Perlindungan Saksi dan Permufakatan Korupsi

Keberanian Khairiansyah dari BPK untuk bekerja sama dengan KPK dalam mengungkapkan korupsi yang ada di tubuh KPU patut diacungi jempol, begitu isi Surat Terbuka Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI) No. 15/MTI/IV/2005 tentang Seruan Mengesahkan UU Perlindungan Saksi kepada Ketua Komisi III DPR RI.

MTI juga mencatat bahwa, dalam sejarah pemerintahan negara ini, sungguh minim aparat negara yang berani mengungkapkan penyelewengan penguasa atau lembaga negara. Dengan demikian, Jika seseorang mencoba melawan kekuasaan, niscaya dalam waktu singkat dia akan disingkirkan, minimal akan dikucilkan.

Pemimpin tertinggi lembaga negara tempat Khairiansyah bekerja terang-terangan mengancam akan memberi sanksi kepadanya karena dinilai telah melakukan kesalahan. Selain tidak melaporkan kepada dirinya sebagai pemimpin tertinggi, yang dilakukan Khairiansyah bukanlah tugas BPK, melainkan tugas KPK.

Jelas dia melanggar aturan. Saya seperti dikentuti dari belakang, kata pimpinan tersebut. Dia itu staf BPK atau KPK? Dia jelas tidak boleh bekerja sama dengan instansi lain tanpa sepengetahuan saya. Tidak peduli instansi itu kepolisian, kejaksaan, atau KPK. Dia jelas salah, kata dia (Jawa Pos, 17/4).

Pernyataan seperti di atas dalam ilmu hukum menunjukkan ignorantia juris, pemimpin lembaga negara tidak selayaknya geram/marah apalagi memberikan sanksi terhadap bawahan/staf lembaga yang dipimpinnya yang melaporkan atau menginformasikan indikasi korupsi/penyuapan atau sejenisnya, baik yang terjadi di lingkup internal maupun eksternal, ke aparat berwenang karena merupakan hak dan tanggung jawab setiap warga negara (Pasal 41 UU No. 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi/UU Korupsi).

Tidak ada satu regulasi hukum pun yang bisa dipakai dasar untuk menghukum seorang saksi/pelapor dari staf suatu lembaga negara yang menginformasikan dugaan korupsi/penyuapan dan sejenisnya. Tidak boleh ada regulasi setitik pun yang mengharuskan (imperative rules) bawahan melapor terlebih dulu kepada atasan guna membuka suatu kasus korupsi.

Semua perangkat regulasi hukum di bidang korupsi yang memberi tanggung jawab kepada setiap warga negara dalam pemberantasan korupsi memiliki kedudukan yang kukuh dalam bingkai hukum dan perundang-undangan karena berkedudukan sebagai lex specialis (lebih khusus) ataupun lex posteriori (lebih tinggi), dalam upaya perlindungan hukum bagi saksi/pelapor seperti Khairiansyah. Apalagi hanya dengan memakai regulasi administrasi negara ataupun regulasi internal belaka yang tidak memiliki fondasi hukum dan etika yang berarti.

Jika sanksi dijatuhkan terhadap saksi/pelapor seperti Khairiansyah, pemimpin lembaga negara yang memberikan sanksi dapat terkualifikasi sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa (onrechtmatige overheidsdaad) yang tidak terbatas perbuatan pelanggaran undang-undang (onwetmatige daad), tetapi juga pelanggaran terhadap kepatutan. Keputusan sanksi sebagai akibat dari suatu perbuatan hukum pejabat negara dapat saja terseret sebagai tindak pidana dan/atau tuntutan ganti rugi perdata hingga membawa putusan sanksi tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara.

Karena itu, komitmen KPK untuk tidak akan tinggal diam bila Khairiansyah dijatuhi sanksi (Koran Tempo, 18/4) oleh atasannya patut diberi apresiasi yang tinggi. KPK telah menyadari kewajibannya untuk melindungi saksi/pelapor dalam pemberantasan korupsi (Pasal 15 UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Bahkan KPK melalui Erry Riyana Hardjapamekas memberikan definisi perlindungan saksi yang progresif bahwa perlindungan yang diberikan itu, di antaranya berupa perlindungan status hukum dan juga rasa aman, yaitu rasa aman dari ancaman terhadap diri dan keluarganya ataupun rasa aman terhadap kariernya.

Kegeraman pemimpin suatu lembaga negara, bila terdapat seorang staf lembaga negara itu menjadi saksi/pelapor kasus korupsi/penyuapan, malah bisa kontraproduktif buat pemimpin lembaga tersebut. Kegeraman bisa memunculkan indikasi bahwa di balik kasus korupsi/penyuapan yang terungkap, telah terjadi percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat untuk melakukan korupsi/penyuapan dengan pemimpin lembaga negara tersebut.

Konsekuensi hukuman bagi percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat dalam korupsi adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar, bahkan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan (Pasal 15 UU Korupsi). Karena itu, KPK pun harus melirik pemimpin lembaga yang begitu geram dan marah terhadap bawahannya yang mengungkap langsung korupsi ke KPK.

Sebagai langkah selanjutnya, sebaiknya selain perlindungan keamanan, diperlukan perlindungan hukum untuk karier bagi saksi/pelapor. KPK sebaiknya segera menyiapkan tim advokasi hukum bagi saksi/pelapor seperti Khairiansyah, jikalau ternyata lembaga negara tempat bernaungnya mengancam, mengucilkan, dan menjatuhkan sanksi. Apa pun model sanksi, termasuk mutasi atau promosi yang tidak dapat diterima saksi/pelapor yang diduga akibat menjadi saksi/pelapor dalam pemberantasan korupsi, ia harus terus diadvokasi oleh KPK.

Momentum perlindungan saksi bagi saksi/pelapor korupsi dengan kemunculan Khairiansyah ini harus segera digaungkan, meski RUU Perlindungan Saksi belum disahkan. Bagaimanapun, korupsi terjadi di mana-mana, tapi ketiadaan perlindungan keamanan jiwa ataupun karier bagi seseorang yang ingin menjadi saksi/pelapor dalam pemberantasan korupsi membuat orang harus membunuh keinginan untuk mengungkap kasus korupsi di tempatnya bekerja.

Karena itu, momentum Khairiansyah ini bukan hanya KPK yang bekerja sendiri, tapi elemen politik lainnya seperti presiden, MPR, dan DPR, harus memberikan perlindungan optimal (protection of whistleblowers and witnesses). Jikalau saksi/pelapor betul-betul mendapat perlindungan optimal dari negara, yakinlah berbagai kasus korupsi perlahan akan terungkap.

Saya teringat pidato pertama Presiden Yudhoyono di Istana Merdeka, Rabu (20/10), yang mengatakan akan memimpin langsung pemberantasan korupsi dan secara aktif akan bekerja keras untuk membentuk pemerintahan yang bersih dan baik serta tanggap terhadap kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Oleh karenanya, jika Yudhoyono betul istoqomah dengan janjinya, maka ia harus mengambil langkah seperti yang dilakukan KPK dengan mengeluarkan instruksi presiden untuk memberikan jaminan keamanan bagi Khairiansyah, baik jiwa maupun karirnya, dan memberikan penghargaan negara seperti menaikkan pangkat istimewa bagi Khairiansyah, termasuk saksi/pelapor kasus korupsi lainnya.

Partai politik, pemimpin DPR dan MPR yang ketika pemilihan umum lalu menyatakan akan memberantas korupsi, segera memberikan stimulasi politik untuk memberikan perlindungan kepada saksi/pelapor seperti Khairiasnyah. Jika hal ini dilakukan, yakinlah, satu persatu orang akan keluar melaporkan korupsi di sekitarnya. Di sinilah pemerintah Yudhoyono, termasuk partai di DPR, akan membuktikan komitmennya untuk memberantas korupsi.(A. Irmanputra Sidin, Pengajar Fakultas Hukum Universitas Indonusa Esa Unggul, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 20 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan