Anwar Nasution Vs Khairiansyah
Pernyataan publik Anwar Nasution, Kepala Badan Pemeriksaan Keuangan, terhadap tindakan anak buahnya yang melaporkan penyuapan yang dilakukan anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah mengejutkan masyarakat.
Kami tidak habis pikir bagaimana seorang pemimpin lembaga tinggi negara, eks Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, dan seorang guru besar universitas terkemuka di negeri ini dapat begitu melecehkan martabat anak buahnya dalam membongkar kasus korupsi. Reaksi itu tidak kondusif dalam menciptakan rasa aman bagi pegawai negeri, baik itu auditor maupun pegawai negeri biasa, untuk melaporkan korupsi yang diketahuinya kepada KPK.
Kita tidak perlu menganalisis kata-kata yang diucapkan, seperti stupid, kampungan, ingin mencari popularitas, dan sebagainya, apakah pantas atau tidak dikeluarkan oleh seorang Anwar Nasution yang terhormat. Mungkin itu sudah karakternya. Tetapi, reaksi yang dikeluarkan menunjukkan bahwa Anwar Nasution adalah tipikal pemimpin mesin birokrasi negeri ini yang lebih peduli terhadap prosedur kerja daripada esensi dari pekerjaan yang dilakukan.
Beliau mengatakan bahwa Khairiansyah dalam mengungkapkan upaya penyuapan Mulyana tidak melapor kepada atasannya, sebaliknya melapor kepada pejabat yang bukan merupakan atasan langsung dalam audit investigasi KPU. Ada aturan-aturan dan prosedur internal yang harus diikuti, yang harus dilakukan oleh Khairiansyah sebelum dia melapor kepada KPK.
Sementara itu, kita semua tahu bahwa prosedur-prosedur internal yang biasa tidaklah bekerja dengan baik di negeri ini. Laporan internal dengan prosedur biasa memberikan wewenang mutlak kepada atasan yang bersangkutan mengenai tindakan apa yang harus dilakukan atas pengaduan tersebut. Namun, sangat jarang seorang pejabat di negeri ini mau melakukan tindakan drastis untuk membuka kasus korupsi. Yang lebih sering terjadi adalah kasus tersebut ditutup-tutupi dari pengetahuan publik dan kasus tersebut akan hilang dari peredaran. Kalau semua pejabat mau melakukan tindakan tegas terhadap pengaduan korupsi, korupsi akan dapat ditekan di negeri ini dan kita tidak akan memerlukan adanya KPK.
PROSEDUR internal di BPK sendiri belum dapat membuka maraknya kasus suap-menyuap antara pejabat pemerintah yang diperiksa dan oknum-oknum auditor BPK. Dalam melakukan pekerjaan kami sebagai aktivis anti korupsi, kami sering mendapat pengaduan dari pegawai dan pejabat pemerintah, bagaimana oknum-oknum BPK memeras mereka-mereka yang diketahui telah menyelewengkan uang negara, menyalahgunakan wewenang, atau melanggar prosedur. Sudah merupakan pengetahuan umum juga bahwa laporan BPK dapat diatur, tergantung dari besar kecilnya uang suap. Namun, semua ini sulit untuk dibuktikan karena tidak ada satu pun mekanisme yang dapat membuktikan adanya pemerasan dan penyuapan ini.
Kalaupun BPK marah dengan tulisan ini dan menyomasi kami, kami pun tidak akan sanggup untuk membuktikannya karena tidak akan ada pejabat ataupun auditor BPK yang akan bersedia menjadi saksi, persis karena prosedur internal yang disebutkan oleh Anwar Nasution tersebut. Kalau jalur internal yang dipakai Khairiansyah, mungkin kasus Mulyana tidak akan pernah dilaporkan ke KPK. Kalau prosedur tersebut memang efektif dalam membuka kasus penyuapan, tentu sudah banyak kasus penyuapan yang dibongkar oleh BPK. Namun, kita semua tahu bahwa itu hanyalah impian belaka.
Tindakan Khairiansyah untuk melaporkan upaya penyuapan (walaupun hal ini dibantah oleh Mulyana yang mengatakan bahwa yang menawarkan adalah auditor BPK) dari sejak awal kepada KPK adalah tindakan mulia yang menerobos kebuntuan mekanisme internal BPK, yang merupakan cerminan dari kegagalan sistem akuntabilitas vertikal. Kegagalan sistem akuntabilitas vertikal, di mana anak buah melaporkan kepada atasan langsung dan atasan langsung akan melaporkan ke atasannya lagi, sampai kepada atasan yang paling atas, membuktikan bahwa korupsi di negeri ini merupakan sebuah jaringan laba-laba, di mana hampir semua orang terlibat.
Atasan tidak mempunyai kepentingan untuk menindak bawahannya karena dia juga mendapatkan keuntungan dari tindak korup anak buahnya tersebut. Bahkan, umum dijumpai bahwa tindakan bawahan merupakan instruksi atau paling tidak direstui oleh atasan yang paling tinggi. Bahkan, yang lebih buruk lagi, atasan akan melindungi anak buahnya yang menjalankan korupsi yang direstuinya dan bahkan mendapatkan porsi yang paling besar dari keuntungan haram tersebut. Maka jarang sekali pegawai negeri yang dipecat karena korupsi. Yang kasusnya dibongkar dan dibawa ke pengadilan atau dipecat biasanya adalah yang tidak bekerja sama dengan atasan. Maka banyak Inspektur Jenderal di departemen-departemen yang frustrasi karena rekomendasinya tidak dijalankan oleh menteri atau dirjen yang bersangkutan.
Oleh karena itu pulalah kita sebagai bangsa, untuk keluar dari keterpurukan akibat korupsi ini, telah sepakat untuk membangun sistem integritas nasional di negeri ini dengan sistem akuntabilitas horizontal. Sistem ini dijalankan dengan membentuk lembaga kuasi negara (state auxiliary bodies) seperti KPK, Komisi Judicial, Komisi Kejaksaan, Pengadilan Korupsi, Komisi Kepolisian, dan Ombudsman. Dengan adanya lembaga-lembaga ini, para pegawai negeri tidak lagi terikat dengan prosedur internal yang merupakan cerminan dari sistem akuntabilitas vertikal, tetapi dapat langsung melaporkan kasus korupsi yang diketahuinya kepada lembaga-lembaga tersebut. Hukuman pun tidak merupakan wewenang mutlak atasan, tetapi dapat dilaksanakan oleh lembaga kuasi negara tersebut.
Sistem akuntabilitas horizontal kita belumlah sempurna, masih dalam taraf percobaan. Masih banyak yang perlu dibenahi, terutama dalam hal hukuman terhadap pegawai negeri yang korup. Keberhasilan KPK membongkar kasus suap menyuap di KPU dan menghukum Abdullah Puteh 10 tahun penjara adalah bukti bahwa sistem akuntabilitas horizontal ini mungkin dapat berjalan efektif kalau integritas penyelenggara lembaga kuasi negara ini dapat dipertahankan.
Selayaknyalah para pemimpin lembaga negara dan pemerintah mengetahui adanya sistem akuntabilitas horizontal ini dan berniat baik serta bekerja sama dengan lembaga-lembaga tersebut dengan tidak melarang atau menghukum anak buahnya yang menggunakan jalur ini untuk membuka kasus korupsi. Walaupun belum ada undang- undang perlindungan saksi, tindakan bijaksana seorang pemimpin dalam merelakan anak buahnya untuk tidak menggunakan mekanisme internal, tetapi menggunakan jalur-jalur lembaga kuasi negara, serta tidak menghukumnya akan memberikan situasi yang kondusif dalam upaya menghapus korupsi di negeri ini.
Pemimpin lembaga negara dan pemerintah seharusnya pun mengetahui bahwa dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, yang masih memerlukan bukti tertangkap tangan untuk dapat dieksekusi, kerahasiaan proses penyidikan adalah hal yang mutlak. Jadi, tidak mungkin bagi KPK atau pelapor untuk menggunakan jalur- jalur internal biasa karena pasti akan bocor. Di Indonesia dinding pun bicara, apalagi manusia. Dengan demikian, para pemimpin lembaga seharusnya tidak perlu kaget, tetapi bersyukur bahwa penyidikan telah sukses dan berhasil membuktikan tertangkap tangannya suatu penyuapan.
Bravo KPK!
(Emmy Hafild Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia)
Tulisan ini dimuat di Kompas, 21 April 2005