasaan itu. Tepat apa yang dikatakan EM Foster, penulis Inggris, demokrasi disebutkan membawa dua kegembiraan bagi manusia karena dua alasan. Alasan pertama karena demokrasi mengakui keragaman. Alasan kedua karena demokrasi mengizinkan adanya kecaman.

Kedua, mengingat demokrasi bukan untuk para malaikat, demokrasi sebagai hasil karya manusia tentu memiliki kelemahan. Satu di antara kelemahan utama muncul dari kemerdekaan untuk melakukan pengelompokan (factions), misalnya, terlihat dari banyaknya partai. Kehadiran berbagai fraksi menciptakan suasana permusuhan yang pada akhirnya membuat proses pembuatan keputusan menjadi amat lambat. Namun, meminjam pemikiran Madison, seorang pemikir politik Amerika Serikat, dalam Federalist Papers, kelemahan semacam ini jangan diatasi dengan menghilangkan sebab-musababnya (removing its causes).

Alasan yang dikemukakan Madison sederhana. Menghilangkan sebab-musabab sama dengan memberi saran membunuh kemerdekaan sendiri atau pilihan lain mengharuskan semua orang untuk memiliki pendapat, hasrat, dan kepentingan yang sama. Membunuh kemerdekaan berarti membunuh demokrasi, sementara pilihan lain sama sekali tidak dapat diterapkan karena mengingkari hakikat keragaman manusia. Karena itu, pilihan realistis yang dilakukan adalah dengan mengendalikan akibatnya (controlling its effect). Banyak cara dapat dilakukan untuk mengendalikan akibatnya itu, misalnya, dengan membuat garis pemisah yang jelas antara ketiga cabang kekuasaan pemerintah, yaitu legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tujuannya agar tak ada satu pun cabang kekuasaan menjadi amat dominan terhadap yang lainnya, yang dikenal dengan istilah menerapkan mekanisme checks and balances.

Ketiga, kekecewaan terhadap kualitas politisi dalam pemerintahan demokrasi adalah sesuatu yang wajar, bukan khas Indonesia. Anthony Giddens dalam Runaway World (1999) menyebutkan semakin sedikit para pemilih di negara maju memberikan suaranya dalam pemilu sebagai refleksi kekecewaan mereka terhadap politisi. Namun, ini tidak berarti mereka kehilangan kepercayaan terhadap proses demokrasi. Juga sebaiknya jangan diartikan politisi masa lalu lebih baik daripada politisi sekarang.

Yang terjadi sebenarnya, menurut Giddens, arus informasi yang lebih besar dan terbuka mengakibatkan skandal dan korupsi para politisi kini menjadi lebih sukar ditutupi daripada periode waktu lima puluhan. Dengan logika semacam ini, ada satu catatan menarik yang pantas digarisbawahi sehubungan informasi tentang politisi busuk. Terlalu gegabah dan terburu menafsirkan, politisi sebelum masa reformasi menjadi lebih baik daripada politisi sekarang. Atau dalam kalimat yang amat sarkastis, politisi antek Orde Baru menjadi lebih baik. Justru yang harus disimpulkan adalah informasi tentang politisi busuk itu dimungkinkan keluar karena proses demokrasi yang sedang dikembangkan. Informasi semacam ini pasti tak dapat dipaparkan secara luas kepada publik dalam masa Orde Baru. Ringkasnya, gagasan untuk tidak memilih karena informasi politisi busuk menjadi gagasan yang tidak tepat.

Dengan tiga argumentasi itu, proses politik demokratis yang dilakukan melalui pemilu sebaiknya tidak melulu dipahami dalam kerangka normatif, tetapi juga dalam kerangka realistis. Harapan pemilu dapat menyelesaikan seluruh persoalan negeri ini mungkin berangkat dari pemikiran normatif, yang jika tidak hati-hati akan membawa kita ke dalam jebakan pemikiran utopis.

Seperti kalimat James Madison yang dikutip di awal tulisan, kita membutuhkan pemerintahan justru karena kita sebagai manusia, bukan malaikat. Dalam tataran amat praktis, ini berarti ada keharusan untuk melakukan proses deskaralisasi atas seluruh caleg partai.

Tidak berlebihan untuk menyatakan, siapa pun tokoh pemimpin partai, mereka adalah manusia biasa. Apakah itu Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono, Amien Rais, Abdurrahman Wahid, Yusril Ihza Mahendra, mereka pasti memiliki ketidaksempurnaan seperti layaknya manusia. Mereka pasti dan akan pernah melakukan kekeliruan dalam satu momen kehidupannya. Mereka juga pasti memiliki hasrat terhadap kekuasaan, yang setelah diperoleh selalu ada bujukan untuk menyalahgunakannya.

Dengan pemikiran semacam ini, yang perlu menjadi agenda utama para pemilih kritis bukan pada isu memilih atau tidak memilih, tetapi bagaimana membuat demokrasi yang sedang kita jalani menjadi lebih relevan bagi kehidupan publik.

Untuk itu, mungkin saran Giddens menarik direnungkan. Ia menyarankan kebutuhan untuk mendemokrasikan demokrasi (democratizing democracy). Hal ini, misalnya, dapat dilakukan dengan melanjutkan devolusi kekuasaan dari tataran nasional ke tataran lokal sehingga kekuasaan menjadi lebih dengan masyarakat. Cara lain dengan melanjutkan tindakan antikorupsi pada seluruh lapisan dan terus mendorong transparansi yang lebih besar dalam isu-isu politik yang mempengaruhi publik. (Makmur Keliat Pengajar pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia)

Tulisan ini diambil dari Kompas, Kompas, Kamis, 01 April 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan