Kasus L/C BNI Bisa Perkuat Alasan Pemerintah Jual BUMN; PPATK Harus Terlibat Penuh [14/06/04]
Turunnya kepercayaan masyarakat kepada Bank BNI karena kasus L/C fiktif Rp1,7 triliun, dapat memperkuat alasan pemerintah untuk memprivatisasi bank tersebut.
Ekonom Indef Aviliani mengatakan itu dalam sebuah acara di Jakarta, akhir pekan lalu. Menurut Aviliani, kasus L/C (letter of credit) fiktif BNI yang diduga terkait masalah politik, yakni untuk dana kampanye salah satu calon presiden, bila tidak dijelaskan ke masyarakat dapat menimbulkan pandangan bahwa bank-bank pemerintah memang merupakan alat politik.
''Dari sini akan timbul pendapat bahwa lebih baik diprivatisasi saja, atau sebaiknya privatisasi dilegalkan saja. Terutama karena kekhawatiran bank pemerintah akan terus dipolitisasi kalau terus-menerus dipegang oleh pemerintah,'' tuturnya.
Bila persepsi masyarakat itu terus menguat, Aviliani khawatir upaya berbagai pihak yang menolak aksi privatisasi asal-asalan pemerintah, akan sia-sia. Pemerintah pun akan memanfaatkannya dengan melanjutkan rencana privatisasi BNI.
Meski demikian, Aviliani menegaskan, hal itu tidak berarti pemerintah bisa begitu saja melepas tanggung jawab. Pemerintah masih perlu turun tangan dalam menyelesaikan pengembalian dana kasus BNI.
''Jangan hanya karena satu faktor ini menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat. Terutama, karena BNI perusahaan publik. Kalau perusahaan publik saja seperti ini, bagaimana dengan (bank-bank pemerintah) yang lain,'' tandasnya.
Di sisi manajemen, Aviliani berpendapat hasil pengembalian dana yang masih 0%, bisa saja disebabkan kurangnya rasa tanggung jawab pihak manajemen yang baru. Karena kasus L/C fiktif itu terjadi pada saat kepemimpinan direksi yang sebelumnya.
''Kalau ada kasus seperti sekarang, seharusnya manajemennya jangan langsung diganti. Sebab, itu menyulitkan. Seperti sekarang, manajemen bisa tidak bertanggung jawab, dia hanya menyatakan recovery rate (tingkat pengembalian)-nya itu nol saja,'' paparnya.
Menurut Aviliani, meski telah terjadi penggantian manajemen, dewan direksi yang baru tidak boleh begitu saja lepas tangan, dengan hanya akan menghapusbukukan hasil temuan yang ada. Mereka harus tetap mengupayakan semaksimal mungkin pengembalian dana tersebut.
''Tetap harus diusut, tidak bisa langsung dinolkan. Walaupun untuk sementara itu akan di-off balance sheet (di luar laporan keuangan), karena itu akan mengganggu neraca. Tapi, itu tetap harus ditelusuri. Kalau sampai nol kan Rp1,7 triliun itu sangat mengganggu kondisi permodalan bagi BNI,'' ujarnya.
Keterlibatan PPATK
Aviliani berpendapat, keterlibatan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam menelusuri transaksi dana L/C fiktif BNI sangat tepat. Sayangnya, hingga kini PPATK belum terlibat secara penuh.
''Menurut saya, harus keterlibatan penuh karena segala sesuatunya itu ada, tetapi kemudian aliran dana itu tidak berlanjut. Ini harus diperjelas,'' tuturnya.
Menyinggung indikasi persekongkolan antarinstitusi terkait, Aviliani menyatakan itu bukan merupakan isu lagi. Apalagi, persekongkolan hampir selalu pada semua kasus yang ada di Indonesia.
''Memang kesulitan kita selalu mengapa semua jadi tidak jelas semacam itu, karena semua institusi yang terkait selalu melakukan hal di luar yang normatif. Aparat kita masih parah,'' ujarnya.
Pengembalian dana pembobolan BNI melalui L/C fiktif yang masih 0% tersebut diakui Direktur Utama BNI Sigit Parmono, Kamis lalu (Media, 11/6). Menurut dia, pihak BNI kesulitan melakukan pengikatan terhadap aset yang diserahkan para pelaku secara sukarela.
Berdasarkan daftar yang disusun BNI, aset yang telah diserahkan pelaku kepada BNI mencapai 12 aset dengan nilai Rp827 miliar. Namun, setelah penelitian lebih mendalam terhitung hanya enam aset yang bisa diterima BNI. Itu pun nilainya hanya Rp74,581 miliar, jauh di bawah pengakuan pelaku semula.
Menurut Sigit, pengikatan aset sulit dilaksanakan karena pihak yang mewakili pelaku berganti-ganti, atau ada pula aset yang ternyata dimiliki oleh pihak yang berbeda.
Seperti diketahui, pada akhir September 2003, BNI Cabang Kebayoran Baru kebobolan Rp1,7 triliun akibat L/C fiktif. Meski sebagian dana telah berhasil dikembalikan, namun kasus ini masih menyebabkan BNI berpotensi merugi Rp1,3 triliun.
Pembobolan dilakukan tiga pengusaha dengan L/C dari bank asal Kongo dan Kenya. Para pelaku tersebut mendatangi BNI Kebayoran Baru dan mengajukan kredit ekspor pasir kuarsa dan minyak residu ke Kongo dan Kenya.(Ndy/E-5)
Sumber: Media Indonesia, 14 Juni 2004