Pendidikan dan Pemberantasan Korupsi

Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2005, disambut dengan unjuk rasa oleh pelbagai kalangan. Pada umumnya, tuntutan para pendemo adalah biaya pendidikan yang murah, tingkat kesejateraan guru dan dosen yang tidak memadai, serta keadilan dalam pelaksanaan pendidikan. Jarang yang mendemo soal sistem, jenis, dan kurikulum pendidikan. Padahal apa yang terjadi ke atas bangsa ini akibat dari sistem pembangunan yang keliru.

Ketika Bung Hatta tidak berhasil meyakinkan Bung Karno bahwa pembangunan harus memprioritaskan bidang pendidikan, sudah bisa dipridiksi, Indonesia menuju alam kegelapan. Ternyata, dengan doktrin-doktrin Nasakom, Manipol, Usdek, dan tema-tema lain yang menjadikan politik sebagai panglima, Bung Karno menyeret Indonesia ke Lubang Buaya dalam peristiwa mengerikan, Gerakan 30 September 1965 Soeharto yang mengambil alih kekuasaan menganggap politik adalah suatu kejahatan, sehingga memprioritaskan ekonomi melalui pola Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Soeharto lupa bahwa sebagai negara yang baru berkembang, Indonesia tidak memiliki SDM, modal, teknologi, dan manajemen yang memadai untuk melaksanakan konsep pembangunannya. Untuk memenuhi ambisinya, digunakanlah para teknokrat dari Berkley, modal dari IGGI, teknologi dan manajemen dari Barat. Strategi pembangunannya, memperbesar kue nasional yang jika kue tersebut sudah besar dapat dibagikan kepada seluruh rakyat.

Soeharto lupa, dengan sektor pendidikan yang terlantar (hanya sekitar 6 persen dari APBN) pembangunan ekonomi model itu menjadi bumerang, tidak hanya kepada bangsa dan negara, tetapi justru kepada diri pribadinya sendiri (Harus diingat, secara politis, Soeharto sangat kuat karena pada Pemilu 1997, Golkar memperoleh lebih dari 90 persen kursi DPR-RI. Ia lengser dari kekuasaannya justru karena resesi ekonomi, sektor pembangunan yang diagung-agungkan selama 32 tahun). Hal ini disebabkan pembangunan tidak diprioritaskan di sektor pendidikan sehingga mendatangkan dampak negatif, antara lain: masyarakat cenderung menganut pola hidup konsumerisme; masyarakat sudah berorientasi konsumtif maka terjadilah KKN ria di seluruh lini kehidupan; pendidikan yang terabaikan (terbatas sarana, prasarana dan teknologi pendidikan) dan menghasilkan lulusan sekolah yang berorientasi ijazah; dan guru sebagai pendidik dan pengajar yang bertugas mengawal nilai-nilai luhur dengan cara melahirkan manusia yang berilmu pengetahuan, berketrampilan dan berakhlak mulia, karena kesalahan sistem terseret dalam dunia KKN.

Manusia sebagai subyek pembangunan
Malaysia mengimpor guru dan dosen dari Indonesia pada awal 1970-an. Hanya kurang lebih satu generasi, yaitu pada awal 1980-an, rakyat Indonesia datang menimba ilmu pengetahuan di negara ini. Mengapa? Malaysia menjadikan manusia sebagai subyek pembangunan yang dengan demikian manusialah yang mengendalikan proses pembangunan, bukan korban dari pembangunan itu sendiri. Sebagai subjek pembangunan, setiap individu harus memiliki rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas sehari-hari.

Tanggung jawab adalah sikap jiwa yang lahir dari proses pendidikan yang komprehensif. Dengan demikian, program utama dalam pembangunan haruslah pembangunan manusia. Pembangunan manusia, berarti pembangunan akal, ketrampilan dan akhlak. Ketiga hal tersebut bisa dicapai hanya dengan melalui pendidikan. Otomatis, anggaran pendidikan harus menduduki prioritas utama dalam setiap APBN dan APBD.

