Privatisasi Perpajakan dan Peran Praktisi Pajak
Sungguh menarik mencermati kontroversi korupsi di Ditjen Pajak baru-baru ini. Kwik Kian Gie sudah meminta maaf atas somasi Ditjen Pajak, sementara Faisal Basri masih bersikukuh menyatakan ada potensi pajak Rp. 40 triliun yang hilang, diantaranya karena korupsi.
Memang terdapat kontradiksi besar jika kita melihat kinerja Ditjen Pajak kita. Di satu sisi, pendapatan pajak terus naik. Penerimaan perpajakan selama 1969-1993 sebesar Rp149,46 triliun, 1994- 2000 sebesar Rp520,65 triliun, sementara 2001-2004 mencapai Rp778,112 triliun (Abimanyu, 2004). Rasanya jempol patut kita acungkan kepada aparat pajak kita.
Di sisi lain, beberapa studi menyatakan bahwa masyarakat dan kalangan bisnis secara konsisten mempersepsikan Ditjen Pajak sebagai salah satu lembaga terkorup, diantaranya penelitian ICW tentang pola korupsi perpajakan (ICW, 2001), survei korupsi nasional Partnership for Governance Reform in Indonesia (Partnership, 2001), terakhir indeks persepsi korupsi Transparency International Indonesia (TII, 2005) dan Business Environment Report Political Economy Risk Consultancy (PERC, 2005).
Ditjen Pajak bukannya tidak menyadari persepsi diatas. Beberapa langkah sudah diambil. Dari sisi reformasi administratif misalnya diperkenalkan online payment, e-filing, large taxpayer office, dan inovasi sistem informasi lainnya untuk mengurangi kontak langsung pembayar pajak dan petugas pajak.
Sementara pada penegakan hukum, diperkenalkan ombudsman pajak yang diawasi oleh Komisi Ombudsman Nasional, nota kesepahaman dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun pemecatan 30 aparat pajak pada 2004 karena menyalahgunakan wewenang (http://kompas.com/utama/news/0503/22/045542.htm).
Tetapi sayangnya, sebagian besar penanganan hanya mengarah ke maladministrasi dan efisiensi administrasi, dan tidak menyentuh akar permasalahan perpajakan di Indonesia, pemerasan pajak.
Padahal permasalahan utama perpajakan di negara berkembang adalah pemerasan pajak, dimana aparat pajak aktif memeras untuk mendapatkan rente ekonomi, dan bukannya penyuapan pajak, dimana wajib pajak (oleh TII, 2003, diusulkan disebut sebagai pembayar pajak dengan alasan filosofis) yang menyuap aparat pajak (Nielsen dan Ballas, 2000).
Pola Pemerasan Pajak
Diantara studi-studi diatas, penulis terlibat langsung dalam studi ICW (2001) dan Partnership (2001). Studi eksploratif ICW ini pada dasarnya ingin melihat bagaimana pola korupsi dalam sektor perpajakan dengan melihat rutinitas, dan momen-momen, serta makna yang bersifat problematik dari kehidupan individu atau sekelompok individu dalam lingkungan perpajakan.
Studi ini menggunakan kerangka korupsi internal dan eksternal dari Robert Klitgaard (1998) yang dipadukan dengan tipologi korupsi Syed Hussein Alatas (1987) dan menemukan terjadinya empat pola korupsi internal dan eksternal.
Korupsi internal dilakukan aparat pajak dalam lingkup Ditjen Pajak sendiri. Pola pertama, personalia, berhubungan dengan masalah kepegawaian, jual beli jabatan, rekrutmen dan penempatan. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kekuasaan untuk menentukan jabatan seseorang melalui sogokan, nepotisme dan pengaruh untuk mendapatkan suatu jabatan.
Pola ini lazim terjadi pada posisi