Belajar dari Kasus Mulyana W. Kusumah
Sebuah pernyataan yang tendensius seolah-olah menuduh, karena sebenarnya dalam peristiwa kejahatan, peran kita bisa sebagai pelaku, bisa sebagai korban, dan bisa sebagai kedua-duanya sekaligus. Bahkan bisa sebagai penonton langsung ketika kejahatan itu tengah terjadi, atau sebagai penonton tak langsung melalui berita-berita di koran, majalah, atau televisi,yang setiap hari mempertontonkan kejahatan siap saji secara amat gamblang tanpa tedeng aling-aling.
Ketika kita ingin bereaksi membantah bahwa kita tak pernah berurusan dengan kejahatan dalam bentuk apa pun, baik sebagai korban maupun sebagai pelaku, atau keduanya, bahkan sebagai penonton sekalipun, maka pada saat yang sama kita sebenarnya telah berperan sebagai bagian dari dinamika kejahatan itu sendiri; yaitu pengingkaran. Itulah reaksi yang wajar dari manusia yang secara spontan biasanya terlontar begitu saja untuk menolak, ketika dilibatkan pada suatu yang dianggap jahat oleh hukum, oleh masyarakat, oleh kebudayaan, atau oleh agama sekalipun. Hal itu sangat manusiawi!
Sekira sebulan kasus Mulyana W. kita ikuti secara saksama perkembangannya. Kita segera bertanya, ada apa dengan Mulyana W. Kusumah? Mengapa tokoh sekelas dia, yang sudah kita kenal perjuangannya di berbagai lembaga swadaya masyarakat (LSM) tercebur dalam kasus upaya penyuapan?
Hingga detik ini duduk perkaranya memang belum jelas benar. Ada yang mengatakan bahwa upaya penyuapan yang dilakukan Mulyana terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah kali kedua. Kabar burung mengatakan bernyanyinya sehingga kasus ini terkuak, karena anggota BPK yang secara sinis dikatakan orang karena upeti yang diberikan tidak seimbang (terlalu kecil) dengan jumlah uang yang hendak diperiksa BPK. Tetapi yang menarik adanya informasi lain mengatakan bahwa apa yang dilakukan Mulyana pada Jumat malam yang nahas itu baru pertama kali dilakukan.
Dalam laporan polisi, Mulyana tertangkap tangan hendak menyuap auditor BPK itu sebesar Rp 150 juta. Namun informasi yang santer lainnya menyebutkan bahwa Mulyana dijebak. Ia diminta hadir di Hotel Ibis dan ketika petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemudian kencan dilakukan di dalam kamar hotel.
Pertanyaan lain yang belum bisa terjawab, apakah upaya penyuapan itu dilakukan Mulyana atas inisiatif pribadi atau mewakili lembaga tempatnya bernaung, Komisi Pemilihan Umum (KPU)? Sejauh informasi yang didapat, uang itu bukan milik Mulyana, tetapi dari lembaga KPU, sehingga inisiatif itu bukan semata-mata merupakan inisiatif pribadi Mulyana, tetapi sepengetahuan KPU. Namun Ketua KPU Nazaruddin Sjamsudin menolak bila dikatakan KPU sebagai lembaga ikut terlibat dalam kasus ini. Dan kini situasinya semakin heboh karena pro-kontra, simpati maupun antipati terhadap pihak-pihak yang terlibat semakin bersimbah prasangka dan menuding kian kemari. Situasi ini kurang menguntungkan untuk pembangunan hukum di negeri ini. Masyarakat semakin bingung harus bersikap bagaimana?
Lepas dari bagaimana kasus ini nanti akhirnya akan diungkap, yang ingin kita pertanyakan adalah mengapa harus Mulyana? Apa yang melatarbelakangi dirinya terlibat dalam kegiatan penyuapan seperti itu. Sebagai orang yang bergaul di lingkungan LSM, tentunya ia tahu bahwa hal yang paling kita musuhi adalah praktik KKN, korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Kita berjuang keras agar praktik yang jelas-jelas merugikan dan membangkrutkan negara ini bisa kita perangi. Dalam upaya memberantas praktik KKN tersebut, yang juga harus kita lakukan adalah menghidarkan diri untuk terlibat dalam praktik curang seperti itu. Termasuk dalam hal ini adalah menghindarkan diri untuk melakukan penyuapan. Sebab, praktik KKN hanya bisa terlibat apabila ada dua pihak yang terlibat, yakni orang yang memberi dan orang yang diberi.
Apa pun alasannya, Mulyana kini terlibat langsung dalam praktik tercela itu. Ia harus membayar mahal keterlibatannya itu dengan mendekam untuk sementara di dalam penjara, sampai kelak ada keputusan pengadilan.
Sejak lama muncul kekhawatiran di antara kita bahwa praktik KKN begitu membudaya hingga ke tingkat yang paling bawah di kehidupan masyarakat kita. Telah terjadi KKN berjamaah dan dirasakan sebagai sebuah kewajaran saja. Anehnya, kita tetap berupaya untuk berprasangka baik dan mencoba menyangkal kenyataan itu. Kita bagaikan seekor burung unta yang menyangka dirinya telah aman jika kepalanya telah dimasukkan ke dalam pasir dan dia tidak lagi melihat bahaya tersebut.
Mengapa? Karena sebagi anak bangsa kita bertanggung jawab kepada negeri ini. Pepatah lama mengatakan, menepuk air di dulang terpercik muka sendiri. Kalau praktik KKN itu sudah begitu buruknya merasuki kehidupan bangsa ini, maka itu bukan hanya akan membuat upaya pemberantasan korupsi menjadi sangat sulit, kita kehilangan peluang untuk bisa membangun kembali bangsa ini.
Dengan munculnya kasus yang melibatkan Mulyana sekarang ini kita merasa bingung. Kalau pendekar hukum sekaliber Mulyana sampai ikut tergoda dalam praktik tercela seperti itu, maka ibaratnya tidak ada lagi yang membentengi kita dari kejahatan.
Kita sangat ingin agar Mulyana dan seluruh anak bangsa ini mau memetik hikmah dari perkara pahit yang harus kita hadapi. Mulyana tampaknya perlu didukung untuk mau bicara apa adanya, terutama untuk bicara benar tentang apa yang sedang terjadi. Utamanya perihal yang berkaitan dengan lembaga tempat dia mengemban tugas kenegaraan, yaitu KPU.
Sudah jadi rahasia umum mengenai kiprah KPU pada pelaksanaan Pemilihan Umum 2004 lalu banyak terdapat ketidakberesan. Namun, kita semua mencoba untuk menutup mata karena kita sadar bahwa inilah pemilu pertama yang dilaksanakan secara langsung. Dengan berbagai kelemahan yang ada, kita berupaya untuk tidak merusak cita-cita besar kita bersama dalam membangun demokrasi yang baru seumur jagung.
Namun tentunya kita tidak juga bisa membiarkan kesalahan yang begitu mencolok. Bagaimana pelaksanaan pemilu yang menghabiskan dana sampai Rp 3,9 triliun itu dipakai oleh oknum-oknum tertentu untuk memperkaya dirinya. Begitu banyak orang di dalam maupun di luar KPU yang disebut-sebut terlibat dalam penyalahgunaan kesempatan. Inilah kesempatan emas bagi Mulyana untuk membongkar apa yang sesungguhnya terjadi dan tetap memberikan yang terbaik bagi masa depan negeri ini.
Tantangan tentunya kita tujukan juga kepada KPK. Sejak awal kita berharap bahwa lembaga ini dapat menjalankan tugasnya untuk memberantas praktik KKN. Kita akui bahwa pelaksanaannya memang tidak mudah sebab dibutuhkan pembuktian secara hukum. Tengoklah kasus Abdullah Puteh yang bisa dibawa ke pengadilan yang telah dijatuhkan vonis 10 tahun penjara kepada Puteh. Tetapi oleh Waka Pengadilan Tinggi di Jakarta dengan alasan sakit diubah menjadi tahanan kota tanpa berkonsultasi dengan majelis hakim pengadilan tinggi Korupsi (adhoc) yang berwenang mengadili Puteh dalam tingkat banding.
Ada apa pula ini? Apakah ini sebuah tren yang paling mustajab bagi seorang pejabat jika berurusan dengan pengadilan dengan alasan sakit untuk menghindar hukuman yang seharusnya dijalankan? Bagaimana kalau yang divonis adalah seorang pencuri cireng atau cilok jika mengajukan permohonan tahanan luar karena sakit akan dikabulkan? Tentunya kita harapkan setiap warga negara diperlakukan sama di muka hukum dalam setiap kasus. Termasuk mengungkap kasus dugaan korupsi yang terjadi di KPU.
Tampaknya, kasus ini bergulir bagaikan bola salju karena tidak hanya Mulyana yang dimungkinkan diproses dan dijatuhi hukuman, tetapi berbagai pihak yang terlibat harus diminta pertanggungjawaban. Bukankah kita menganut asas equality before the law? Bahwa setiap orang memiliki kedudukan yang sama di muka hukum? Sebab itu, KPK, BPK dan pihak-pihak yg terlibat lainnya harus mengusut kasus dugaan korupsi di tubuh KPU secara lebih lengkap dan menjatuhkan hukuman kepada semua orang yang memang terlibat dalam tindakan merugikan keuangan negara. Hukum dan keadilan harus bersinergi, untuk kepentingan masyarakat banyak. Karena kejahatan lebih dekat dari urat leher kita, dan bisa menimpa siapa saja maka kita tak perlu merasa diri sebagai orang yang paling bersih. Sehingga tak mau memetik pelajaran dari kasus Mulyana ini.(Yesmil Anwar, S.H., M.Si., dosen FH Unpad dan Unpas)
Tulisan ini diambil dari Pikiran Rakyat, 26 April 2005