Malaysia, puluhan tahun silam telah menetapkan 20 persen anggaran pendidikan dalam setiap APBN-nya. Boleh dibilang, seluruh sarana, prasarana dan teknologi pendidikan disediakan. SD dan SMA misalnya, bangunan dan sarananya seragam, yaitu bangunan tiga tingkat. Untuk SMA, harus ada ruangan praktikum. Uang sekolah untuk SD sebesar 65 ringgit setahun (Rp 156 ribu), meliputi bayaran uang ulangan umum dalam setahun, buku raport, hadiah olah raga dua semester, dan hadiah murid terpandai pada akhir tahun. Buku teks dari SD sampai SMU gratis bagi murid yang orang tuanya mempunyai gaji di bawah 1.000 ringgit (Rp 2,4 juta). Namun, bagi orang tua murid yang gajinya di atas 1.000 ringgit dengan jumlah anak yang banyak, anak yang berada di kelas terendah tidak mendapat buku teks gratis, tetapi abang atau kakaknya tetap mendapat buku teks gratis.

Selain itu, untuk murid yang penghasilan orang tuanya di bawah 1.000 ringgit mendapat makanan tambahan di sekolah berupa susu kotak dan roti, dua kali seminggu. Gaji pokok guru yang baru lulus universitas (S1) dengan nol tahun pengalaman sebesar 1.200 ringgit (Rp 2,8 juta). Guru tidak dibenarkan mengajar di dua sekolah.

Jenis dan kurikulum pendidikan
Setiap negara yang baru merdeka atau sedang berkembang, prioritas pembangunan fisik adalah di bidang pembangunan sarana, prasarana, dan industri dasar. Dengan demikian, tenaga pekerja yang diperlukan adalah tenaga terampil menengah. Oleh karena itu, semua universitas negeri di Malaysia menerapkan program D3 untuk semua fakultas, kecuali Fakultas Kedokteran. Targetnya, lulusan D3 inilah yang mengendalikan pembangunan.

Selain itu, sebagai negara yang baru merdeka tentu sebagian besar rakyat masih miskin sehingga tidak mampu membiayai anak-anak mereka sampai tingkat S1. Oleh karena itu, setelah D3 mereka bisa langsung bekerja dengan strategi bisa membantu orang tua untuk menyekolahkan adik-adik mereka sampai ke jenjang S1. Tetapi bagi mahasiswa yang orang tuanya berkecukupan, bisa meneruskan kuliahnya selama 2 atau 2,5 tahun untuk memperoleh ijazah S1.

Bagaimana dengan Indonesia? Hemat saya, daripada tidak sampai ke tempat tujuan lebih baik sedikit terlambat, yaitu meniru pola Malaysia dengan modifikasi strategi. Maksud penulis, pembangunan pendidikan dan pembangunan ekonomi disinergikan dalam konteks otonomi daerah. Jenis dan jenjang sekolah disesuaikan dengan sumber daya alam suatu daerah. Di daerah yang potensi kelautannya tinggi, dibuka sekolah menengah kelautan di tingkat kecamatan, program diploma kelautan di tingkat kabupaten dan fakultas kelautan sebagai fakultas unggulan di ibu kota provinsi.

Di Papua umpamanya, fakultas yang perlu dibuka adalah Fakultas Kelautan, Fakultas Pertanian, Fakultas Kehutanan, dan Faultas Pertambangan. Bagaimana kalau ada siswa yang mau kuliah di Fakultas Hukum? Dia boleh kuliah di Unhas, Makassar. Dalam strategi ini, pemerintah bisa menetapkan hanya beberapa universitas yang punya seluruh fakultas.

Kriteria yang digunakan untuk menetapkan universitas mana saja, bisa dengan pendekatan geografis, historis, maupun kapabilitas. Umpamanya, Unpati untuk Maluku, Maluku Utara, Papua dan Irian Jaya Barat; Unhas untuk Sulawesi; UI dan Unpad untuk Jakarta, Jabar dan Banten; UGM dan Unair untuk Jateng, Yogya, Jatim, Bali, NTB dan NTT; Univ. Lambung Mangkurat untuk Kalimantan; USU untuk Aceh, Sumatera Utara, Sumatra Barat, Riau dan Riau Kepulauan; Universitas Andalas untuk Sumatra Selatan, Babel, Lampung dan Bengkulu. Dengan demikian, hanya ada 9 universitas yang memiliki seluruh fakultas sesuai dengan disiplin ilmu yang ada. Sementara universitas yang lain hanya membuka fakultas unggulan sesuai dengan potensi daerahnya.

Melalui pola ini, dua manfaat bisa diperoleh. Pertama, anggaran rutin untuk perguruan tinggi berkurang. Kedua, lulusan diploma dan fakultas unggulan akan berdaya guna dan berhasil guna karena begitu lulus bisa langsung terjun ke lapangan sesuai dengan disiplin ilmu yang dipunyai Jika jenis pendidikan dan kurikulum yang diterapkan seperti disebutkan di atas, maka program pembangunan ekonomi juga harus sinergis.

Stabilitas nasional dan pemberantasan korupsi
Jika jenis dan kurikulum pendidikan dilakukan secara sinergis dengan pembangunan ekonomi seperti disinggung di atas, maka beberapa dampak positif agar segera wujud. Pertama, akan lahir tenaga-tenaga terampil sesuai dengan jurusannya dalam jumlah yang banyak dengan biaya pendidikan relatif lebih rendah di banding dengan pola yang sekarang. Kedua, biaya pengembangan industri dasar relatif kecil karena bahan baku tersedia dalam jumlah yang besar (tidak perlu didatangkan dari daerah lain) dan masyarakat setempat biasanya telah menguasai bidang industri tersebut.

Ketiga, tidak akan terjadi urbanisasi.Ini karena pekerja pemula bisa bekerja di daerah masing-masing sesuai dengan tingkat ketrampilannya. Keempat, tidak perlu pengiriman TKI khususnya TKW ke luar negeri yang tidak saja mendatangkan dampak negatif kepada pekerja terkait dan keluarganya, tetapi juga menjatuhkan harga diri bangsa dan negara. Kelima, dengan pengembangan industri dasar seperti ini, sirkulasi uang akan lebih berpusat di masing-masing daerah yang pada gilirannya akan menaikan PAD dan tingkat kesejahteraan rakyat. Inilah hakikat sebenar dari program otonomisasi daerah. Keenam, dengan tidak adanya urbanisasi ke kota-kota besar, maka tidak akan terjadi kasus-kasus kriminalitas. Dengan demikian, stabilitas keamanan tercipta yang pada gilirannya pemerintah lebih berkonsentrasi dalam mensejahterakan rakyat Target suatu pendidikan adalah lahirnya anak didik yang berpengetahuan, berketerampilan, dan berakhlak mulia. Dengan pengetahuan yang dimiliki, seseorang mempunyai wawasan, visi, dan misi dalam bertindak. Dengan akhlak yang mulia, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki seseorang akan diabdikan kepada masyarakat dan negara dengan penuh amanah dan tanggung jawab. Jika akhlak rusak, seorang profesor, teknokrat, dan sebagainya akan menyalahgunakan jabatannya dan itu merupakan langkah awal dari korupsi. Dengan demikian, sekolah adalah institusi yang strategis untuk menanamkan sikap benci kepada korupsi, sekecil apa pun bentuknya, seperti nyontek, nyuri buku teman atau bolos sekolah.(Abdullah Hehamahua, Mantan Wakil Ketua KPKPN)

Tulisan ini diambil dari Republika, 21 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan