Pengajuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2005 dilakukan lebih awal dari jadwal normal sebagaimana diatur dalam Pasal 27 UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, yang menyatakan bahwa APBN-P 2005 dibahas setelah laporan realisasi anggaran semester pertama.
Dua pekan ini perhatian media massa tersedot ke kasus indikasi korupsi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan kasus kredit bermasalah Bank Mandiri. Perhatian ini disebabkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berdasarkan temuannya menyampaikan hasil pemeriksaannya kepada DPR dan Kejaksaan Agung. Di tengah Komisi Pemberantasan Korupsi sedang berupaya menunjukkan taringnya pada kasus indikasi korupsi di KPU, tulisan ini terfokus pada kredit bermasalah Bank Mandiri. Utamanya karena saya menengarai adanya tujuh dampak pengungkapan kredit bermasalah itu.
Akhir-akhir ini dunia perbankan dan bursa efek mengalami guncangan yang cukup signifikan, sebagai dampak diperiksanya top-executives PT Bank Mandiri Tbk, termasuk direktur utamanya oleh Kejaksaan Agung atas praduga terjadinya korupsi, dengan publikasi sangat gencar sehingga membangun prasangka negatif.
Tesis bahwa pendidikan memberi kontribusi secara signifikan terhadap pembangunan ekonomi telah menjadi kebenaran yang bersifat aksiomatik. Berbagai kajian akademis dan penelitian empiris telah membuktikan keabsahan tesis itu.
Ekonomi ditimpa krisis yang memangkas produk domestik bruto (PDB)-nya sekitar 13 persen pada 1998. Presiden Soeharto, yang memerintah selama 32 tahun, jatuh. Tapi zaman itu mampu menghasilkan laju pertumbuhan PDB rata-rata sekitar 7 persen setahun. Laju pertumbuhan setinggi demikian mengangkat besar PDB dua kali setiap sepuluh tahun. Artinya, selama tiga puluh tahun PDB Indonesia terangkat delapan kali dalam ukuran riil.
Kasus penangkapan Mulyana W Kusumah mengejutkan banyak pihak. Banyak kalangan tidak menyangka kalau anggota Komisi Pemilihan Umum sekaliber Mulyana ternyata tertangkap tangan melakukan aksi penyuapan terhadap anggota BPK untuk merekayasa hasil audit terhadap KPU. Satu hal menarik dicermati dalam kasus penangkapan Mulyana adalah munculnya whistleblower (peniup peluit) yang, dengan keberanian dan kesadarannya mengungkap tindak kriminal. Ini merupakan indikasi positif untuk mewujudkan slogan pemberantasan korupsi yang selama ini gencar dikampanyekan pemerintah.
Hak untuk secara bebas memberikan keterangan adalah salah satu hak yang paling penting dan mutlak harus dimiliki oleh seorang, baik sebagai seorang tersangka, terdakwa, ataupun saksi. Karena itu menjadi kewajiban bagi setiap aparat, kalau mau disebut sebagai aparat penegak hukum, menggunakan Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) untuk memenuhi hak tersebut.
Kebenaran telah menjadi barang langka. Pejuang kebenaran lebih langka lagi. Karena itu, ketika Khairiansyah, makhluk langka tersebut, hadir di tengah-tengah deru perasaan asing mengenai kebenaran, sebagian kalangan tergelincir menyoroti ulahnya sebagai manifestasi pencarian popularitas.
Ini kejadian di Australia. Ketika sejumlah putusan pengadilan distrik pada September 1986 dirasakan tidak adil, Senator Vinson membuat laporan. Tidak lebih dari seminggu, pemerintah New South Wales mengumumkan pendirian Judicial Commission. Lalu pada 18 November 1986, dengan Judicial Officers Act, kiprah komisi ini disempurnakan untuk membantu pengadilan dalam menjaga konsistensi putusannya (Ernest Schmatt, 2000).
Jika dicermati secara substantif ada benang merah yang bisa ditarik dalam kasus somasi Ditjen Pajak terhadap Kwik Kian Gie dan Faisal H Basri dengan kasus penangkapan anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W Kusumah.