Menangkal Korupsi di Tubuh Polri

Salah satu tuntutan masyarakat dalam pemilu lalu adalah presiden terpilih harus mampu menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membawa label perubahan dan selalu berjanji akan memberantas korupsi, akhirnya terpilih sebagai presiden.

Ternyata, setelah 100 hari pemerintahan SBY, masyarakat baru menyadari bahwa sangat tidak mudah memberantas korupsi di negeri ini. Maklum, wabah korupsi sudah begitu kronis. SBY sendiri tampak masih tetap konsisten dengan janjinya. Berbagai langkah terus dilakukannya. Salah satunya akan memburu para koruptor yang lari ke luar negeri.

Namun gebrakan SBY memberantas korupsi tersebut tidak sistematis dan tidak memiliki skala prioritas. Misalnya, apakah dari hulu terlebih dahulu atau dari hilir. Jika dari hulu prioritasnya adalah penataan total di lembaga perangkat hukum. Sehingga, semua hasil dari penataan tersebut diarahkan untuk bersatu padu memberantas korupsi.

Skala prioritas dan langkah sistematis ini yang belum terlihat. Lembaga kepolisian misalnya, belum tersentuh sama sekali oleh SBY. Padahal, Polri adalah pilar utama dalam penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Polri adalah hulu yang akan mengaliri jeram dunia hukum yang berliku, yang selama ini selalu melindungi para koruptor. Polri sangat berperan menginspirasikan bagan hukum yang akan dibangun di hilir oleh para hakim dalam menghukum para koruptor.

Anehnya, SBY cenderung membuat kepemimpinan di Polri status quo? Ketika Transparansi Internasional Indonesia (TII) mengumumkan hasil surveinya bahwa Polri menjadi lembaga kedua terkorup, setelah Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, kita pun tersentak. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, pemberantasan korupsi seperti apa yang akan dilakukan SBY, jika garda terdepannya dalam pemberantasan korupsi justru menjadi lembaga terkorup nomor dua di negeri ini?

Sebenarnya, hasil survei TII itu bukanlah sesuatu yang mengejutkan. Sejak lama publik sudah merasakan sendiri bagaimana sesungguhnya perilaku aparat Polri di lapangan. Banyak hal di luar hukum yang bisa menjadi kata kunci dalam menyelesaikan berbagai hal. Tak peduli, masyarakat itu korban yang sedang kesusahan. Jaminan pelayanan publik seakan tak lagi diberikan.

Dampak dari kecenderungan ini, publik bukan hanya melihat betapa mahalnya ongkos membina kepolisian, tapi publik juga merasakan betapa tidak efektifnya sistem yang diterapkan kepolisian dalam menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi. Akhirnya, publik merasakan bahwa lembaga kepolisian dan jajarannya kurang memberikan perlindungan. Bahkan, banyak di antara warga masyarakat yang sungkan berhubungan dengan polisi.

Jika kita mau jujur, hasil survei TII itu bukan hanya pukulan bagi Polri, melainkan juga peringatan bagi Presiden SBY, yang kerap mendengung-dengungkan pemberantasan korupsi. Tapi seperti kata Barbara Ward dalam bukunya Hanya Satu Bumi, Kita harus terus berusaha. Kita tak boleh mengabaikan kapasitas orang untuk tergerak oleh argumen kebaikan. Bagaimanapun hasil survei TII itu adalah sebuah argumen untuk menuju kebaikan.

***

Kita pun melihat bahwa label yang dikibarkan SBY di masa kampanye pemilihan presiden merupakan sebuah argumen menuju kebaikan. Dengan label perubahan dan peningkatan pelayanan di semua bidang, SBY berjanji akan membawa negeri ini menuju perbaikan. Seperti kata Barbara, kita tak boleh mengabaikan argumen menuju kebaikan yang 'ditawarkan' SBY tersebut. Meski demikian, SBY perlu diingatkan bahwa argumen tersebut harus pula diperkaya dengan strategi yang tajam dan sistematis, dengan skala prioritas yang komprehensif. Sehingga argumen itu tak sekadar menjadi janji kosong yang penuh omong kosong.

Strategi yang tajam untuk memberantas korupsi perlu dilakukan SBY dengan menata lembaga kepolisian secara sistematis dan maksimal. Salah satunya mereposisi para petinggi Polri. Bagaimanapun seorang Kapolri harus mampu memberikan api dan cahaya dalam diri semua personel bawahannya. Sehingga mereka dapat melihat, apa yang terjadi selama ini di dunia kepolisian merupakan sebuah bencana.

Bencana ini merupakan gambaran bahwa integritas jajaran Polri semakin diragukan. Bencana ini menjadi gambaran bahwa status quo sedang terjadi di lembaga Polri. Ke depan situasi ini akan semakin mengganggu aspek profesionalitas, kualitas, maupun kuantitas kinerja Polri. Sesuai dengan tekadnya semula, SBY pun harus mendorong terjadinya perubahan di tubuh Polri. Perubahan ini tentunya harus dimulai dari yang paling inti dalam Polri, yaitu semangat dan jiwa pengabdian. Dengan demikian, akan terbangun sebuah kesadaran di seluruh jajaran Bayangkara untuk selalu melakukan perubahan dan pemberantasan korupsi.

Sebagai upaya untuk meniadakan segala bentuk laku korupsi di tubuh Polri, diperlukan suatu keteladanan. Dalam hal ini, sudah barang tentu arahan dan sikap tegas Kapolri dalam penindakan korupsi sangat ditunggu-tunggu. Internal Polri harus mau dan mampu bersikap tegas, mau dan mampu bersikap jujur, mau dan mampu bersikap profesional, punya komitmen yang kuat untuk menegakkan supremasi hukum, dan punya komitmen yang kuat memberantas korupsi. Bagi Polri, kedelapan poin itu sebenarnya merupakan roh dalam konsep perubahan yang disuarakan SBY selama ini. Dan, hal itu pun yang saat ini (sedikit banyak) sedang digalakkan di tubuh Polri.

Tidak ada pilihan lain bagi Polri untuk berbenah diri secara maksimal. Sehingga ke depan, Polri mampu menjadi garda terdepan dalam pemberantasan korupsi, menciptakan keamanan, dan ketertiban masyarakat. Internal Polri harus mampu menjadikan lembaga kepolisian mandiri dan selalu bertindak profesional dalam menjalankan fungsinya. Anggota Bayangkara yang selalu berjiwa pengayom masyarakat dan mampu menegakkan hukum dalam kerangka criminal justice system. Tanpa itu, jajaran Polri akan semakin kehilangan integritas sebagai pengayom masyarakat.(Neta S Pane: Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Jakarta)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 26 April 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan