Memberantas Pembalakan Liar

Sudah terlalu sering kita membaca berita tentang permintaan agar polisi bertindak tegas dalam kasus pembalakan liar (illegal logging), dari presiden sekalipun. Selama ini boleh dibilang bahkan gemanya pun tak ada. Karena itu, permintaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar polisi menjadikan 32 cukong pembalakan liar sebagai target operasi, sebagaimana dikemukakan Menteri Kehutanan M.S. Kaban, hanya akan bermakna jika memang diikuti tindakan nyata dan tuntas selekasnya.

Dengan menyatakan skeptisisme itu, bukan berarti permintaan Presiden sama sekali tak berharga. Pada saat semua orang lupa, permintaan seperti itu setidaknya berfungsi untuk mengingatkan siapa pun bahwa masalah yang ada masih bercokol, barangkali juga kian gila-gilaan, dan agar polisi atau aparat yang berwenang tidak tidur saja. Masalahnya, sudah terlalu banyak janji dan perkataan yang seolah-olah mengembuskan angin surga--berantas korupsilah, pemerintahan yang bersihlah--padahal tak ada wujud konkretnya.

Pembalakan liar--artinya sama dengan mencuri, kasarnya menjarah, dan karena itu tak ada serupiah pun uang yang masuk ke kas negara--jelas merugikan. Kaban menyebut angka Rp 30-45 triliun per tahunnya, berdasarkan perkiraan kayu yang hilang 50-60 juta meter kubik. Nilai ini kira-kira setengah dari besar subsidi bahan bakar minyak yang mesti dicabut demi membuat aman anggaran belanja negara.

Namun, lebih dari kerugian dalam nilai riil uang, pembalakan liar juga mengakibatkan kerusakan hutan; potensi kerugiannya bisa tak terukur. Jika ini dibiarkan, bukan mustahil kerusakan di bidang lain bakal tak terhindarkan, yakni ambruknya kepercayaan terhadap integritas aparat yang mestinya melakukan pengawasan dan aparat dari instansi pemerintah lainnya yang terkait.

Selain jumlahnya yang tak memadai dibandingkan dengan luas hutan yang ada, soal integritas aparat pengawas memang termasuk faktor yang menyebabkan pembalakan liar kian merajalela. Bukan rahasia, di antara mereka ada yang bisa disuap. Di pihak lain, ada juga oknum beberapa instansi pemerintah terkait dan militer yang dituding ikut membuka peluang aksi pencurian dan penggelapan kian lebar. Hal ini menjadi salah satu temuan investigasi Environmental Investigation Agency (EIA) dengan Telapak, mitranya dari Indonesia, di Papua.

Kaban menyebut perlunya amendemen Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagai syarat agar penegakan hukum dalam kasus pembalakan liar bisa efektif. Hal ini bagus-bagus saja. Tapi, jika dengan pasal-pasal yang lama sekalipun tak pernah terdengar kegigihan aparat dalam menjalankan tugasnya, amendemen ribuan pasal-- kalau ada--juga tampaknya bakal cuma jadi kegiatan rutin dan kosong, sama seperti banyak amendemen yang lain dalam kasus berbeda. Tanpa kemauan politik dan tindakan nyata, memberi bukti, kita hanya akan kembali ke tempat yang itu-itu juga.

Tulisan ini merupakan editorial Koran Tempo, 24 Februari 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan