Retorika Antikorupsi Capres [14/06/04]

Semua calon presiden menjanjikan kebijakan antikorupsi. Sebagian pihak, yang sudah maklum dengan janji pemilu, tidaklah merasa perlu buang waktu menguji apakah itu sungguh-sungguh atau sekadar retorika. Isu korupsi pantas dilirik sebagai tema kampanye yang seksi untuk menarik simpati pemilih. Hasil tracking survey International Foundation for Election System pada 1-8 Mei 2004 menyebutkan penanggulangan korupsi merupakan isu kebijakan paling penting (30 persen) bagi pemilihan presiden, melebihi harapan dalam penciptaan lapangan kerja (26 persen).

Di samping platform resmi yang mereka sampaikan ke Komisi Pemilihan Umum, ada beragam peneguhan dari capres dalam kampanye, mungkin, guna meyakinkan pemilih agar janji mereka tak dianggap omong kosong. Amien Rais, misalnya, berikrar akan mundur kalau gagal membasmi korupsi. Wiranto sesumbar meniru cara Pemerintah China menerapkan hukuman mati bagi koruptor. Susilo Bambang Yudhoyono dan Megawati berjanji membentuk kabinet yang tidak korup untuk merealisasikan kebijakan antikorupsi mereka. Hamzah malah memberi batas waktu selama 100 hari pemerintahannya untuk menyeret koruptor ke pengadilan.

Sesungguhnya seberapa besar otoritas presiden membasmi korupsi? Ada baiknya menyimak pernyataan Presiden Megawati dalam wawancara dengan stasiun televisi belum lama ini. Kira-kira Mega mengatakan begini: pemberantasan korupsi bukan wewenang pemerintah saja, tapi juga adalah wewenang legislatif dan yudikatif. Ia memberi contoh bagaimana usaha keras dari pihak kejaksaan menyeret koruptor tapi dibebaskan MA.

Dalam hal tertentu pembelaan Mega itu mungkin ada benarnya. Pihak kejaksaan sendiri mengklaim sejak tahun 2002 hingga 2004 lebih dari 1000 kasus korupsi dilimpahkan ke pengadilan. Tapi berapa yang bisa dijebloskan ke penjara, barangkali hanya hitungan jari.

Kita tidak tahu berapa ratus kasus yang dipetisikan di kejaksaan atau polisi. Terhadap fakta itu, kejaksaan boleh menuding kelemahan berada di pundak hakim. Sebaliknya, hakim juga boleh berdalih bahwa surat dakwaan jaksa dibuat kabur atau cacat hukum. Dalam eksaminasi kasus korupsi panel ahli menemukan kelemahan mendasar dalam dakwaan jaksa, bukan semata-mata masalah integritas hakim. Bukankah ada pendapat hakim hanya mengadili apa yang didakwakan jaksa?

Yang terpenting, apakah tindakan represi itu telah menimbulkan rasa takut bagi koruptor? Rasanya tidak. Penyelundupan gula dan beras malah luar biasa. Penegakan hukum dalam kasus megakorupsi yang menjadi perhatian publik, seperti kasus Bantuan Likuidasi bank Indonesia (BLBI), dirasakan sangat lamban dan lunak. Hingga awal tahun 2004 dari 58 perkara BLBI baru 16 kasus yang telah diproses di pengadilan, sisanya masih mengendap dan dihentikan penyidikannya. Sepuluh orang pengemplang dana BLBI kabur ke luar negeri.

Entah mengapa semua capres lebih menitikberatkan pada pendekatan hukum. Memang tidak keliru, karena penegakan hukum yang keras dan tanpa pandang bulu dapat segera meraih kepercayaan masyarakat bahwa pemerintah tidak omong kosong. Dan sudah ada Komisi Pemberantasan Korupsi yang punya kewenangan luar biasa. Tapi itu agak utopis dalam jangka pendek dapat dicapai, mengingat masalah mafia peradilan sudah demikian parah. Dan masalah kejujuran aparat penegak hukum tidak pernah disentuh agenda reformasi hukum nasional sejauh ini, yang lebih memprioritaskan perbaikan metode, undang-undang, dan pembentukan kelembagaan baru.

Presiden dan Ketua MA, sesungguhnya memiliki kewenangan yang besar di bawah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum untuk memecat hakim nakal. Tapi seingat saya hanya sekali undang-undang itu digunakan, yaitu dalam kasus Manulife yang menjadi perhatian dunia. Namun, akhirnya kebijakan pemecatan itu harus dicabut kembali karena di PTUN dinilai catat prosedur. Tapi reformasi birokrasi, memecat jaksa dan polisi nakal, membatalkan pelantikan bupati atau gubernur yang terlibat politik uang atau mengganti pejabat tinggi atau direktur BUMN presiden memiliki kewenangan penuh.

Sejak Soeharto jatuh, ada tiga kali kesempatan emas untuk membersihkan MA yakni ketika harus mengangkat hakim baru untuk mengganti mereka yang pensiun. Semestinya MA sekarang sudah bersih kalau saja yang diajukan MA dan dipilih DPR adalah hakim yang memiliki integritas tinggi. Padahal kita tahu untuk memutus mata rantai mafia peradilan harus dimulai dari tubuh MA.

Pidana mati sudah diatur di dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Namun, hukuman itu hanya bisa diterapkan dalam keadaan tertentu saja, yaitu pada waktu negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana alam nasional, dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter, atau bagi koruptor kambuhan. Jadi, janji Wiranto sepertinya jauh panggang dari api, kecuali ada revisi ketentuan hukumnya dulu. Pidana mati sampai sekarang belum efektif. Presiden Megawati dalam satu kesempatan mengatakan ketidaksetujuannya menerapkan hukuman mati bagi koruptor.

Masalah korupsi sesungguhnya bukan semata karena kegagalan lembaga hukum, tapi merupakan kelemahan fundamental pemerintahan secara keseluruhan. Terutama kelemahan parlemen, akuntabilitas kepemimpinan politik dan pejabat tinggi, pengelolaan keuangan dan anggaran, birokrasi dan profesionalisme pegawai negeri, serta kebebasan sipil dalam ranah publik. Karenanya, pemberantasan korupsi tidak harus berdiri sendiri, tapi menjadi bagian dari upaya pemulihan ekonomi dan pelayanan umum secara luas.

Siapa pun presiden yang terpilih nanti, membawa negeri ini keluar dari cengkraman rezim korupsi barangkali bukan perkara mudah.

Terompet perang terhadap koruptor hanya bisa ditiup oleh mereka yang bukan koruptor, tidak terikat dan kompromi pada kepentingan bisnis donatur dana politik, serta yang paling utama punya nyali untuk melakukan perubahan dengan kalkulasi politik yang jitu.(Teten Masduki, Koordinator ICW)

Sumber: Kompas, 14 juni 2004

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan