Perda Penghambat Investasi

Semenjak otonomi daerah dicanangkan dengan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan keuangan antara Pusat dan Daerah yang kemudian diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 dan UU Nomor 35 Tahun 2004. Iklim regulasi di Indonesia mengalami perubahan besar.

UU Nomor 22/ 1999 dan UU Nomor 25/ 1999 memberikan kewenangan hukum dan administrasi kepada kabupaten dan kota sebagaimana Pasal 1 1 (2) menentukan bahwa pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengadministrasikan perdagangan dan industri. Karena itu berhak mengenakan regulasi dan perizinan usaha. Akan tetapi pemda tidak siap untuk mengemban fungsi baru itu. Dalam tahun pertama desentralisasi, pemda telah mengeluarkan ratusan peraturan daerah yang menerapkan pengenaan pajak, retribusi, dan pungutan lainnya.

Sebenarnya dalam pelaksanaan otonomi daerah (otda) pemda tidak hanya menekankan regulasi saja. Seharusnya pemda mendorong pemberdayaan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreativitas, meningkatkan peran serta masyarakat, mengembangkan peran dan fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Kebijakan yang diterbitkan oleh pemda haruslah memberi manfaat dan meningkatkan kesejahteraan rakyat bukan sebaliknya. Terkesan pemda dapat bertindak apa saja untuk menaikkan pendapatan asli daerah (PAD), demi terpenuhinya anggaran pendapatan belanja daerah (APBD).

Optimalisasi potensi daerah menjadi berbahaya ketika perda dijadikan alat untuk menggalinya. Pungutan terkesan memberatkan dan membebani pengusaha dan masyarakat. Kesan tersebut tercermin pada berbagai regulasi yang diterbitkan.

Regulasi yang diterbitkan pemerintah daerah menimbulkan biaya tinggi. Kesan ini ditunjang oleh berbagai studi yang pernah dilakukan oleh berbagai pihak, misalnya SMERU (1999), terdapat sejumlah pemerintah daerah memberlakukan halangan dalam hal tarif dan tata niaga untuk perdagangan internal. Sehubungan dengah itu Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) melakukan analisis terhadap 700 peraturan lokal yang dianggap bermasalah.

Goodpaster dan David Ray (2000) menjabarkan faktor penyebab kebanyakan kebijakan pemda yang diskriminatif dan antipersaingan sebelum dimulainya proses otonomi. Akibat lebih lanjut banyak pengusaha mengeluh dan mengadu kepada Mendagri. Protes mereka dikabulkan Mendagri ketika itu Hari Sabarno yang membatalkan perda tersebut melalui SK Mendagri No. 114 Th 2004 Tgl 27 Oktober 2004. Tanggapan positif dari Mendagri disambut baik oleh kalangan pengusaha dan masyarakat.

Biaya Tinggi

Regulasi daerah menimbulkan biaya tinggi (high cost) pada pengusaha dan masyarakat dan meresahkan. Petani terimpit dua kali. Pertama pada saat penarikan pajak penghasilan (PPh) Pasal 22 sebesar 0,5%, petani juga terbebani. Kedua, petani juga kena retribusi yang terkadang lebih tinggi dari nilai pajak. Di pihak lain pelayanan tidak sesuai dengan harapan, sehingga pengusaha terkena dua kali. Di sektor lain misalnya Perhotelan, pengusaha hotel dikenakan puluhan macam pungutan.

Contoh, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Jawa Barat melaporkan keberatan mereka terhadap pajak dan retribusi kepada Komisi X DPR pada bulan Oktober 2004. Mereka meminta DPR memfasilitasi agar pemerintah daerah membatalkan perda-perda yang bermasalah.

Menurut Ketua PHRI Jawa Barat, terdapat sekitar 60-69 pungutan untuk mengusaha hotel yang disebutkan dalam perda. Demikian juga restoran di Palembang terkena lebih dari 15 macam pungutan. Nampaknya peraturan daerah tentang retribusi yang tumpang tindih dengan pajak pusat itu mencekik petani karena pedagang yang dikenai retribusi membebankannya kepada petani.Pedagang pengumpul juga mengeluh karena mereka sering ditarik beberapa kali di kabupaten berbeda yang mereka lalui.

13.520 Bermasalah

Begitu bertumpuknya permasalahan perda saat ini mendorong Departemen Keuangan RI akan mengkaji 13.520 perda yang dianggap bermasalah. Sampai akhir Oktober 2004 baru masuk 3.967 perda. Nampaknya sebagian besar Pemda Kabupaten dan Kota merasa berat perdanya dikaji ulang.

Hal ini senada dengan kesimpulan hasil survei Bank Dunia bahwa regulasi dipandang sebagai kendala terbesar dalam menjalankan bisnis atau penghambat dalam pengembangan investasi, terutama investasi asing.

Timbulnya berbagai permasalahan dalam pembuatan regulasi daerah juga disebabkan oleh permasalah dalam proses pembuatan kebijakan itu sendiri seperti buruknya indentifikasi masalah, kurangnya pertimbangan alternatif lain terhadap peraturan, kurangnya peninjauan efektif terhadap peraturan-peraturan lokal, dan kurangnya partisipasi dalam proses kebijakan tersebut.

Pengalaman selama ini dalam pembentukan perda, Pemerintah Daerah bersama DPRD tidak atau kurang mengidentifikasi permasalahan secara baik, mana permasalahan pokok atau akar masalah, sehingga perda yang diterbitkan bukannya menghilangkan masalah, tetapi menimbulkan masalah baru.

Pembuatan perda tidak dilandasi kajian awal, bahkan ada perda suatu daerah mencontoh kabupaten atau kota lain, padahal permasalahan tidak sama. Ini kesalahan fatal yang sering terjadi.

Oleh karena itu, motif diterbitkannya perda tidak jelas. Yang penting ada dasar untuk pungutan PAD.Pemerintah Daerah dalam menerbitkan regulas kurang mengembangkan alternatif yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan yaitu, apakah telah mempertimbangkan semua alternatif termasuk alternatif lain yang baik daripada menerbitkan perda

Selama ini dalam pembuatan perda tidak atau kurang melakukan pertimbangan semua alternatif yang tersedia, sehingga perda yang diterbitkan berdampak negatif, tidak efektif, tidak efisien dan menjadi penghambat. Demikian juga halnya pertanyaan kedua, apakah ada alternatif lain yang lebih baik daripada menerbitkan perda. Jika alternatif lain lebih baik, mengapa tidak dilakukan.

Mengenai hal ini yang menjadi penghambat adalah kurang siapnya SDM yang dimiliki oleh pemda. Untuk mengatasi hal ini dapat saja Pemda bekerjasama dengan perguruan tinggi yang mempunyai SDM yang cukup baik.

Cukup banyak alternatif yang dapat dilakukan pemda dalam menerbitkan regulasi yang baik asal mau kooperatif dengan pihak terkait dan stakeholder.

Perlu ada metode untuk mengubah pandangan dan cara merumuskan regulasi (peraturan daerah), review terhadap perda yang menimbulkan biaya tinggi. Metode atau cara yang telah banyak dilakukan negara maju dan berkembang lainnya yaitu Regulatory Impact Assesment atau dikenal dengan RIA.

Dalam RIA ada proses review mencakup analisis mendalam terhadap dampak ekonomi dan sosial dari suatu regulasi dan konsultasi dengan para stakeholder. Analisis dan konsultasi tersebut terangkum dalam suatu kerangka yang disebut regulatory impact analysis.

RIA berperan memastikan secara sistematis dalam menentukan pilihan kebijakan yang paling efisien dan efektif. RIA dapat memberikan alasan perlunya intervensi pemerintah, memberikan alasan bahwa regulasi adalah alternatif yang terbaik, memberikan alasan bahwa regulasi memberikan manfaat lebih besar dari biayanya, mendemonstrasikan bahwa konsultasi yang cukup telah dilakukan, dan menunjukkan mekanisme kepatuhan dan implementasi sesuai apa yang telah ditetapkan. Amerika Serikat sudah menerapkan metode RIA sejak 1981.

Tiga Kategori

Regulasi dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu regulasi ekonomi yang mengatur kerangka acuan bagi pelaku ekonomi, regulasi sosial yang mengatur standar kesehatan, keselamatan, lingkungan dan sebagainya, serta regulasi administrasi yang mengatur formalitas dan prosedur.

Bank Dunia menyimpulkan bahwa selama ini regulasi (peraturan perundang-undangan) dipandang sebagai kendala dalam menjalankan bisnis di negara-negara OECD.Berdasarkan hasil penelitian Bank Dunia dan Letter of Intent dengan IMF perlu review regulasi persaingan usaha tidak sehat dan ekonomi biaya tinggi, sehingga tahun 2001 diterbitkan Manual Review Regulasi Indonesia (MRRI) dan direvisi tahun 2003.

Hal ini terkait dengan reformasi regulasi yang meliputi revisi atau menghapuskan regulasi yang tidak diperlukan dan tidak efisien. Membangun ulang seluruh kerangka regulasi dan pelembagaannya, meningkatkan proses untuk merancang dan mengelola regulasi.

Reformasi regulasi untuk menuju Good Regulatory Government (GRG), terdiri atas tiga elemen yaitu kebijakan yang diadopsi di tingkat politik, alat kontrol kualitas, dan manajemen kelembagaan.

Regulasi adalah keputusan politik, oleh karena itu dalam membuat putusan politik, pemerintah dan DPR haruslah secermat mungkin, karena akan berlaku untuk semua warga negara dan berdampak negatif, jika regulasi yang diambil tidak memenuhi prinsip-prinsip dasar review regulasi.

Ada beberapa prinsip dasar yang harus dipahami oleh pembuat regulasi, agar regulasi baik dan bermanfaat, yaitu: satu, regulasi efektif minimum . Pemerintah hanya mengeluarkan regulasi untuk mengatasi masalah yang tidak dapat diselesaikan selain melalui penerbitan regulasi. Jika harus dengan regulasi, maka regulasi yang diterbitkan adalah yang tidak memiliki dampak negatif/biaya yang paling sedikit.

Dua, netralitas terhadap kompetisi, yaitu regulasi harus menciptakan peluang yang sama bagi semua pelaku usaha. Regulasi yang dikeluarkan tidak diskriminatif terhadap pihak atau golongan tertentu, sehingga ada pihak yang dirugikan.

Tiga, perumusan regulasi dilakukan secara terbuka dan memperhatikan aspirasi stakeholder dan masyarakat. Empat, Cost-Benefit (Cost Effectiveness). Setiap regulasi harus mempunyai manfaat yang lebih besar daripada biayanya. Jika benefit tidak dapat ditentukan, gunakan ukuran cost yang terkecil.

Dalam penerbitan perda seharusnya diperhitungkan bagaimana cost-benefit, jangan sampai biaya yang dikeluarkan untuk penerbitan perda lebih besar dibanding manfaat yang diharapkan. Oleh karena itu perlu perhitungan yang matang.

Selama ini dalam penyusunan undang-undang atau peraturan daerah tidak atau kurang memperhatikan prinsip dasar review regulasi, sehingga sebagian besar perda yang diterbitkan menimbulkan permasalahan, khususnya di bidang investasi. Hampir semua perda yang diterbitkan mengatur tentang pungutan retribusi dan pajak yang berlindung di balik pembinaan.

Misalnya perda yang berhubungan aktivitas usaha kecil yaitu pedagang kaki lima (PKL), di Kota Semarang ada lima aturan PKL, seperti: Perda No. l 1 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan PKL, Putusan Wali Kota No.130.2/339 Tahun 2000 tentang Penyerahan Sebagian Tugas Dinas Tata Bangunan, Dinas Kebersihan, Dinas Pertamanan dan UPTD Pengelola PKL Kepada Kelurahan, Putusan Wali Kota No.51 1.3/16 Tahun 2001 tentang Penataan Lahan/Lokasi PKL di Wilayah Kota Semarang, Putusan Wali Kota No.061.1/286 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pengelolaan PKL dan Perda No.1 Tahun 2003 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah.

Tujuan Review Regulasi

Review regulasi bertujuan menilai efektivitas kebijakan; memastikan bahwa perumusan kebijakan telah mempertimbangkan semua alternatif tindakan; meneliti berbagai manfaat dan biaya, memastikan bahwa dalam semua tahapan rumusan kebijakan telah dikoordinasikan dan dikonsultasikan dengan stakeholders-, dan menilai strategis implementasi.

Untuk melakukan review dapat menggunakan metode RIA yang terdiri atas dari tujuh langkah yaitu:

Perumusan masalah, identifikasi tujuan, alternatif penyelesaian masalah, analisis manfaat dan biaya setiap alternatif, penentuan alternatif terbaik dalam menyelesaikan masalah, perumusan strategis implementasi, penyusunan regulasi impact analysis statement.

Dirumuskan masalah yaitu isu yang menimbulkan kebutuhan atas regulasi. Ini haruslah jelas, apakah pembuatan regulasi telah memahami masalah yang sebenarnya, apakah ada masalah yang lebih mendasar, apakah penyebab timbulnya masalah dan bagaimana persepsi stakeholder (pihak-pihak yang akan terkena regulasi seperti pengusaha, masyarakat).

Setelah perumusan masalah selesai dilakukan identifikasi tujuan, yaitu apa tujuan diterbitkannya regulasi termasuk penilai risiko, apakah justifikasi pemerintah untuk intervensi, apakah untuk menyelesaikan sebagian atau seluruh masalah.

Tujuan regulasi harus jelas dan untuk memecahkan permasalahan pokok (akar masalah) yang dihadapi oleh pemerintah dan masyarakat. Jika tujuan tidak jelas, akan menimbulkan permasalahan baru.

Perlu dilakukan identifikasi alternatif yaitu mengembangkan alternatif, apakah ada alternatif lain yang baik. Dalam penyusunan regulasi perlu dipertimbangkan tentang biaya,antara lain sumber biaya, jenis, indikator pengukuran biaya tiap tahun, dll.

Tahap berikutnya adalah perumusan strategis untuk menerapkan dan mengevaluasi regulasi melalui sosialisasi, monitoring dan penghargaan/penalty.

Akhir dari pentahapan penyusunan regulasi berdasar metode RIA. Sepuluh poin untuk pengambilan keputusan regulasi yang baik, yaitu apakah masalahnya telah dirumuskan dengan tepat, tindakan pemerintah mempunyai alasan, regulasi merupakan tindakan pemerintah yang terbaik, terdapat dasar legal bagi tindakan pemerintah tersebut, tingkat pemerintah manakah yang paling tepat untuk melakukan tindakan, apakah manfaat regulasi melebihi biayanya, efek distribusi dalam masyarakat cukup transparan, regulasi jelas, konsisten, mudah dipahami, dan dapat diakses oleh masyarakat, semua pihak yang berkepentingan telah mendapatkan kesempatan untuk menyampaikan pendapat, bagaimana kepatuhan terhadap regulasi akan dicapai. (18)(Joni Emirzon, SH., M.Hum Ketua kajian Hukum dan Bisnis FH Universitas Srijaya, Mhs Program S3 di Program Doktor Ilmu Hukum Undip)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 25 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan