Korupsi dan Birokrasi Neo-patrimonial

Kasus suap hanyalah batu loncatan bagi Komisi Pemberantasan Korupsi mengungkap korupsi berjamaah di Komisi Pemilihan Umum. Dua peristiwa ini tidak hanya mengguncang legitimasi lembaga terhormat itu, tetapi juga melahirkan pertanyaan mengenai masa depan demokrasi Indonesia.

Pemilu adalah wujud kedaulatan rakyat, ekspresi tertinggi demokrasi. Sementara Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah wasit, sekaligus tiang penyangga proses demokrasi tersebut. Lembaga independen ini yang mempersiapkan, menyelenggarakan, dan menghitung hasil pemungutan suara.

Jika jajaran KPU nekat menjarah dana pemilu, bukan mustahil mereka tergoda memanipulasi hasil penghitungan suara. Jarak antara kedua hal ini hanya sebatas rambut.

Akan tetapi, bencana yang menimpa KPU jelas tidak bisa dilihat secara parsial. Sebab, sejauh korupsi diartikan sebagai penyimpangan fungsi jabatan untuk memperkaya diri, maka tidak ada birokrasi di negeri ini yang luput dari jenis penyelewengan. Korupsi telanjur melekat dalam struktur birokrasi Indonesia, bahkan sebelum terbentuknya republik ini.

DENGAN kata lain, birokrasi pemerintah telah berubah menjadi sumber kekuasaan dan kekayaan pejabat, baik melalui penjarahan uang dan kekayaan negara maupun penindasan dan pemerasan rakyat. Sebab, fungsi penyelenggaraan pemerintahan bukan untuk kepentingan rakyat. Sejak lama maknanya ditransformasikan menjadi kekuasaan atas rakyat, seperti halnya negara menguasai kekayaan alam dan isinya.

Sistem demikian mirip parasit dalam kehidupan bangsa dan negara. Kelangsungan hidupnya ditopang uang yang diisap dari rakyat.

Hidup di bawah sistem demikian menjadi tidak nyaman. Ketika bayi lahir, misalnya, mesin pungutan liar sudah menunggu di kantor catatan sipil. Tanpa uang pelicin, akta kelahiran tidak akan keluar.

Setelah sang bayi menjadi dewasa, ia akan berhadapan dengan praktik pungutan liar yang lebih ganas. Mulai dari mengurus kartu tanda penduduk, surat keterangan berkelakuan baik, paspor, surat nikah, hingga saat akan dimakamkan.

SEPANJANG sejarah RI sudah beragam undang-undang, keputusan presiden, dan kebijakan politik yang diterbitkan, termasuk pembentukan tim dan komisi-komisi antikorupsi. Namun, seperti halnya film nasional, cukup membaca judulnya sudah dapat ditebak penutupnya. Semua berakhir gagal membasmi korupsi. Bahkan tidak berhasil mencegah derap majunya.

Kalaupun masih ada yang optimistis dan menaruh harapan kepada aparat penegak hukum dan keadilan, mereka hanyalah pemimpi dan buta terhadap kenyataan. Hasil penelitian belum lama ini menunjukkan, tumor korupsi justru lebih ganas menggerogoti kedua lembaga tersebut.

Pergantian rezim, entah itu dari Orde Baru ke Orde Reformasi, dari militer ke sipil, dan kemudian kombinasi militer-sipil, tetap tidak mengubah birokrasi menjadi sehat. Max Weber menyebut birokrasi legal-rasional. Institusi yang menggerakkan masyarakat modern.

Di era Reformasi, korupsi malah menjalar hingga ke lembaga legislatif. Banyak unsur pimpinan maupun anggota DPRD tingkat I dan II periode lalu terpaksa mendekam di penjara akibat menjarah uang rakyat.

Di tingkat nasional, ketua DPR dan wakil ketua MPR juga sempat meringkuk di sel tahanan Kejaksaan Agung. Termasuk Gubernur Bank Indonesia. Ironisnya, mereka berkuasa dan memberi perintah dari balik terali besi tersebut. Tidak ada bangsa dan negara di dunia yang melakukan hal seburuk ini. Bahkan tidak ditemukan di negara yang dilanda perang saudara, seperti di Afrika.

Lantas dari mana semua sumber borok birokrasi ini?

SEJARAH birokrasi di Nusantara bermula dari era tanam paksa. Namun, seperti ditulis JI (Hans) Bakker dalam Bureaucratization of Patrimonialism: Colonial Taxation and Land Tenure in Java, 1830-50, Cultuurstelsels (tanam paksa) tidak memodernisasi Jawa. Kebijakan kolonial memerintah secara tidak langsung cenderung memperkuat struktur kekuasaan lokal yang bersifat patrimonial.

Akibatnya, seperti dikemukakan Clifford Geertz, hanya aspek administratif birokrasi yang dimodernisasi secara relatif, sementara struktur dasarnya tetap sama. Maka ketika tahun 1870 dilakukan upaya perubahan struktural dalam sistem politik di Pulau Jawa, sisa stelsel lama tersebut merintanginya.

Upaya kolonial Belanda membangun birokrasi legal-rasional sebagian besar tidak efektif. Ditambah pendekatan yang lamban dan terlalu berhati-hati, Belanda gagal membentuk pemerintahan modern.

Di luar Pulau Jawa, sistem tanam paksa memang tidak dikenal. Namun, pembaruan administrasi menyusul belakangan. Di sini aspek sosio-kultural dan ekonomi pemerintahan kolonial cenderung merefleksikan apa yang dilakukan sebelumnya di Pulau Jawa.

Dalam Patrimonialism, Involution, and The Agrarian Question in Java: A Weberian Analysis of Class Relations and Servile Labour, Bakker mencoba menjelaskannya lebih detail dengan menganalisis hubungan pusat-pinggiran. Antara kepentingan elite merkantilis di Belanda, yang diwujudkan dalam kebijakan indirect-rule, dengan kepentingan penguasa lokal mempertahankan kekuasaan yang bersifat patrimonial.

SOSOK birokrasi patrimonial itu sendiri menjadi jelas jika dibandingkan dengan birokrasi legal-rasional. Max Weber menyebut beberapa karakteristik birokrasi legal-rasional. Antara lain, pembagian kerja dan spesialisasi tugas, peraturan hubungan atasan-bawahan yang bersifat impersonal dan rasional, pemisahan antara milik publik dan pribadi, serta loyalitas birokrat pada perintah atasan yang bersifat impersonal. Sedangkan perekrutan didasarkan pada kualifikasi formal serta uji kemampuan. Dengan sendirinya penempatan seseorang pada jabatan tertentu ditentukan kemampuan dan prestasi.

Sebaliknya dalam birokrasi patrimonial, pembagian kerja dan tugas tersebut tidak jelas. Hubungan atasan-bawahan bersifat personal, tidak membedakan milik publik dan pribadi, serta loyalitas kepada orang yang memegang jabatan di atasnya. Perekrutan didasarkan pada hubungan keluarga, perkoncoan, dan parpol. Demikian pula penempatan seseorang pada jabatan tertentu.

Setelah terbentuknya RI, aspek legal-rasional diadopsi sebagai landasan birokrasi pemerintah, termasuk sumpah jabatan. Dalam Fall from Grace: The Political Economy of Indonesian Decay and Decline (2001), Dr Jason Abbott lebih cenderung menggunakan istilah neo-patrimonial. Dalam arti, dominasi patrimonial (Herrschaft) yang hidup di tingkat keluarga, desa, dan hubungan sosial lainnya diterjemahkan dalam sistem politik dan administrasi.

Wujudnya menjadi mirip hubungan patron-klien di desa, yang diperluas menjadi KKN dalam jajaran birokrasi. Salah satu contohnya adalah lahirnya kapitalis kroni.

Dalam Political Power and Communications in Indonesia, (1978), Karl Jackson menulis, cengkeraman birokrasi makin kuat setelah dekrit keadaan darurat tahun 1957. Demokrasi terpimpin kemudian mengonsentrasikan kekuasaan di tangan presiden dan TNI.

Dalam sistem yang lahir dan bertahan hampir dua abad ini, perubahan rezim hanyalah sebatas pergantian patron-klien yang berkuasa. Dengan sendirinya melanjutkan korupsi berjamaah. Sebab struktur dasarnya tetap patrimonialisme warisan kuno. Hal seperti ini juga berlangsung dalam birokrasi parpol.

Aspek legal-rasional yang merupakan jiwa birokrasi telah dikuburkan sejak lama. Birokrasi demikian tidak akan pernah membawa perubahan, kecuali lingkaran krisis. Dan kriris itu sedang melanda KPU.(Maruli Tobing, Kompas)

Tulisan ini diambil dari Kompas, 11 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan