Penangkapan Mulyana W Kusuma oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyogok auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), laksana berita duka di siang bolong. Betapa tidak, Mulyana, selain anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), juga dosen dan dikenal pejuang kebenaran dan pemikirannya sering dijadikan referensi media massa. Banyak kalangan yang tidak percaya, malahan ada yang menuding penangkapan itu sebagai konspirasi atau jebakan politik untuk melindungi orang besar.
Insiden penangkapan anggota KPU Mulyana W Kusumah karena upaya menyuap petugas BPK sebenarnya hanyalah 'permukaan' dari masalah korupsi pengadaan barang pemilu yang melibatkan KPU, baik di tingkat nasional maupun lokal. Peristiwa ini seharusnya tidak begitu mengejutkan bila kita tinjau kembali sistem dan proses pengadaan barang logistik Pemilu 2004 yang sarat dengan keganjilan dan kontroversi. Ini mungkin baru letupan kecil dari serangkaian bom waktu yang belum meledak.
Belakangan ini semangat pembelaan korps tampak kuat menyala. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana korps Kejaksaan Agung bereaksi keras atas sebutan kampung maling oleh anggota DPR dalam rapat kerja mereka. Kini korps pajak melalui Dirjen Pajak juga bereaksi serupa atas tulisan Kwik Kian Gie dan pernyataan Faisal Basri mengenai kebocoran pajak (potential tax lost). Ancaman somasi Dirjen Pajak bahkan telah memaksa Kwik Kian Gie untuk meminta maaf.
Kasus dugaan penyuapan oleh anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana W. Kusumah terhadap pejabat Badan Pemeriksa Keuangan semakin membutuhkan penanganan cepat. Kasus ini berkembang ke arah yang kurang menguntungkan semua lembaga yang berkaitan. Seakan-akan yang terjadi sekarang adalah kolaborasi Badan Pemeriksa Keuangan dan Komisi Pemberantasan Korupsi di satu pihak berhadapan dengan Komisi Pemilihan Umum di pihak yang lain.
Melihat banyak orang terpandang tergoda uang, kita teringat Ivan Illich. Buat apa sekolah kalau hanya untuk mengejar uang! Namun sekolah sudah salah arah. Sekarang sekolah lebih banyak menelurkan generasi mesin pencetak uang. Enaknya uang sudah mirip candu dirasakan sejak anak masih di sekolah.
Penangkapan Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum Pusat, dalam kasus (dugaan) suap terhadap salah satu anggota BPK (Kompas, 10/4), di satu sisi layak diapresiasi sebagai wujud keseriusan Komisi Pemberantasan Korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi.
Sepekan belakangan ini ramai diperbincangkan kasus dana beasiswa bagi siswa SMP di Jakarta yang justru digunakan untuk keperluan lain, termasuk untuk membeli kursi dan alat penyejuk udara (AC). Seperti biasa, di antara pihak yang terkait lalu timbul saling tuding dan saling lempar tanggung jawab, dan ada yang berusaha menegaskan bahwa apa yang terjadi sudah sesuai dengan ketentuan.
Perang pernyataan antara Direktur Jenderal Pajak Hadi Poernomo dan ekonom Faisal Basri soal kebocoran pajak semakin terbuka. Bahkan semakin melebar karena berbagai kalangan ikut memanaskan situasi. Banyak kalangan, dari ekonom, anggota DPR, aktivis Indonesia Corruption Watch, Masyarakat Transparansi Indonesia, hingga Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, ikut memberikan pernyataan seperti mengeroyok Direktur Jenderal Pajak.
Berita menghebohkan turun secara serentak di berbagai media massa pada Minggu (10/4), saat Mulyana W. Kusumah, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), dilaporkan tertangkap basah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mulyana diduga melakukan upaya penyuapan kepada salah satu anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketika dilantik, para pejabat negara, pejabat pemerintah, pegawai negeri sipil (PNS), para profesional, dan lain sebagainya, biasanya terlebih dahulu diambil sumpah atau janjinya di bawah persaksian kitab suci. Intinya adalah ikrar kesetiaan, komitmen, dan kesanggupan--atas nama Tuhan--bahwa jabatan yang dipangkunya tidak akan disia-siakan, tetapi dilaksanakan secara sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Dengan demikian, diharapkan potensi penyimpangan dan penyelewengan jabatan dapat dikontrol, bahkan ditekan, dari dalam karena ikatan sumpah yang pernah diucapkannya.