Jateng Gudang Koruptor?

Hari - hari ini Jawa Tengah sedang dicoreng kasus korupsi. Pertama, sepuluh mantan anggota DPRD Solo yang diduga korupsi APBD 2003 senilai Rp4,27 miliar mulai disidang di Pengadilan Negeri Solo. Kasus mereka itu mencuat ke tingkat nasional lewat sejumlah media.

Kedua, seorang pejabat Kepolisian Daerah Jateng membawa oleh-oleh dari kunjungannya ke Markas Besar Kepolisian RI. Kepada wartawan (13 April) pejabat itu menjelaskan ada 30 kasus korupsi yang melibatkan DPRD dan pemerintah kota/kabupaten yang ditangani Polda Jateng. Ternyata jumlah itu terbanyak di Indonesia. Di provinsi lain kasus korupsi yang ditangani berkisar dua hingga tiga kasus. Jateng yang mencapai 30 kasus bisa disebut prestasi yang mencoreng.

Prestasi ini melengkapi pernyataan Transparency International (TI) Indonesia yang menempatkan Semarang kota korup. Memang belum terkorup, tetapi masuk peringkat empat besar kota korup di Indonesia sudah cukup memalukan dari sisi moral. Peringkat itu ditunjukkan oleh apa yang disebut Indeks Persepsi Korupsi di mana Semarang meraih angka 4,17. Kota terkorup, Jakarta, memperoleh angka 3,87 disusul Surabaya 3,93 dan Medan 4,09.

Tafsir Positif-Negatif
Fakta itu bisa ditafsir secara positif maupun negatif. Tafsir positif, seperti dikemukakan pejabat kepolisian itu, banyaknya kasus korupsi yang mencuat di Jateng merupakan sinyal keberanian masyarakat untuk melaporkan kasus korupsi kepada pihak berwajib.

Tafsir negatif amatlah jelas. Bisa jadi Jateng memang gudang koruptor. Tak ada lagi sekat-sekat yang baik dan yang buruk. Semua dianggap wajar sehingga korupsi menjadi banalitas.

Di Jateng tampaknya kleptokrasi tumbuh subur. Merujuk kepada Stanislav Andreski (1966), kleptokrasi itu dipahami sebagai tingkah orang berkuasa yang lantaran jabatannya merasa sesuatu yang diambil secara tidak sah seolah-olah merupakan haknya.

Kleptokrasi mau mengatakan koruptor di Jateng memang aman mempraktikkan kebiasaan buruk mereka. Sebagian besar koruptor menikmati apa yang disebut impunity (tiada sanksi hukum). Koruptor juga senantiasa merasa tak bersalah karena mereka menganggap bukan pencuri atau perampok. Publik juga bersalah gara-gara menempatkan korupsi sebagai kejahatan kerah putih, sebuah euphemisme yang memposisikan mereka dalam nuansa elite. Lagi pula korban korupsi tak berwajah. Siapa yang merasa menjadi korban langsung? Acapkali korupsi dikaitkan dengan kerugian negara, tetapi siapakah negara ini? Inilah yang membuat koruptor merasa tak bersalah karena mereka tak merugikan siapa-siapa.

Cerita Sukses
Menghapus predikat Jateng sebagai gudang koruptor bukanlah soal mudah. Pemberantasannya tidak bisa secara parsial, tetapi menyeluruh dalam skala nasional. Kalau Jakarta masih korup, daerah lain pun akan mengikuti. Ada pemindahan modus dari pusat ke daerah. Bahkan tak jarang yang cerdas melakukan pengayaan.

Pemberantasan korupsi membutuhkan setidaknya tiga hal. Pertama, menampilkan cerita sukses pemberantasan korupsi. Sejumlah peraturan perundang-undangan maupun lembaga yang ada menjadi tidak bermakna tanpa cerita sukses dimaksud. Cerita sukses itu dibutuhkan guna membangun optimisme dalam menyelesaikan kasus korupsi (Robert Klitgaard, 2003). Sejauh ini belum pernah ada cerita sukses yang melibatkan pemeran utama, paling-paling hanya sejumlah figuran.

Kedua, pengawasan panoptik hendaknya lebih merata. Metode panoptik ini merupakan kontribusi Jeremy Bentham (1791) yang melakukan penelitian di sebuah penjara. Metode ini memberikan pengawasan menyeluruh, total dan penegakan disiplin bisa terlaksana dengan lebih mudah (Haryatmoko, 2003). Pengawasan model ini bisa dilakukan diskontinyu tetapi membawa dampak kesadaran yang diawasi secara kontinyu. Metode macam inilah yang selayaknya dikembangkan hingga ke level lebih bawah lagi agar masing-masing aparat merasa diawasi terus - menerus. Sebaliknya, perlu pula dirancang agar bawahan bisa mengawasi atasan secara terus - menerus. Saling mengawasi begini akan memberikan dampak bagi upaya meminimalkan penyimpangan-penyimpangan.

Ketiga, pengawasan diri sendiri perlu ditingkatkan maka di sinilah butuh peran pemuka agama. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pernah meminta para tokoh agama untuk ikut serta dalam gerakan moral melawan korupsi. Pemuka agama selayaknya mengaktifkan koalisi antarumat beragama dalam rangka membangun gerakan antikorupsi melalui jalur pendidikan keumatan.

Koalisi ini membentuk pula tim materi khotbah yang menyusun bahan ceramah bagi para pendakwah atau pengkhotbah yang mengupas aktualisasi nilai-nilai keagamaan dalam upaya pemberantasan korupsi.

Titik berat materi itu adalah pada redefinisi religiusitas interpretatif, sosial religiusitas, korupsi sebagai dosa (karma), hukum korupsi, kisah-kisah teladan, korupsi dalam tinjauan akhlak maupun moral, pemberantasan korupsi, perubahan pola pikir, akibat-akibat korupsi, pembentukan sistem yang antikorupsi, sanksi bagi pelaku korupsi, dan pengetahuan terkini tentang pengawasan kaitannya dengan isu-isu korupsi (Hary Susanto et al, 2004). Pokok pikiran itu dikaitkan dengan tema-tema keseharian seperti hati nurani, kejujuran, harta, tanggung jawab, etos kerja, dan keadilan.

Siapa tahu langkah-langkah itu membantu upaya pemberantasan korupsi. Paling tidak kelak Jateng bukan lagi gudang koruptor. Tentu baru sekadar mengurangi, karena sampai tahap menghapus sama sekali nyaris menjadi kemustahilan. Sebab, korupsi di Indonesia bukan lagi sebagai budaya, tetapi sudah meningkat sebagai ibadah. (Toto Suparto, mahasiswa Pascasarjana Ilmu Religi dan Budaya Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.)

Tulisan ini diambil dari Suara Merdeka, 20 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan