Hamid Siap Dinonaktifkan; Kalla Bantah Siapkan Muladi sebagai Pengganti

Menteri Hukum dan HAM Hamid Awaluddin menyatakan siap menanggung segala konsekuensinya apabila menjadi tersangka atau terbukti bersalah dalam skandal korupsi Komisi Pemilihan Umum. Termasuk siap dinonaktifkan dari anggota Kabinet Indonesia Bersatu.

Saya siap jika nanti terbukti sebagai tersangka dan dinyatakan bersalah untuk dinonaktifkan sebagai menteri, tegas Hamid setelah mengikuti rapat kerja Tim Aceh dengan Komisi I DPR di gedung DPR/MPR Selasa dini hari kemarin. Selain Hamid, hadir dalam rapat itu Menko Polhukam Widodo A.S., Menhan Juwono Sudarsono, Menkominfo Sofjan Jalil, dan Panglima TNI Jenderal TNI Endriartono Sutarto.

Hamid menyatakan hal itu untuk menanggapi Presiden SBY yang meminta dia menjalani semua kewajibannya terkait dengan pengusutan dugaan korupsi di KPU. Sebelum menjabat menteri, Hamid adalah anggota KPU. Bahkan, dia ketua Panitia Pengadaan Logistik Bilik Suara dan ketua Panitia Proyek Pengadaan Surat Suara Pilpres. Menurut SBY, bila menjadi tersangka, Hamid dinonaktifkan.

Hamid menilai langkah Presiden SBY menonaktifkan dirinya sebagai menteri jika terbukti bersalah atau menjadi tersangka sebagai kebijakan yang cukup positif. Langkah itu menunjukkan adanya kesamaan kedudukan di depan hukum.

Apalagi, tambahnya, presiden memang memiliki hak untuk menonaktifkan dan memberhentikan seorang menteri. Wewenang itu sesuai dengan konstitusi dan merupakan hak prerogatif presiden.Karena itu, saya siap jika itu (penonaktifan, Red) memang harus terjadi, tandas mantan anggota KPU tersebut.

Wapres Jusuf Kalla juga mendukung langkah SBY untuk menonaktifkan Hamid. Namun, jika terbukti Hamid tidak salah, ujar Kalla, jabatannya sebagai menteri bisa dikembalikan.

Kalau terjadi proses, kemudian lebih lanjut menjadi tersangka, sesuai dengan aturan kita, maka siapa pun, apakah bupati, gubernur, itu harus nonaktif. Termasuk menteri. Menurut aturan, nonaktif. Kalau yang bersangkutan kemudian dinyatakan tidak bersalah, harus kembali ke jabatannya, tegas Kalla dalam konferensi pers di Kantor Wapres Senin (23/5). Menurut dia, nonaktif tidak berarti harus diganti. Bisa jadi, nanti ada pejabat ad interim.

Menurut ketua umum Partai Golkar itu, langkah tersebut sesuai aturan dalam UU. Demikian juga, jelasnya, Partai Golkar lantas tidak serta merta meminta harus ada penggantinya, hanya karena nonaktif. Dia mengatakan, jika memang sudah ada vonis terhadap Hamid, dia harus diganti.

Kalla juga menepis kabar bahwa Golkar telah menyiapkan nama Muladi -mantan menteri kehakiman- untuk menggantikan posisi Hamid Awaluddin di kabinet. Kalau divionis, harus diganti. Nanti pada waktunya kita bicarakan siapa yang mau mengganti, paparnya.

Pemerintah Siapkan Perpu
Pemerintah tampaknya akan menggunakan perpu (peraturan pemerintah pengganti UU) sebagai acuan hukum pemberhentian Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin dan anggota KPU Mulyana W. Kusumah.

Kalla mengungkapkan, draf perpu tersebut kini disiapkan dan pemerintah segera berkonsultasi dengan DPR. Setneg (sekretariat negara) telah menyiapkan drafnya sebagai acuan dalam pembicaraan dengan DPR, ujar Kalla usai mengantar keberangkatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ke AS, Vietnam, dan Jepang di Bandara Halim Perdanakusuma kemarin.

Wapres mengatakan, rapat konsultasi tersebut akan dilaksanakan pekan ini. Dia menambahkan, pemerintah saat ini mempelajari kemungkinan penerbitan perpu tersebut, sekaligus menunggu penyelidikan yang berkembang di KPU. Menurut Wapres, penyelesaian perpu akan lebih cepat dibanding upaya mengamandemen UU Pemilu.

Dia kembali menegaskan, anggota KPU yang ditangkap akan dinonaktifkan. Sedangkan pergantiannya harus menunggu hasil rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR.

Surat KPK
Senin lalu KPK secara resmi menyampaikan surat ke Presiden SBY. Antara lain surat itu terkait pemberhentian sementara Ketua KPU Nazaruddin Syamsuddin dan anggota KPU Mulyana W. Kusumah. Surat tersebut secara resmi diserahkan oleh Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki dan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi. Surat KPK lainnya adalah perlunya dilakukan civil service reform yang menyeluruh.

Dalam keterangannya kepada pers di kantor presiden, Ruki menjelaskan, surat ke presiden tersebut dilakukan sesuai kewenangan KPK yang terdapat dalam pasal 12 huruf e UU No 30/2002 tentang KPK. Isinya KPK berwenang memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara dari jabatannya.

Walau kita tahu bahwa presiden bukan atasan KPU, secara prosedur, saya harus memintanya kepada presiden, bukan kepada pimpinan dewan, ujarnya. Menurut Ruki, surat pemberhentian Wasekjen KPU Sussongko Suhardjo dan Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amin telah disampaikan kepada Mendagri, karena keduanya pegawai Depdagri yang diperbantukan ke KPU.

Ruki juga mengatakan, hingga kini peranan Hamid dalam masalah di KPU tidak berbeda dengan anggota yang lain. Sesungguhnya peranan Hamid Awaluddin dalam rangkaian tindak pidana korupsi yang terjadi di KPU itu relatif sama dengan anggota KPU yang lain. Kecuali ketuanya karena tetap harus bertanggung jawab. Dan karena menjadi menteri, Hamid menarik perhatian Saudara (wartawan, Red), ungkap Ruki menjawab pertanyaan wartawan.

Lalu, kapan KPK akan memeriksa Hamid, termasuk penonaktifannya sebagai menteri, Ruki mengatakan bahwa itu bergantung apakah bukti permulaannya telah cukup dihimpun penyidik. Menurut dia, KPK tidak dikenakan target waktu dan orang. Siapa juga yang diduga melakukan tindak korupsi dan dugaan itu didukung bukti yang cukup, Ruki memastikan bahwa KPK akan menetapkannya sebagai tersangka.

Dia menuturkan, pemeriksaan Hamid akan disesuaikan dengan jadwal yang bersangkutan. Saat ini Hamid sedang ke luar negeri membicarakan masalah penyelesaian GAM yang, menurut Ruki, tidak kalah penting dengan masalah di KPU.

Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra mengatakan, Presiden SBY telah menerima tiga surat dari KPK. Surat pertama berisi pemberhentian sementara Sussongko dan Hamdani Amin dari KPU. Yang kedua adalah pemberhentian sementara Nazaruddin dan Mulyana sebagai anggota KPU.

Terkait dengan permintaan pemberhentian sementara Nazaruddin dan Mulyana, Yusril mengatakan bahwa ada legal problem (masalah hukum) yang dihadapi pemerintah. Dia menyebutkan, dalam UU yang mengatur KPU, tidak diatur pasal-pasal mengenai pemberhentian sementara.

Masalahnya, KPU bukan bawahan presiden. Dan, proses pemberhentian anggota KPU harus melalui DPR yang diajukan presiden. Selain itu, tidak ada istilah pemberhentian sementara. Jadi, memang ada legal problem di sini, jelas Yusril yang ikut mendampingi ketua KPK bertemu dengan Presiden SBY.

Untuk menyelesaikan masalah itu, Yusril mengatakan bahwa Presiden SBY merespons usul Ketua DPR Agung Laksono yang sebelumnya mengusulkan agar pemerintah menerbitkan perpu (peraturan pemerintah pengganti UU). Yusril mengatakan, dalam waktu dekat, komunikasi dengan DPR untuk membicarakan masalah ini akan dilakukan.

Rapat konsultasi dengan DPR itu akan dipimpin Wapres Jusuf Kalla menggantikan presiden yang akan melakukan kunjungan ke luar negeri -AS, Vietnam, dan Jepang- mulai hari ini (24 Mei) hingga 3 Juni mendatang. Namun, keputusananya tetap menunggu kedatangan presiden, yakni untuk menandatangani perpu, jika memang akhirnya pemerintah harus mengeluarkan perpu.

Kami harus bicarakan dengan DPR. Sebab, kalau presiden langsung merespons permintaan KPK, terus memberhentikan sementara anggota KPU, mereka juga bisa menggugat presiden ke pengadilan TUN (Tata Usaha Negara), paparnya. (pri/nur/arm/noe/yog)

Sumber: Jawa Pos, 25 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan