Mulyana, Lemahnya Kecerdasan Politik Kita

Kasus tuduhan korupsi yang menimpa Mulyana W. Kusumah, masalah siapa menjebak siapa, secara moral tidak mesti diperbincangkan. Karena, kalaupun dari ketiga yang menjebak Mulyana, pertanyaan dasarnya, kenapa dia membawa dan menyerahkan uang sebesar itu? Adakah indikasi niat atau upaya penunaian jebakan tersebut? Andaikan ada, maka potensi korup memang ada dalam setiap orang, tidak terkecuali pejabat KPU. Penyuap dan tersuap, adalah elemen penentuan terjadi praktik penyuapan. Oleh karena itu, apa pun simpulan penyelidikannya, maka penulis pandang bahwa sebagai pejabat publik (KPU), Mulyana W. Kusumah, harus mengundurkan diri dari jabatannya di KPU.

Kritik budaya politik
Bila diasumsikan bahwa tindakan Mulyana itu benar, artinya tidak korupsi, maka gejala tersebut masih menyisakan ruang kritik yang perlu dikedepankan. Satu sisi etika atau prosedur pejabat publik. Masalah ini, lebih besar implikasinya, dan lebih substansial bagi masa depan Indonesia.

Ada dua kasus yang dapat dikemukakan dalam wacana kali ini, yaitu kasus Farid Faqih dan kasus Mulyana W. Kusumah (selanjutnya ditulis MWK) yang sedang mengemuka saat ini. Kedua kasus ini, secara kasat mata, memosisikan aktivitas reformis atau ikon pembaharuan sebagai seorang tertuduh. Tanpa harus terjebak untuk membela, atau menyudutkan, kedua tokoh ini, kini menjadi bulan-bulanan publik. Kalau saja, aktivis Munir menemui ajalnya, di dalam lubang kemisterian, maka kedua aktivis ini, berada di hadapan terali besi.

Wacana ini, tidak ingin mengatakan bahwa ada skenario besar (the grand scenario, konspirasi) dalam menghabisi aktor-aktor LSM atau aktivis reformis. Fokus diskusi kita adalah adanya satu keniscayaan pembangunan budaya politik dan sikap keeleganan dalam menunjukkan sikap politik, guna membangun Indonesia masa depan.

Walaupun kasusnya tenggelam atau tidak mengemuka lagi, tetapi publik pasti ingat kasus pimpinan Government Wacth (Gowa) Farid Faqih yang dituduh berupaya menggelapkan barang sumbangan tsunami di Aceh Darussalam. Kasus tersebut melibatkan aparat TNI. Dan, sampai saat ini, publik belum mendapatkan informasi kejelasan atau kepastian hukumnya. Tetapi, jika diambil salah satu poin delik hukum dalam kasus tersebut, yaitu adanya misperception antara pihak TNI dan pihak Faqih.

Penanggung jawab gudang menganggap bahwa Faqih tidak memiliki dokumen resmi yang menjelaskan kewenangan Faqih untuk mengambil dan mendistribusikan barang ke masyarakat Aceh, sedangkan Faqih sendiri mengaku sudah lapor kepada pihak yang berwenang di lokasi penyimpanan barang. Bentrokan pun tidak bisa dihindari dan akhirnya terjadi tindakan kekerasan fisik terhadap aktivias Gowa. Peristiwa ini kemudian berbuntut pada saling tuntut dan berujung pada tuntutan untuk membawa kasusnya ke meja hijau.

Jika dicermati, maka fenomena kasus Faqih tersebut adalah fenomena prosedur atau kedisiplinan prosedur dalam penyelesaian masalah. Titik masalah inilah yang kemudian menjadi titik riskan dalam budaya politik tersebut. Tidak jauh beda dengan apa yang terjadi pada MWK. Sekali lagi, perlu ditegaskan di sini, bahwa jika MWK benar, artinya ada upaya sistematik dari pihak BPK untuk menjebak MWK. Maka pertanyaan yang ditulis di awal diskusi ini, dapat dimunculkan kembali, mengapa dia mau melakukan prosedur itu? Apakah semudah itu, MWK dijebak orang dalam praktik serupa ini? Mengapa ada upaya nurut untuk melakukan prosedur yang diajukan oleh si penjebak? Kata orang, tidak mungkin kita terjebak, bila kita tidak memiliki kesediaan masuk ke dalam prosedur jebakan tersebut. Sebuah jebakan politik, hanya akan efektif, bila sesuai dengan budaya atau tata kelakuan calon korban itu sendiri. Kalau ada perbedaan prosedur atau kebiasaan, maka prosedur jebakan tidak akan efektif dilakukan.

Indonesia sangat dengan mudah dijebak oleh utang. Karena memang negara ini memiliki kebiasaan dan hobi utang. Rakyat kecil dapat dengan mudah dijebak dengan provokasi, karena memang emosinya mudah terprovokasi. Rakyat dengan mudah diadudombakan, karena memang antara satu dengan yang lainnya, memiliki potensi permusuhan. Oleh karena itu, jebakan hanya akan efektif, jika ada pada jalur budaya atau perilaku calon korban itu sendiri. Ibarat jebakan tikus, jebakan ini hanya akan memakan korban, jika disimpan pada jalur aktivitas tikus yang akan menjadi sasaran jebakan tersebut. Tidak mungkin efektif menjebak tikus, kalau jebakannya disimpan di dinding kaca yang tidak pernah dilalui oleh tikus.

Kembali pada masalah di atas, maka kasus-kasus tersebut, memberikan pekerjaan rumah yang besar dalam membangun budaya politik. Pertama, elite pejabat publik, jangan bermain-main dengan ketidakjelasan prosedur. Karena, ketidakjelasan prosedur hanyalah akan melahirkan ketidakjelasan pokok masalah. Kasus Gus Dur bertemu dengan terdakwa Tomy Suharto di hotel. Amrozi yang tertuduh kasus teror, diajak makan-makan oleh pihak kepolisian. Adalah sebuah prosedur yang bias secara budaya. Siapa yang memanfaatkan siapa, menjadi sangat kabur. Saksi yang memperberat Abubakar Ba'asyir, diduga sebagian kelompok, tiap hari mondar-mandir di kepolisian. Gejala ini, adalah gejala kebijakan elite publik yang melakukan prosedur hukum tidak jelas.

Contoh-contoh di atas, yang pada dasarnya merupakan kasus yang sedang disidik karena mengandung muatan kasus kriminal berat, akhirnya mengundang persepsi ambigu (ganda), siapa menjebak siapa, siapa memanfaatkan siapa, atau siapa pengkhianat siapa, menjadi sangat kabur di mata publik. Oleh karena itu, kasus MWK membawa uang di hadapan pemeriksa keuangan, menjadi sangat rentan mengundang pertanyaan.

Kedua, stigma empirik yang sedang tumbuh di masyarakat adalah tikus pun suka uang. Setiap orang, apalagi penguasa atau pemegang kewenangan, dipersepsikan cenderung korup. Dugaan korup kepada siapa pun, akan menjadi hal yang mudah dilontarkan. Oleh karena itu, tidak ada yang kebal virus korup. Kekhilafan akan mudah singgah dalam diri seseorang.

Implikasi dari masalah seperti ini, keteguhan dan kedisiplinan dalam memegang prosedur hukum, menjadi sesuatu hal yang penting untuk tetap dikedepankan. Prosedur di luar hukum, bila tidak disebut ekstra legal (maksudnya karena belum ada aturan hukumnya), akan dengan mudah terjebak pada tindakan ilegal (melawan hukum). Elite politik yang terbiasa dengan pendekatan ekstra-legal, akan mudah dijebak oleh tindakan ilegal. Kasus Gus Dur -- di masa kekuasaannya -- ketika menerima sumbangan dari Sultan Brunei adalah contoh lain dari tindakan ekstra legal, yang menyeretnya diposisikan sebagai pelaku tindakan ilegal (khususnya dari pandangan politikus).

Berdasarkan pemikiran seperti ini, maka kebutuhan untuk disiplin terhadap koridor hukum menjadi sangat penting untuk dilakukan para pejabat publik. Tanpa adanya kedisiplinan etika politik, maka upaya pembangunan budaya politik yang sehat dan bersih akan sangat sulit diwujudkan.

Ketiga, kebutuhan untuk bertindak elegan. Bila salah, mengaku salah. Bila tidak sesuai dengan prosedur hukum (baca: tidak mesti salah, karena mungkin belum diatur oleh hukum) maka lebih baik mundur dari jabatan publik. Mempertahankan budaya politik yang ambigu dan ekstra legal (apalagi ilegal), hanyalah akan menjadi bom waktu bagi kerusakan tatanan sosial (social order) Indonesia masa depan.

Pada titik ini, MWK diharapkan sesegera mungkin tindakan yang jelas dan tegas dalam menyikapi masalah yang dihadapinya saat ini. Menunda-nunda waktu penjelasan (konferensi pers), hanya akan melarut-larutkan masalah. Kecuali memang, jika mau ditunggu sampai masalah ini membeku atau hingga dipetieskan.

Bila saja, kita mendengar berita-berita dari negara lain, bahwa bila pejabat publik yang terindikasikan korup atau melakukan tindakan ilegal (atau ekstra legal), maka sebelum dituntaskan di meja hijau mereka langsung mengundurkan diri. Selain dapat mempermudah prosedur hukum, ini menunjukkan kepekaan moral dan tanggung jawab publiknya sangat tinggi. Sementara di negeri kita, budaya elegan dalam berpolitik seperti ini, masih sulit ditemukan. Sehingga, para pejabat publik ini, selain sulit prosedur penyidikannya (karena harus izin ke sana kemari), juga dipengaruhi oleh ewuh pakewuh aparat dalam melakukan penyidikan. Akhirnya, sudah sangat jelas, kasus-kasus yang menyangkut pejabat publik, atau aparat TNI/Polri menjadi jauh dari jangkauan hukum. Pada saat yang bersamaan, mereka yang terindikasikan melakukan pelanggaran pun, masih terus aktif dalam jabatannya.

Budaya politik yang elegan, berbesar hati dan terbuka terhadap kritik merupakan budaya politik yang langka dan sangat sulit ditemukan pada pribadi elite politik bangsa kita. Budaya politik yang ada saat ini, atau moralitas politik yang ada saat ini, baru muncul dalam tingkat retorika. Implikasi dan operasionalisasi reformasi moral, belum jatuh ke bumi pertiwi.

Terakhir, fenomena tersebut, mencirikan masih mudahnya elite publik Indonesia dijebak. Artinya, kalau memang benar MWK itu dijebak, maka rakyat Indonesia memiliki data tambahan, bahwa pejabat publik di Indonesia ini tidak memiliki kapabilitas dan kualifikasi kenegarawanan yang unggul. Orang sekaliber MWK saja masih bisa dijebak, apalagi wakil rakyat yang baru masuk ke Senayan. Maka mereka akan dengan mudah dijebak oleh kepentingan para penguasa atau pengusaha. Maka tidak mengherankan pula, bila korupsi dan judi di Indonesia sulit diberantas. Hal ini, dilatarbelakangi oleh adanya kualitas elite politik yang mudah dijebak.

Politic intelligence
Di luar wacana tersebut, perlu ditegaskan ulang bahwa wacana ini tidak berpretensi untuk mengatakan MWK benar atau salah. Karena, pihak yang dapat memberikan statemen tersebut hanya ada pihak yang berwenang dalam bidang hukum itu sendiri. Misi wacana ini, ada pada posisi pentingnya peningkatan kualitas politis kalangan elite politik.

Kebutuhan untuk peningkatan kualitas atau kompetensi elite publik ini, kita sebut dengan pentingnya peningkatan kecerdasan politis (politic intelligence). Bangsa kita saat ini lemah dalam anutan dan kemampuan -- meminjam istilah yang dikembangkan Sutan Takdir Alisyahbana -- nilai kuasa, khususnya dalam membangun dan mengelola masalah. Pentingnya peningkatan kecerdasan politik ini, dapat dijadikan bagian dari upaya peningkatan -- sekali lagi meminjam istilah McClelland -- motivasi kekuasaan (need for power).

Pentingnya peningkatan kualitas kecerdasan politik ini, bukan hanya untuk meningkatkan jiwa kenegarawanan kaum elite, melainkan juga untuk meningkatkan kemampuan komunikasi politik dengan pihak internal Indonesia maupun eksternal Indonesia. Minimalnya, supaya tidak mudah dijebak atau tidak mudah dijadikan robot politik oleh kepentingan pihak luar.

Kelemahan dalam kecerdasan politik, potensial akan mengalami kekalahan dalam model diplomasi politik. Kasus kekalahan kader partai mayoritas (semacam PDIP) dalam berbagai even pemilihan jabatan politik antara tahun 1999-2004, dapat dijadikan contoh lain tentang lemahnya kecerdasan politik kader politik atau elite politik. Sehingga, para kader ini mudah dijebak oleh uang (money politics). Sementara kasus lemahnya diplomasi Indonesia di Mahkamah Internasional Den Haag Belanda mengenai Sipadan-Ligitan, juga dapat dijadikan contoh lain ketidakberdayaan kecerdasan politik (diplomasi) elite bangsa Indonesia.

Elite politik kita, lebih banyak mengemis, mengeluh, mendiskreditkan, dan menuduh. Dalam konteks penuntasan masalah korupsi, elite penegak hukum baru bisa sampai pada tahap penyebutan indikasi, dan lemah dalam kemampuan pembuktian. Sehingga, segudang masalah korupsi berhenti pada titik misterius. Pemerintah, dalam setiap laporan perkembangan pemberantasan KKN, setiap akhir pidato politiknya hanya mampu pada ujung kalimat KKN sulit diberantas.

Deskripsi tersebut di atas, menunjukkan bahwa elite kita atau bangsa kita, memiliki kelemahan dalam kecerdasan politik. Dengan kata lain pula, partai politik di Indonesia, gagal melahirkan kader politikus yang berjiwa kenegarawanan dan mampu menjadi garda depan dalam menyelesaikan masalah bangsa dan negara.

Indonesia adalah panggung sandiwara surgawi, yang memesona dan memiliki daya tarik sangat indah. Bukan hanya elite lokal, melainkan elite global pun, banyak yang mendambakannya. Bila elite politik Indonesia ini mudah dijebak, mudah dimainkan, maka skenario sandiwara Indonesia menuju Indonesia baru, akan dapat dengan mudah diubahorientasikan oleh sutradara dari luar. Ini, sangat potensial, bila kita tidak cerdas dalam bermain politik.(Momon Sudarma, penggiat sosiologi, staf pengajar Stikom dan Akper Aisyiyyah Bandung)

Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 26 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan