Korupsi terbesar di Indonesia tahun 2004 dilakukan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, disusul kepala daerah, aparat pemerintah daerah, direktur badan usaha milik daerah, serta pimpinan proyek. Demikian catatan Indonesia Corruption Watch.
Survei Transparency International Indonesia (TII) yang mengungkapkan bahwa Bea Cukai dan Mabes Polri merupakan peringkat atas ladang korupsi membuat pemerintah tersengat. Menteri Keuangan Yusuf Anwar, menteri terkait dalam penataan Bea Cukai, mengaku tidak peduli atas temuan yang dilaporkan LSM terkemuka tersebut.
Komisi Pemberantasan Korupsi menggelar pembicaraan jarak jauh (teleconference) dengan Badan Pengawas Pasar Modal Amerika Serikat, terkait dengan kasus dugaan suap yang dilakukan oleh Monsanto Company kepada 140 pejabat tinggi Indonesia dan keluarganya. Pembicaraan jarak jauh itu baru sebatas penjajakan antara KPK, Bapepam Indonesia, dan Bapepam AS (Securities and Exchange Commission/SEC).
Korupsi di Indonesia tidak lagi dilakukan hanya oleh pejabat tinggi, tapi merembet ke pejabat yang paling rendah. Juga tidak hanya tumbuh di kota besar, tapi sudah menyebar ke pelosok kota kecil, bahkan ke tingkat kecamatan dan desa. Ironisnya, pemberantasan korupsi yang sudah menjadi tekad semua pihak ternyata tidak ada dampaknya di lapangan. Bahkan ada kesan muncul solidaritas salah tempat. Sekelompok orang, sekelompok organisasi, bahkan juga partai politik melindungi koleganya yang ketahuan terlibat korupsi. Semua orang gampang berteriak berantas korupsi, tapi begitu kelompoknya sendiri yang menjadi tersangka kasus korupsi, terjadilah toleransi kebablasan.
Perburuan koruptor dan aset korupsi ke luar negeri telah menjadi salah satu agenda pemerintah dalam pemberantasan korupsi sebagai langkah melaksanakan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Langkah pembentukan tim untuk memburu aset dan tersangka/terpidana di luar negeri merupakan tindakan represif semata-mata. Seharusnya langkah ini tidak perlu terjadi jika sejak 1998 pemimpin nasional dan petinggi hukum memahami benar bahwa kerugian negara karena korupsi telah berbuntut kemiskinan.
Publikasi hasil riset Transparency International Indonesia (TII) menyebutkan tiga instansi paling korup. Pertama bea cukai (62 persen), kedua kepolisian (56 persen), dan ketiga TNI (46 persen).
Keluarnya Indonesia dari daftar hitam Financial Action Task Force (FATF) sebagai negara yang tidak kooperatif dalam memberantas pencucian uang tidak berarti sudah tidak ada masalah dalam pemberantasan pencucian uang.
Wonosobo sejak dua hari lalu menjadi pembicaraan di tingkat nasional. Daerah yang lebih dikenal sebagai tempat Dataran Tinggi Dieng itu menjadi kabupaten/kota paling bersih dari tindak pidana korupsi, berdasarkan survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) di 21 kota/kabupaten (Koran Tempo, 17/2). Survei itu memakai responden kalangan pebisnis lokal, nasional, dan internasional.
Kisah pelarian koruptor Indonesia ke luar negeri bukan lagi cerita baru. Kasus terakhir terjadi pada Sudjiono Timan dan Irawan Salim. Peristiwa yang terus terulang ternyata tak membuat negeri ini bersicepat berbenah diri. Sanksi cegah-tangkal (cekal) yang diandalkan pemerintah seperti macan di atas kertas. Koruptor kakap pun melenggang riang angkat kaki dari Indonesia. Cekal tidak ada artinya kalau aparat di lapangan ikut bermain, kata Romli Atmasasmita, Koordinator Forum Pemantauan Pemberantasan Korupsi.
Memburu koruptor di luar negeri tentu tak semudah menangkap maling motor. Aksi mereka mungkin tak segagah gaya polisi menangkap bandar toto gelap (togel) dalam tayangan kriminal di televisi. Tak ada aksi bentak-bentak, tak ada aksi main tonjok, dan tak ada aksi dar-der-dor dari pucuk pistol. Memburu koruptor butuh cara elegan, cerdas, dan bermartabat. Apalagi para pengembat uang rakyat ini sering menjadi warga terhormat di negeri orang. Tentu bermacam kesulitan bakal menghadang.