Sejumlah Kendala Pemilihan Kepala Daerah

Sepanjang tahun ini, termasuk yang mengadakan pemilihan kepala daerah pada Juni, ada 11 provinsi dan 215 kabupaten/kota yang harus mengadakan pemilihan kepala daerah langsung. Di tengah ramainya persiapan pemilihan, muncul skeptisisme tentang kemungkinan pemilihan ditunda sampai tempo tertentu bergantung pada kendala yang dihadapi masing-masing daerah.

Setidaknya ada tiga masalah yang memungkinkan penundaan pelaksanaan pemilihan. Pertama, sengketa perangkat hukum. Yang banyak dipersoalkan adalah Pasal 65 ayat 4 UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa tata cara pelaksanaan masa persiapan dan pelaksanaan pemilihan diatur Komisi Pemilihan Umum (KPU) daerah dengan berpedoman pada peraturan pemerintah (PP). Klausul ini bertentangan dengan kedudukan KPU daerah sebagai lembaga independen. Selain itu, hasil uji material PP No. 6/2005 oleh Mahkamah Konstitusi yang memberi wewenang bagi partai kecil atau gabungan partai kecil yang mengantongi minimal 15 persen suara untuk mengajukan calon bertentangan dengan UU No. 32/2005.

Kedua, level teknis. Yang paling serius adalah masalah dana. Menurut UU No. 32/2004, pendanaan pemilihan pada 2005 dibebankan pada APBN dan APBD. Perkiraan kebutuhan dana pemilihan tahun ini sekitar Rp 1,255 triliun, belum termasuk dana khusus untuk daerah pemekaran yang mencapai Rp 116,428 miliar. Selain itu, Rp 185,269 miliar mesti diserap oleh pemerintah pusat untuk kegiatan dukungan fasilitas pemilihan.

Dari semua kebutuhan itu, dana pemilihan kepala daerah yang harus dilimpahkan ke APBN diperkirakan sekitar Rp 929,568 miliar. Sampai sekarang, mayoritas daerah belum mengantongi dana Rp 400 juta yang dijanjikan dari pusat melalui rekening KPU daerahnya. Bahkan di sebagian daerah, seperti Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, dana APBD belum sampai ke KPU daerah.

Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, ada 7 kabupaten yang terancam tidak bisa mengadakan pemilihan kepala daerah sesuai dengan jadwal (Juni 2005), sebagian karena krisis dana seperti Kabupaten Manggarai Barat dan Sumba Timur, sebagian lagi karena masalah sengketa PP No. 6/2005 dan UU No. 32/2004 tentang syarat keikutsertaan partai kecil mengajukan calon. Untuk daerah seperti Manggarai Barat dan Sumba Timur, pemilihan kepala daerah lebih baik ditunda daripada terpaksa sehingga hasilnya tidak maksimal.

Ketiga, masalah lain adalah rawan kekerasan politik. Menurut studi sosiolog Tamrin Amal Tomagola, ada delapan titik rawan konflik dalam pemilihan kepala daerah nanti, yakni Jawa Timur, Jawa Tengah, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Menurut Tamrin, konflik itu terjadi karena perebutan sumber daya strategis sosial, budaya, ekonomi, dan politik (Media Indonesia, 8/4/2005).

Saya melihat ada faktor lain yang justru dipicu oleh partai politik sendiri, yakni penetapan kepala daerah yang bermasalah--yang terkait dengan sangkaan korupsi/penyelewengan atau masalah lain seperti tuduhan pelanggaran hak asasi manusia--sebagai calon. Di Flores Timur, misalnya, Bupati Drs Felix Fernandes sangat ditentang oleh mayoritas masyarakat di sana karena terkait masalah korupsi dan tindak kesewenangan terhadap aktivis hak asasi manusia Keuskupan Larantuka, Pastor Frans Amanue. Maka kalau ia dicalonkan lagi oleh partai politik dalam pemilihan nanti, hal itu berpotensi membidani kekerasan horizontal antara pendukung Felix dan kelompok masyarakat propembaruan.

Hal yang sama bisa terjadi di Kabupaten Manggarai. Bupati Manggarai Drs Antonie Bagul Dagur, MSi, yang sekarang masuk daftar penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi, meskipun belum berstatus tersangka atas tuduhan korupsi dalam pembangunan rumah pribadi senilai Rp 6 miliar dan masuk catatan Komisi Nasional HAM atas tuduhan pelanggaran HAM berat dalam kasus Colol (penembakan petani, 11 Maret 2005).

Agar pemilihan kepala daerah sungguh-sungguh menghasilkan pemimpin yang bersih di tingkat daerah, pelaksanaan pemilihan mesti dipersiapkan dengan matang, tidak tergesa-gesa, apalagi terkesan terpaksa. Sebetulnya kita bisa belajar dari pengalaman KPU dalam Pemilihan Umum 2004. KPU saat itu didesak untuk melakukan proyek besar dalam waktu singkat yang tentu saja membuka peluang bagi penyimpangan yang berbuntut pada kasus Mulyana W. Kusumah sekarang. Kalau pemilihan kepala daerah tetap dipaksakan, terutama di daerah-daerah yang secara teknis (dana) belum siap, KPU daerah sangat berpeluang mendaur ulang kerja KPU.

Selain itu, pemilihan kepala daerah yang terkesan kejar target tidak mencerminkan misi pemilihan kepala daerah sebagai momentum penguatan demokrasi di tingkat lokal, tetapi lebih mencerminkan pemilihan kepala daerah sebagai proyek politik partai politik (baca: elite politik). Di sejumlah kabupaten/kota, sudah terdengar ada praktek politik uang oleh partai politik. Modusnya sangat klasik: partai politik memasang tarif bagi setiap calon. Calon yang berani membayar tinggi terpilih sebagai calon dari partai tersebut. Modus seperti itu sudah usang, tetapi masih laris dalam politik menjelang pemilihan kepala daerah. Itu sebabnya, ide penundaan pemilihan kepala daerah memanen banyak protes keras dari partai politik yang rata-rata sudah membuat kontrak politik dengan para calon.

Kalau penundaan hanya terkait dengan ketidaksiapan dana karena keterlambatan distribusi dari pusat ke KPU daerah, saya kira masih bisa diatasi dengan mekanisme pinjam silang dari daerah yang memiliki APBD tinggi kepada daerah yang tidak memiliki kecukupan dana. Selanjutnya, pinjaman itu ditebus oleh pemerintah pusat sesuai dengan besarnya jatah untuk daerah tersebut dalam anggaran pemilihan yang ditanggung APBN. Tetapi, selain persoalan dana, konflik prapemilihan sudah berlangsung tanpa ada aturan yang jelas. Misalnya, tuduhan mencuri start kampanye terhadap Badrul Kamal di kota Depok tidak bisa dieksekusi secara hukum karena panitia pengawas belum berjalan, bahkan baru dilantik pada 12 April lalu.

Kendala-kendala seperti itu terjadi juga di daerah lainnya. Di daerah yang rawan konflik seperti Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, atau Flores juga belum ada upaya pencegahan yang jelas. Kalau, misalnya, pemerintah pusat membentuk pasukan pengaman pemilihan kepala daerah, itu artinya menambah pos pendanaan baru yang tentu saja sulit dilakukan. Pilihan lain yang mungkin adalah partai-partai politik menggalang pasukan sukarela yang merupakan gabungan kader berbagai partai politik yang ada di daerah. Artinya, biaya keamanan menjadi tanggungan partai. Dengan begitu, kemungkinan konflik dalam pemilihan kepala daerah bisa diminimalisasi.(Boni HargensPeneliti Pusat Kajian Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia)

*) Tulisan ini pernah disampaikan dalam seminar Pemilihan Kepala daerah dan Momentum Perubahan di Daerah di Universitas Indonesia, 12 April 2005.

diambil dari Koran Tempo, 19 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan