MENGEJUTKAN! Itulah perasaan saya, atau mungkin yang lainnya juga, begitu mendengar berita Jumat (8/4) malam lalu Mulyana W Kusumah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di kamar 609 Hotel Ibis, Slipi, Jakarta.
Kwik Kian Gie akhirnya meminta maaf kepada Direktur Jenderal Pajak. Di sebuah koran nasional, Kwik menyatakan permintaan maafnya, setelah somasi direktur agar Kwik membuktikan artikel yang ditulisnya di koran yang sama bahwa sekitar Rp 140 triliun pajak hilang dikorupsi.
Berbagai ragam reaksi bermunculan ketika orang mendengar berita bahwa Mulyana W Kusuma, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini, jelas, memiliki news value sangat tinggi.
Dua bulan terakhir ini kerumunan massa yang kemudian meningkat menjadi amuk massa, yang disulut oleh tindak korupsi muncul di sejumlah tempat. Misalnya di Temanggung, selain amuk massa juga disertai pengunduran diri secara berjemaah sejumlah pegawai negeri, mewarnai proses pemeriksaan Bupati Totok Ary Prabowo yang diduga korupsi. Dan yang terakhir terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) (28/3). Pengerahan massa, yang acap kali berujung pada tindak kekerasan massal menjadi tontonan yang setiap saat bisa disaksikan di Indonesia. Massa, telah menjadi alat pembenaran dan disodorkan sebagai simbol kebenaran yang selalu dipaksakan dalam setiap proses penyelesaian masalah.
Adalah Munir, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pejuang hak asasi manusia yang tewas dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam September tahun lalu. Tanpa rasa takut, Munir memulai perjuangan gigihnya justru ketika kuku-kuku rezim Soeharto tajam menghujam bumi persada.
Penangkapan Mulyana W Kusuma oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyogok auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laksana berita duka di siang bolong. Betapa tidak, Mulyana, selain anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga dosen dan dikenal pejuang kebenaran dan pemikirannya sering dijadikan referensi media massa. Banyak kalangan yang tidak percaya, malahan ada yang menuding penangkapan itu sebagai konspirasi atau jebakan politik untuk melindungi orang besar.
Insiden penangkapan anggota KPU Mulyana W Kusumah karena upaya menyuap petugas BPK sebenarnya hanyalah 'permukaan' dari masalah korupsi pengadaan barang pemilu yang melibatkan KPU, baik di tingkat nasional maupun lokal. Peristiwa ini seharusnya tidak begitu mengejutkan bila kita tinjau kembali sistem dan proses pengadaan barang logistik Pemilu 2004 yang sarat dengan keganjilan dan kontroversi. Ini mungkin baru letupan kecil dari serangkaian bom waktu yang belum meledak.
Belakangan ini semangat pembelaan korps tampak kuat menyala. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana korps Kejaksaan Agung bereaksi keras atas sebutan kampung maling oleh anggota DPR dalam rapat kerja mereka. Kini korps pajak melalui Dirjen Pajak juga bereaksi serupa atas tulisan Kwik Kian Gie dan pernyataan Faisal Basri mengenai kebocoran pajak (potential tax lost). Ancaman somasi Dirjen Pajak bahkan telah memaksa Kwik Kian Gie untuk meminta maaf.
Kasus dugaan penyuapan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W. Kusumah terhadap pejabat Badan Pemeriksa Keuangan semakin membutuhkan penanganan cepat. Kasus ini berkembang ke arah yang kurang menguntungkan semua lembaga yang berkaitan. Seakan-akan yang terjadi sekarang adalah kolaborasi Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi di satu pihak berhadapan dengan Komisi Pemilihan Umum di pihak yang lain.
Melihat banyak orang terpandang tergoda uang, kita teringat Ivan Illich. Buat apa sekolah kalau hanya untuk mengejar uang! Namun sekolah sudah salah arah. Sekarang sekolah lebih banyak menelurkan generasi mesin pencetak uang. Enaknya uang sudah mirip candu dirasakan sejak anak masih di sekolah.