Kebangkrutan Kelas Menengah?

Bidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menjatuhkan korban setelah kasus korupsi yang melibatkan mantan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Abdullah Puteh berhasil dimejahijaukan.

Kali ini, lembaga superbody itu bersama BPK berhasil membuka skandal korupsi yang diduga kuat melibatkan beberapa anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang terhormat itu.

Sinyalemen terjadinya korupsi dalam penyelenggaraan Pemilu 2004 sebenarnya sudah mulai terendus ketika kelompok yang menamakan diri Koalisi Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) untuk Pemilu Bersih dan Berkualitas menengarai terjadinya korupsi di KPU yang diduga mencapai Rp 300 miliar. LSM ini juga melaporkan dugaan tersebut kepada DPR dan KPK.

Tetapi pada saat itu, belum ada bukti kuat yang mendukung sinyalemen tersebut. Baru setelah ada anggota KPU yang ditangkap karena dugaan suap dengan maksud untuk menghindari audit BPK terkait dengan pengadaan logistik selama proses pemilu berlangsung, dugaan korupsi di KPU mulai sedikit tersingkap.

Banyak kalangan terbelalak kaget ketika kasus itu mulai terungkap. Di luar apresiasi bahwa KPU relatif sukses sebagai lembaga penyelenggara Pemilu 2004, lembaga yang dikomandoi banyak pakar terkemuka di Indonesia -mulai pakar kriminologi, politik, hingga pakar hukum- itu ternyata tidak jauh beda dengan sebagian besar institusi pemerintahan di negara ini. Korupsi sudah menjadi roh yang menyemangati kinerja hampir semua institusi.

Korupsi seolah menjadi old wine in the new bottle, tidak perlu lagi melihat apakah di dalamnya dihuni para politisi, para birokrat, atau bahkan para akademisi sekalipun. Meski dengan bungkus berbeda, isinya tetap saja sama, yakni budaya korup.

Dugaan korupsi di KPU seolah membuka kotak Pandora perdebatan lama tentang boleh tidaknya kaum akademisi terlibat di dalam birokrasi pemerintah atau, paling tidak, mendukung sistem suatu rezim pemerintahan tertentu. Pengambilan posisi dari dua arus perdebatan itu masing-masing tentu saja memiliki dasar logis dan konsekuensi berbeda.

Pendapat penulis, ketika epistemic community (akademisi) menjadi bagian dari suatu rezim tertentu, maka yang terjadi kemudian adalah kooptasi sistem terhadap independensi dan idealisme keilmuan mereka sehingga kejernihan pandangan epistemic community itu menjadi kabur.

Tidak ada lagi kekritisan yang muncul dari golongan ini. Sebab, mereka sudah menjadi stempel atau justifikasi akademis bagi eksistensi suatu rezim pemerintahan.

Jadi, golongan itu akan lebih baik apabila berada di luar sistem sebagai penyeimbang kuatnya hegemoni kekuasaan. Kejernihan serta daya kritis mereka akan membantu membongkar wacana kekuasaan yang dimunculkan penguasa.

Dalam kasus yang terjadi di KPU, boleh saja para anggota KPU mengatakan bahwa KPU adalah lembaga profesional dan otonom. Tetapi, apa yang telah diperankan para anggota KPU itu tidak jauh beda dengan para birokrat pada umumnya.

Di negeri ini, korupsi sudah berurat-berakar kuat. Hal ini sebagai konsekuensi masa transisi politik yang tak terkendali. Institusionalisasi politik yang sedianya dibangun untuk memperkukuh kinerja pengambilan kebijakan ternyata berubah menjadi benteng kukuh bagi budaya korupsi.

Samuel P. Huntington (1968) menyebut fenomena itu sebagai top heavy corruption, di mana pemilik modal beraliansi dengan penguasa politik yang didukung beberapa akademisi membangun suatu hegemoni di setiap level kehidupan sehingga terciptalah rezim yang sulit dikontrol. Sebab, definisi hukum dari korupsi pada akhirnya sulit dibuatkan batas pengertiannya.

Inilah kebangkrutan kelas menengah di Indonesia. Kelas menengah yang terdiri atas kaum akademisi dan para pemilik modal seharusnya menjadi pendorong terjadinya reformasi kehidupan sosial politik dan ekonomi menuju fase demokrasi seperti yang terjadi di Eropa dahulu.

Tetapi ternyata, mereka lebih memilih menjadi bagian dari sistem status quo. Kita boleh sedikit berbesar hati karena masih tersisa satu lagi golongan kelas menengah yang diharapkan menjadi avant-garde reformasi di negeri kita ini. Golongan itu adalah mahasiswa.

Sikap dan pernyataan mahasiswa dalam k
asus korupsi tersebut sudah jelas, yakni mengutuk pelaku serta mendukung KPK untuk terus melakukan penyelidikan secara komprehensif terhadap skandal korupsi di KPU.

Keberhasilan KPK membongkar skandal korupsi itu akan menjadi babak baru usaha negeri ini keluar dari cengkeraman multikrisis yang sudah berlarut-larut. Hal ini memang harus dimulai dari struktur lembaga politik negara. Dan sisi positif lain, tentu saja, itu akan menjadi preseden bagi pengelolaan pemerintahan daerah di seluruh Indonesia.

Ke depan, kerja KPK tidak bisa dibilang ringan. Korupsi di KPU hanyalah puncak gunung es yang tiba-tiba menyembul. Di negara ini, korupsi adalah bagian dari fenomana yang biasa disebut organized crime atau kejahatan yang terorganisasi.(Priyo Atmojo, mahasiswa Hubungan Internasional FISIP Universitas Jember, dan aktif pada kelompok diskusi The Mastrip Circle)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 20 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan