Sisi Lain dari Kasus Mulyana
Kasus suap yang melibatkan Mulyana W. Kusumah terhadap anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merupakan fenomena yang tidak luar biasa, karena sudah merupakan kebiasaan yang terjadi setiap hari di dalam masyarakat.
Kasus ini menjadi sangat luar biasa karena figur Mulyana selaku salah satu tokoh masyarakat madani di Indonesia dan pendiri berbagai perkumpulan yang peduli terhadap penegakan hukum dan HAM, di samping juga ia seorang kriminolog dan kawan lama penulis sendiri.
Dalam bahasa Betawi, Mulyana apes karena dari sekian banyak penyuap di negara ini, hanya dia yang terjebak, sedangkan penyuap lainnya yang masih bebas berkeliaran bernasib baik. Akan tetapi, dengan kasus ini harapan penulis mereka yang memiliki keahlian atau kebiasaan menyuap akan menahan diri untuk tidak menyuap atau sekalian berhenti menyuap.
Perkara suap-menyuap bak buang angin memang, baunya ke mana-mana, tetapi sulit dideteksi, kecuali salah satu dari kedua aktor suap mengaku atau melaporkan kepada pihak yang berwajib seperti kasus Mulyana.
Perbuatan menyuap yang dianggap business as usual memang harus segera dihentikan berbarengan dengan pembenahan kinerja birokrasi yang terkesan buruk selama ini, antara lain menunda-nunda pekerjaan yang seharusnya lebih cepat diselesaikan, meminta imbalan jasa, mencari-cari kesalahan terperiksa yang sesungguhnya tidak ada masalah, dan berkolaborasi dengan para calo atau perantara ilegal.
Dari sisi kriminologi, kasus Mulyana merupakan fenomena anomistik karena berbagai sebab, baik karena lingkungan pekerjaan maupun karena sistem administrasi yang dibangun sudah salah kaprah, seperti halnya, antara lain, masalah pengadaan untuk kebutuhan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang sesungguhnya merupakan tugas dan tanggung jawab Sekretariat Jenderal KPU, ternyata ditangani oleh pemimpin KPU sendiri.
Sesungguhnya pemimpin KPU adalah pemegang dan pembuat beleid sebagaimana dicantumkan dalam UU yang bersifat organik mana pun, termasuk, antara lain, dalam penyelenggaraan pemilihan umum. Kasus Mulyana juga disebabkan faktor integritas yang lemah berkaitan dengan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Keterkaitan antarfaktor ini merupakan pemicu terjadinya peristiwa suap ini.
Bagian lain dari peristiwa Mulyana ini adalah masalah pembentukan komisi-komisi serupa yang ditegaskan memiliki independensi, selama ini tidak diperkuat oleh sisi transparansi dan akuntabilitas. Kelemahan semacam ini bukan tidak mungkin juga melanda hampir semua komisi yang sudah dibentuk, bukan tidak mungkin juga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK).
Jika KPK sebagai lembaga independen pemberantasan korupsi melakukan hal yang sama--yaitu jika di antara pemimpin KPK saat ini juga mengelola proyek-proyek pengadaan seperti KPU--bukan mustahil suatu saat nanti KPK akan menjadi lembaga penerima komisi alias penerima suap atau rentan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hal ini harus segera dihentikan karena berdampak terhadap kinerja pemimpin KPK ke depan, apalagi ditambah dengan wewenang yang sangat luas dan powerful.
Sisi lain dari peristiwa Mulyana adalah berkaitan dengan sistem birokrasi yang sudah dibangun sekian lama di republik ini, dengan fungsi sekretariat jenderal di mana pun merupakan unit pendukung utama seluruh kebutuhan komisi yang dibentuk, harus tetap dipertahankan, dan pejabat eselon 1 dan 2 tidak boleh menjadi pemimpin proyek, kecuali pejabat eselon 3. Sementara itu, pemimpin komisi sesungguhnya setingkat pejabat negara atau menteri dalam jajaran birokrasi.
Di sinilah letak kerancuan pembentukan dan kinerja komisi-komisi selama ini yang kemudian rawan dan rentan korupsi, kolusi, dan nepotisme, sehingga pada akhirnya merusak kredibilitas komisi itu sendiri di hadapan masyarakat luas.
Fenomena keberadaan kawan-kawan dari LSM dalam sistem birokrasi dalam berbagai bentuk dan cara yang saat ini tengah dilaksanakan juga bukan merupakan jaminan suatu solusi dari masalah yang kini dihadapi birokrasi, seperti meluasnya korupsi, tetapi terbukti merupakan bagian dari masalah, sekalipun tidak seluruhnya demikian.
Fenomena menjadi bagian dari masalah ketimbang bagian dari solusi yang terjadi akhir-akhir ini bukan pertanda membaiknya kinerja pencegahan dan pemberantasan korupsi, tetapi lebih mencerminkan masih rapuhnya entitas dan integritas masyarakat sipil sebagai pelopor pembaruan (reformasi).
Dalam posisi kondisi masalah perkembangan korupsi yang semakin luas dan sistematis, dapat dikemukakan bahwa karakteristik korupsi, kolusi, dan nepotisme di Indonesia sudah merupakan organisasi kejahatan dan merupakan ancaman terhadap ketahanan nasional bangsa ini. Konstatasi tersebut tecermin dari betapa amat tidak mudahnya hakim Pengadilan Khusus Korupsi dalam kasus Puteh menjalankan tugas-tugasnya yang mulia seperti penggajian yang bermasalah, dari semula Rp 10 juta diturunkan menjadi Rp 5 juta, justru pada saat mereka tengah giat dan bersemangat mengadili Puteh dan dengan berbagai alasan yang tidak masuk akal serta bertentangan dengan semangat dan jiwa Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Begitu pula tidak adanya penghargaan terhadap saksi pelapor anggota BPK dalam kasus Mulyana dan terkesan pemimpin BPK lepas tangan mengenai keterlibatan anggotanya dan masyarakat mempertanyakan perilaku anggota tersebut, sekali lagi mencerminkan masalah korupsi sudah sangat parah.
Demikian halnya keparahan ini tampak dari buruknya sistem penggajian yang juga melanda pemimpin KPK dan jajarannya, kepolisian dan kejaksaan yang sangat jauh panggang dari api, bahkan menyederhanakan tugas dan tanggung jawab mereka dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Selain itu, sudah merupakan isu internasional bahwa Indonesia merupakan tempat yang tidak disukai kaum investor karena buruknya kinerja penegakan hukum.
Seharusnya pemerintah, dalam hal ini kementerian yang bertanggung jawab dalam kinerja penyelenggara negara dan keuangan, turut bertanggung jawab dan segera menemukan solusi dari krisis yang dihadapi para penegak hukum tersebut dan tidak dibiarkan berlarut-larut. Apabila hal ini tidak segera diatasi, jelas kebijakan demikian tidak sejalan dengan semangat dan jiwa serta komitmen Presiden dalam pemberantasan korupsi.
Kinerja dan strategi KPK dalam kasus Mulyana sangat tepat dan patut mendapat acungan jempol karena dari sisi prosedur hukum acara pidana seluruh langkah dan tindakan KPK tidak ada yang bertentangan dengan aturan yang ada dalam UU No. 30/2002 tentang KPK juncto UU No. 8/1981 tentang KUHAP.
Mulyana seharusnya kooperatif dalam proses penyidikan terhadap dirinya dan mau terbuka dan membuka seluruh fakta dan informasi berkaitan dengan kinerja KPU kepada tim penyidik. Langkah tersebut dinilai lebih baik, kredibel, dan memiliki integritas ketimbang mengambil sikap inklusif dan mengedepankan prestise status sosial dan kelembagaan KPU.
Kinerja dan strategi yang sama kiranya juga perlu dilakukan terhadap pejabat penyelenggara negara yang potensial rentan korupsi seperti direktorat jenderal atau lembaga yang bertugas dan bertanggung jawab dalam pelayanan publik seperti Direktorat Jenderal Pajak, Bea dan Cukai, Administrasi Hukum Umum, Imigrasi, Hak Kekayaan Intelektual, perdagangan dalam negeri dan luar negeri dan Badan Koordinasi Penanaman Modal, dan Badan Pertanahan Nasional, di samping BUMN strategis yang ditengarai rentan korupsi.
Kinerja dan strategi ini tidak mungkin dilakukan jika anggaran kelembagaan sangat kurang, bahkan jauh dari mencukupi, dan janganlah masyarakat dan pemerintah bermimpi untuk sukses dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi jika faktor anggaran yang juga penting tak segera diatasi.
Ada kebuntuan pemikiran dan skeptisisme dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi pada sebagian besar kalangan masyarakat dan aparatur penegak hukum, termasuk advokat. Namun, ini harus segera diatasi dengan memulainya dari Presiden sendiri, dan sudah diketahui komitmen Presiden melalui Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2004.
Ada fenomena menarik dari persepsi yang keliru terhadap implementasi instruksi itu, yaitu modus kerja sama antara KPK dan kementerian yang sudah berjalan, dan tampaknya penanda tangan berasumsi bahwa jika sudah menandatangani kerja sama dengan KPK masalah pencegahan dan pemberantasan korupsi sudah selesai, seolah-olah penandatanganan itu sebagai proses pengalihan tugas dan tanggung jawab dari kementerian ke KPK. Impresi seperti itu harus segera diluruskan oleh pemimpin KPK karena berdampak buruk terhadap energi dan kinerja kementerian itu sendiri dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Fenomena menarik lainnya adalah isu politisasi pemberantasan korupsi. Masih ada pendapat di kalangan masyarakat bahwa kinerja KPK dan aparatur penegak hukum dalam pemberantasan korupsi hanyalah atas dasar pesanan pemegang kekuasaan, artinya mereka bergerak atas dasar permintaan, bukan dihasilkan dari manajemen sistem yang sudah terbangun rapi dalam organisasi KPK dan kepolisian serta kejaksaan.
Sebaiknya sejak saat ini isu tersebut segera dihentikan karena keseluruhan proses dan finalisasi pemberantasan korupsi itulah yang nanti dapat dijadikan penilaian atas kebenaran isu politisasi tersebut. Tidaklah etis dan prematur jika isu itu dikembangkan masih dalam rangka proses penyidikan dan penuntutan. Masyarakat dan praktisi hukum serta kaum politikus haruslah bersikap dewasa dan bijaksana dalam memantau dan mencermati kinerja KPK dan aparatur penegak hukum lainnya dalam pemberantasan korupsi.(Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran)
Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 19 April 2005