Kasus-kasus Korupsi Besar Masih Terus Terjadi

Setelah terungkap kasus korupsi di Bank BNI senilai Rp 1,6 triliun, kita berharap di era reformasi ini tidak ada lagi kasus-kasus korupsi besar semacam itu. Biarkanlah masalah penyelewengan dana bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan kasus-kasus korupsi triliunan rupiah lain menjadi bagian dari masa lalu dan mimpi buruk kita sebagai bangsa. Yang penting jangan terulang, terlebih sekarang kita telah memasuki era baru, yakni demokrasi, transparansi, dan reformasi. Sayang harapan itu masih terlampau muluk. Kenyataan menunjukkan hal yang jauh berbeda. Korupsi masih terjadi baik di lingkungan eksekutif, legislatif, dan lembaga yudikatif serta BUMN. Nilainya pun tak kalah besar, sehingga Indonesia masih termasuk peringkat teratas sebagai negara terkorup.

Mari Korupsi!

Biarpun China, Korea (Selatan), maupun Jepang kerap menjadi referensi bagi anggota parlemen kita untuk adu tinju dan beradu premanisme, atau berselisih politik lantaran sebab yang kadang tampak remeh, sebaiknya kita tidak lupakan satu pelajaran penting yang dapat diambil dari mereka dan membuat kekonyolan di atas tak bernilai kemudiannya.

Berantas Korupsi, Berpikirlah Luar Biasa

Saat start resmi untuk memberantas korupsi dicanangkan oleh Presiden pada tanggal 9 Desember tahun lalu, bangsa ini sudah sampai pada puncak batas kesabaran menghadapi korupsi yang menggerogoti hampir seluruh aspek kehidupannya. Batas kesabaran itu diutarakan dalam bentuk keinginan untuk bertindak luar biasa, seperti dinyatakan oleh Presiden pada pencanangan Hari Anti-Korupsi tersebut.

Instruksi Memburu Koruptor

Ketika membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional Tahun 2005 di Istana Merdeka kemarin, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan akan segera mengeluarkan instruksi untuk memburu para koruptor yang kabur ke luar negeri. Targetnya terutama para koruptor yang terlibat dalam kasus bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Setelah Puteh Divonis Bersalah

Setelah proses hukum berlangsung sekitar enam bulan, terhitung sejak penahanan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), akhirnya Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi (TPK) menyatakan Abdullah Puteh terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi. Puteh divonis pidana penjara 10 tahun dan denda Rp 500 juta, subsider enam bulan kurungan. Selain itu, Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam nonaktif ini dihukum membayar uang pengganti Rp 3,687 miliar, selambat-lambatnya satu bulan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap.

Kejutan (MW+BP+KP)K

MENGEJUTKAN! Itulah perasaan saya, atau mungkin yang lainnya juga, begitu mendengar berita Jumat (8/4) malam lalu Mulyana W Kusumah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK di kamar 609 Hotel Ibis, Slipi, Jakarta.

Pola-pola Korupsi Pajak

Kwik Kian Gie akhirnya meminta maaf kepada Direktur Jenderal Pajak. Di sebuah koran nasional, Kwik menyatakan permintaan maafnya, setelah somasi direktur agar Kwik membuktikan artikel yang ditulisnya di koran yang sama bahwa sekitar Rp 140 triliun pajak hilang dikorupsi.

Komisi Pemberantasan Korupsi Versus Komisi Pemilihan Umum

Berbagai ragam reaksi bermunculan ketika orang mendengar berita bahwa Mulyana W Kusuma, salah satu anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), ditangkap dan ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa ini, jelas, memiliki news value sangat tinggi.

Korupsi, Amuk Massa, dan Dagelan Hukum

Dua bulan terakhir ini kerumunan massa yang kemudian meningkat menjadi amuk massa, yang disulut oleh tindak korupsi muncul di sejumlah tempat. Misalnya di Temanggung, selain amuk massa juga disertai pengunduran diri secara berjemaah sejumlah pegawai negeri, mewarnai proses pemeriksaan Bupati Totok Ary Prabowo yang diduga korupsi. Dan yang terakhir terjadi di Nusa Tenggara Barat (NTB) (28/3). Pengerahan massa, yang acap kali berujung pada tindak kekerasan massal menjadi tontonan yang setiap saat bisa disaksikan di Indonesia. Massa, telah menjadi alat pembenaran dan disodorkan sebagai simbol kebenaran yang selalu dipaksakan dalam setiap proses penyelesaian masalah.

LSM, Munir,dan Mulyana

Adalah Munir, tokoh lembaga swadaya masyarakat (LSM) pejuang hak asasi manusia yang tewas dalam penerbangan Jakarta-Amsterdam September tahun lalu. Tanpa rasa takut, Munir memulai perjuangan gigihnya justru ketika kuku-kuku rezim Soeharto tajam menghujam bumi persada.

Subscribe to Subscribe to