Pungutan Liar Itu

Pungutan liar (pungli) masih merisaukan investor asing. Menurut koran ini kemarin, kali ini yang mengaku risau atas adanya pungli tersebut adalah investor asal China.

Berarti, pungutan tidak resmi yang hasilnya masuk kantong pribadi, bukan kas negara, itu masih dianggap sebagai masalah serius. Kalau tidak, tentu para investor tersebut tidak mengeluh.

Pungli bukanlah hal baru. Akronim itu dipopulerkan Sudomo ketika menjabat Pangkopkamtib pada masa Orde Baru. Saat itu, dia melakukan operasi khusus (opsus) di berbagai jembatan timbang. Hasilnya, Sudomo menemukan pungutan tidak resmi yang tidak ada dasar hukumnya. Karena itu, mantan Menaker tersebut menyebutnya dengan akronim pungli.

Umur akronim pungli lebih dari 15 tahun. Tetapi, pungutan liar itu tidak pernah bisa diberantas, bahkan berjangkit dan mengendap hampir di semua instansi pemerintah yang memberikan pelayanan publik.

Ia, pungli itu, tetap menjadi bagian dari biaya-biaya seabrek -termasuk yang resmi- yang harus dikeluarkan masyarakat. Menjadi bagian dari ongkos para pengusaha untuk bisa memperoleh pelayanan birokrasi serta kepastian berusaha di negeri ini.

Karena ongkos liar itu terlalu banyak, para investor kemudian mengaitkannya menjadi bagian dari ongkos investasi serta produksi di Indonesia, sehingga memicu ekonomi biaya tinggi.

Tetapi, masalah tersebut berlalu begitu saja. Mulai Orde Baru hingga kini di era keterbukaan yang sudah berganti tiga rezim penguasa politik, pungli belum juga bisa diberantas.

Bahkan, tragisnya, aparat penegak hukum -seperti polisi, jaksa, atau malahan ada hakim yang tanpa malu- turut melakukan pungli terhadap orang-orang yang melanggar hukum.

Mereka meminta uang dengan segala dalih dan argumen serta persuasi terhadap, misalnya, para terdakwa pelaku kejahatan atau keluarganya dengan janji meringankan tuntutan hukum atau meringankan vonis.

Kalau institusi penegak hukum saja juga tanpa malu melakukan pungli, institusi lain akan sangat jamak. Sama saja atau bahkan lebih buruk. Sebab, tidak ada lagi kekhawatiran akan ditangkap, diadili, atau dibui.

Di dunia usaha, pungli berdampak lebih buruk. Selain mengakibatkan ekonomi biaya tinggi karena para pengusaha tidak mau rugi, praktik-praktik pungli itu bisa menghambat masuknya investor asing.

Bagi mereka, buat apa mau masuk menanamkan modalnya ke negara yang sarat dengan pungli kalau saat usahanya belum berjalan dan belum untung saja sudah harus mengeluarkan biaya-biaya siluman yang sangat banyak.

Apalagi, saat ini banyak negara lain yang justru memanjakan masuknya investor agar mau menanamkan modalnya. Diberi kemudahan, diberi keringan membayar pajak, atau disediakan tenaga kerja dengan upah murah. Juga, kondisi politiknya aman. Tidak sering terjadi demo. Jarang terjadi huru-hara, konflik antarsuku, dan sebagainya.

Dengan kata lain, masih banyaknya pungli bagi investor merupakan kondisi buruk yang menakutkan. Itu sama saja dengan menutup pintu bagi investor yang ingin masuk menanam modalnya.

Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 25 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan