Putusan MK yang Kendurkan Semangat Antikorupsi; Ruki Ngotot Tetap Menyidik

Putusan MK (Mahkamah Konstitusi) tentang UU KPK (Komisi Pemberantasa Korupsi) berbuntut panjang. Sampai-sampai pimpinan KPK perlu meluruskan berbagai tafsiran putusan tersebut agar tak menyesatkan publik. Sebaliknya, pemohon judicial review bakal menjadikan putusan itu untuk membatalkan persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ada apa di balik putusan tersebut?

Permohonan uji material terhadap UU Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akhirnya kandas. MK dalam persidangannya pekan lalu menolak permohonan pengujian pasal 68 undang-undang tersebut yang diajukan Bram H.D. Manoppo, Dirut PT Putra Pobiagan Mandiri sekaligus tersangka korupsi pengadaan helicopter MI-2 oleh Pemprov Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).

Bram mengajukan permohonan uji material melalui tiga pengacaranya, yakni M. Assegaf, Asfifudin, dan Rahmawati. Bram menilai Pasal 68 Undang-Undang No. 30/2002 yang menjadi dasar pengambilalihan kasusnya oleh KPK, dinilainya tidak sesuai dengan UUD 1945.

Pasal tersebut menyatakan semua penanganan kasus korupsi yang belum selesai saat KPK dibentuk dapat diambil alih oleh lembaga ini. Di mata pemohon, ketentuan itu bertentangan dengan Pasal 28i Ayat 1 UUD 1945, yang menolak asas berlaku surut alias retroaktif. Di situ dinyatakan: hak setiap orang untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.

Karena merasa haknya dilanggar, Bram memohon agar MK menguji Pasal 68 tersebut. Untuk memperkuat permohonannya, ia juga menyebut Pasal 70 dan 72 Undang-Undang KPK. Pasal 70 menyatakan KPK mulai melaksanakan tugas dan wewenang satu tahun setelah undang-undang itu diundangkan. Adapun Pasal 72 menegaskan undang-undang itu mulai berlaku saat tanggal diundangkan. UU KPK diundangkan pada 27 Desember 2002, berarti pula lembaga ini baru berfungsi pada akhir 2003. Sang pemohon perlu mengungkapkan hal ini karena pengadaan helikopter terjadi pada 2001 sampai Juli 2002, jauh sebelum KPK berdiri.

Dalam persidangan, putusan uji material dihasilkan dengan suara bulat alias tidak ada dissenting opinion (pendapat berbeda). Majelis hakim konstitusi berpendapat bahwa Pasal 68 UU Nomor 30/2002 sama sekali tidak mengandung azas retroaktif sehingga tidak berlawanan dengan UUD 1945. UU KPK sendiri sama sekali tidak mengandung azas retroaktif (berlaku surut), kata majelis hakim yang diketuai Jimly Asshiddiqie dalam persidangannya.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim konstitusi berpendapat Pasal 68 UU KPK tidak memenuhi salah satu dari dua persyaratan pemberlakuan hukum secara retroaktif. Pertama, menyatakan seseorang bersalah karena melakukan suatu perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana. Kedua, menjatuhkan hukuman atau pidana yang lebih berat daripada hukuman yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Menurut penilaian MK, pengambilalihan yang dilakukan berdasarkan Pasal 68 KPK tidak mengubah sama sekali sangkaan atau tuduhan, yang secara logis berarti pula mengubah atau menambah pidana terhadap perbuatan yang penanganannya diambil alih KPK.

Kalaupun argumen pemohon -bahwa penyidikan KPK terhadap Bram menggunakan asas retroaktif-digunakan, maka hal tersebut tidak berkaitan dengan masalah konstitusionalitas materi undang-undang a quo, melainkan masalah penerapan undang-undang.

Kalau menyangkut penerapan undang-undang, MK tentu saja tidak memiliki kewenangan, kata Jimly. Hal senada juga dikemukakan Mukhtie Fadjar dalam jumpa pers seusai persidangan.

Lebih lanjut Jimly membeberkan, kewenangan yang dimiliki KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK adalah melanjutkan proses hukum yang telah ada alias bersifat prospektif. Kewenangan itu baru bisa dilaksanakan apabila memenuhi salah satu keadaan yang diatur Pasal 9 UU KPK, jelas Jimly.

Belakangan putusan MK menjadi

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan