Menciptakan Budaya Antikorupsi

Dibentuknya Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Timtastipikor), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau lembaga baru yang dianggap lebih sakti sekalipun tidak akan begitu saja melenyapkan perilaku korup di negeri ini. Meskipun dapat dikatakan sebagai langkah maju, tidak otomatis kedua lembaga itu dapat menghilangkan korupsi.

Mengapa? Sebab, korupsi sudah mendarah daging di masyarakat kita. Bukan hanya di kalangan pejabat dan birokrat, korupsi sudah membudaya. Apa artinya membudaya? Budaya kok korupsi? Itulah bahayanya, korupsi sudah akut dan nyaris menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kita. Karena sudah membudaya, tindakan dan perilaku korup dalam banyak hal sering dimaklumi.

Maka, pendekatan yang digunakan dalam memberantas korupsi tidak bisa semata struktural. Bolehlah KPK diberi kewenangan lebih untuk menindak koruptor, demikian juga dengan Timtastipikor. Kalau perlu, caturwangsa, polisi, hakim, jaksa, dan pengacara juga difungsikan secara sistemik ke arah pemberantasan korupsi itu. Tapi kalau korupsi dibiarkan membudaya, penjaralah yang penuh, bukan korupsinya yang terberantas.

Pendekatan kultural diperlukan untuk menciptakan kesadaran masyarakat, tanpa kecuali, untuk tidak melakukan korupsi. Kesadaran itu diperlukan agar muncul pernyataan dan tekad bersama untuk meninggalkan budaya korup tersebut. Korupsi yang sudah menjadi budaya itu harus dirombak secara fundamental untuk menjadi budaya yang jujur, terbuka, dan transparan.

Muara korupsi sebenarnya ada pada persoalan moral. Moralitas yang berinspirasi dari sumber nilai dan ajaran mana pun sudah jelas tidak membenarkan korupsi.

Hampir semua agama dan institusi yang mengajarkan kebajikan mengharamkan korupsi dalam segala bentuk. Pada tataran ini persoalan sebenarnya sudah selesai. Yakni, tidak ada legitimasi sedikit pun bagi seseorang -secara moral- untuk melakukan korupsi. Pendeknya, korupsi itu haram dan dilarang.

Namun pada level praktis, kenyataannya tidak demikian. Apa yang diyakini sebagai hal haram dan terlarang masih sering dilakukan dan terus direproduksi, termasuk korupsi.

Itulah paradoks dalam masyarakat kita bahwa antara yang diajarkan dan diyakini berbeda seratus delapan puluh derajat dengan apa yang dikerjakan dan dilakoni. Kalau begitu, kesadaran pun tidak cukup jika tidak sampai pada tataran perilaku.

Pengetahuan dan pemahaman yang benar tidak selalu melahirkan tindakan yang benar. Pengetahuan dan pemahaman yang benar tentang pernyataan bahwa korupsi itu tidak dapat dibenarkan tidak begitu saja menjadikan orang tidak melakukan tindakan tidak benar itu. Di sinilah, struktur dan lembaga yang berwenang dalam pemberantasan korupsi mengambil perannya. Mengawal kesadaran yang benar menjadi perilaku yang benar.

Artinya, KPK dan Timtastipikor, juga lembaga lain, akan bisa bergerak lebih efektif bila didukung adanya kesadaran masyarakat -sebagai objek yang akan ditindak- untuk tidak melakukan korupsi. Namun pada saat yang sama, kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan korupsi itu juga banyak dipengaruhi sistem yang memang tidak memungkinkan atau memberikan sanksi kepada mereka bila kedapatan melakukan tindak pidana korupsi.

Bila negara dan pemerintah yang menciptakan sistem itu, lalu siapa yang seharusnya menciptakan kesadaran dan budaya antikorupsi? Kalau mengacu pada strategi yang diajarkan dai kondang Aa Gym, mulailah dari diri sendiri. Masyarakat dan warga bangsa Indonesia ini merupakan individu-individu merdeka dan otonom untuk menentukan apa yang ingin dikerjakan.

Namun, sebenarnya mereka tidak memiliki kebebasan penuh karena terikat norma dan aturan. Sebelum sampai pada adanya pemberian tindakan dan sanksi, diri mereka sendirilah yang sebenarnya menentukan pilihan, apakah mau korupsi atau tidak. Jadi, kesadaran itu pada dasarnya bermula dari diri sendiri, tentunya setelah menerima input dan referensi dari berbagai pihak.

Tapi tidak cukup dengan itu, faktor lingkungan sangat mempengaruhi. Lingkungan lebih mempunyai kecenderungan untuk membentuk kepribadian seseorang. Asumsinya, seseorang akan berperilaku baik kalau berada di lingkungan yang baik. Orang tidak akan melakukan korupsi, atau minimal ada keengganan, bila dia berada dalam lingkungan yang menjauhi perilaku korup.(Nurul Huda, ketua Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU), Jakarta Pusat)

Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 11 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan