KPK Usut Kasus Korupsi di Kantor Pajak
Komisi Pemberantasan Korupsi sedang mengusut kasus korupsi di kantor-kantor pajak. Sudah ada kasus yang sedang kami tangani, kata Ketua Komisi Taufiequrachman Ruki seusai penandatanganan nota kesepakatan pemberantasan korupsi dengan Direktorat Jenderal Pajak di Jakarta kemarin.
Menurut Ruki, Komisi kini sedang mengusut dua motif korupsi yang biasa terjadi di kantor-kantor pajak. Ruki tak menyebut berapa kasus yang ditangani dari dua motif itu. Namun, menurut Ruki, motif itu terkait dengan adanya tawar-menawar besaran pajak yang harus dibayar antara pembayar dan petugas pajak dengan motivasi yang tidak jelas. Praktek seperti ini kami tak bisa terima, kata Ruki.
Penyimpangan pembayaran restitusi, menurut Ruki, merupakan motif lain yang umum terjadi di kantor pajak yang kini sedang diusut Komisi. Dalam motif ini, petugas pajak menilap sejumlah restitusi yang seharusnya dikembalikan ke wajib pajak.
Dengan telah ditekennya nota kesepahaman ini, kata Ruki, Komisi bisa leluasa masuk untuk mengusut korupsi ke kantor pajak. Selama ini keberadaan Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi tak mempan menembus birokrasi sebuah departemen untuk pemeriksaan.
Kini kami tak perlu lagi izin Menteri Keuangan kalau akan memeriksa, kata Ruki, bisa langsung ke kantor pajak bersangkutan.
Dalam sambutannya, Ruki mengingatkan pembangunan negara ini dibiayai dari utang. Sementara itu, penerimaan negara untuk membayarnya 80 persen ditopang penerimaan pajak. Sekarang ada 30 ribu petugas pajak, bisa terhitung besarnya andil Saudara terhadap negara ini, kata dia, tapi ini dikotori oleh oknum yang korup.
Berbekal nota kesepakatan ini, kata Ruki, komisinya akan mengusut penyimpangan-penyimpangan pajak yang berlatar belakang korupsi. Nota itu sendiri mengatur kerja sama penyelidikan dan penyidikan korupsi dan pidana pajak antara Komisi dan Ditjen Pajak, berikut pertukaran data dan informasi.
Selama ini, Ruki menambahkan, pihaknya mendiamkan kasus-kasus korupsi pajak karena menunggu perbaikan sistem yang dijanjikan pemerintah. Dengan telah berjalannya pemberkasan elektronik (e-filling), toleransi itu tak ada lagi. Kalau sistem ini masih dikotori, kami akan masuk menindak, ujarnya.
Di depan Menteri Keuangan Jusuf Anwar, Ruki menyitir hasil survei Transparency International Indonesia yang menyebut Ditjen Pajak merupakan lembaga terkorup ketiga. Di belakang Ruki, Jusuf hanya mesem menanggapinya.
Namun, Jusuf juga menegaskan, dirinya akan berkomitmen memerangi korupsi untuk menekan kebocoran penerimaan negara di departemennya. Selain meminta bantuan Komisi, menurut Jusuf, Departemen Keuangan juga akan membentuk Komisi Pengawas Pajak dan Bea-Cukai untuk tujuan serupa.
Pembentukan Komisi Pengawas ini saat disampaikan Bappenas ke DPR harus dibentuk dalam masa seratus hari pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Namun, dalam dokumen-dokumen berikutnya, pembentukan Komisi ini dicoret dari daftar program seratus hari.
Menanggapi niat Komisi yang tak akan mentolerir korupsi pajak, Dirjen Pajak Hadi Poernomo menyambutnya. Tapi Hadi menampik jika telah terjadi penyimpangan restitusi di kantor pajak yang akan diusut Komisi Korupsi.
Sistem pembayaran restitusi, kata Hadi, kini sudah diperbaiki dengan memangkas waktu pengembalian. Jika sebelumnya pengembalian memakan waktu satu tahun, kini hanya satu pekan untuk pajak pertambahan nilai bagi wajib pajak patuh. Sementara itu, restitusi untuk pajak penghasilan jika sebelumnya satu tahun kini disingkat menjadi dua bulan. Bagi yang tidak patuh, pengembalian selama enam bulan. Ini kan terobosan, kata Hadi.
Pemendekan waktu pengembalian ini, menurut Hadi, ditujukan untuk meredam korupsi petugas pajak. Selama ini, kata Hadi, potensi korupsi di kantor pajak terjadi akibat wajib pajak tidak mengisi surat pemberitahuan tahunan (SPT) pajak secara benar, jelas, dan lengkap. Kekurangan ini menyebabkan celah petugas pajak bernegosiasi dengan wajib pajak untuk korupsi. bagja hidayat
Sumber: Koran Tempo, 24 februari 2005