Pendaftaran dapat dikirim melalui email: sakti@antikorupsi.org atau bisa melalui pos dikirm ke alamat: Jl. Kalibata Timur 4D No.6 Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12740.
Akhir-akhir ini, pembahasan untuk merevisi Undang-Undang (UU) KPK kembali menggaung di sebagian kalangan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Di sisi lain, banyak kalangan seperti aktivis, masyarakat sipil, dan akademisi yang menolak revisi UU No 30 tahun 2002 tersebut. Mereka beranggapan revisi merupakan cara untuk menjegal kewenangan KPK dan merupakan upaya pelemahan terhadap kerja-kerja KPK.
Dalam sepekan terakhir media ramai memberitakan terungkapnya kasus korupsi Kartu Tanda Penduduk Elektronik atau lebih dikenal dengan sebutan E-KTP. Sejatinya kasus ini bukan hal yang baru. Kepolisian Republik Indonesia (Polri) telah menyelidiki dugaan korupsi setelah proses tender selesai pada Februari 2011.
Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya menyerahkan terpidana kasus suap gula impor, Irman Gusman, ke penjara Sukamiskin, Bandung, Kamis pekan lalu. Pada 20 Februari lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan sejumlah denda terhadap mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah itu. Hakim juga mencabut hak politik Irman, sehingga Irman tidak bisa dipilih untuk jabatan publik selama tiga tahun setelah menjalani hukuman pidana pokok.
Pada kasus megakorupsi KTP elektronik yang diduga melibatkan pihak Kementerian Dalam Negeri, pengusaha, dan sejumlah anggota DPR, telah ditetapkan dua terdakwa, Irman dan Sugiharto. Kedua mantan petinggi Kementerian Dalam Negeri itu telah mengajukan diri ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menjadi justice collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama.
Keuntungan apa yang diperoleh JC? Apa kepentingan penegak hukum memberikan status JC bagi pelaku?
Sorotan utama dan dominan dalam pelbagai kasus korupsi, termasuk dugaan penyelewengan dana KTP-el yang melibatkan politisi beberapa parpol besar, adalah pemerintah dan KPK.