Dalam sepekan terakhir media ramai memberitakan terungkapnya kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau lebih dikenal dengan sebutan E-KTP. Sejatinya kasus ini bukan hal yang baru. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menyelidiki dugaan korupsi setelah proses tender selesai pada Februari 2011.
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menyerahkan terpidana kasus suap gula impor, Irman Gusman, ke penjara Sukamiskin, Bandung, Kamis pekan lalu. Pada 20 Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan sejumlah denda terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. Hakim juga mencabut hak politik Irman, sehingga Irman tidak bisa dipilih untuk jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani hukuman pidana pokok.
Pada kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan pihak Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan sejumlah anggota DPR, telah ditetapkan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan petinggi Kementerian Dalam Negeri itu telah mengajukan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama.
Keuntungan apa yang diperoleh JC? Apa kepentingan penegak hukum memberikan status JC bagi pelaku?
Sorotan utama dan dominan dalam pelbagai kasus korupsi, termasuk dugaan penyelewengan dana KTP-el yang melibatkan politisi beberapa parpol besar, adalah pemerintah dan KPK.
Selama satu dekade terakhir sektor politik masih menjadi salah satu lembaga yang dipersepsikan paling korup di Indonesia.
Setidaknya itulah salah satu pesan penting dan kembali dimunculkan oleh Transparency International (TI) di dalam laporan Global Corruption Barometertahun 2017 (7/3).