Duri di Tubuh KPK

Direktur Penyidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Brigadir Jenderal Aris Budiman, memenuhi undangan Panitia Angket KPK. Adapun pertemuan tersebut bertujuan mendalami isu terkait dengan kesaksian Miryam S. Haryani, yang mengatakan telah terjadi pertemuan beberapa penyidik dan Direktur Penyidikan KPK dengan anggota Komisi III DPR. Pada saat yang sama, pimpinan KPK telah mengeluarkan sikap untuk tidak merekomendasikan Aris hadir dalam forum angket tersebut.

Langkah yang diambil Aris Budiman patut dipertanyakan. Sampai saat ini, KPK masih mempertimbangkan untuk hadir jika diundang oleh Panitia Angket KPK. Hal ini karena masalah keabsahan hukum penggunaan hak angket yang ditujukan kepada KPK. Sejauh ini sudah ada dua permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD di Mahkamah Konstitusi soal obyek yang dijadikan dasar bagi DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap KPK. Ini menunjukkan bahwa Direktur Penyidikan KPK ini tidak patuh terhadap sikap dari lembaganya sendiri.

Saat ini Aris Budiman juga sedang menjalani proses pemeriksaan di Direktorat Pengawasan Internal KPK. Dasarnya pun serupa dengan yang sedang diselidiki Panitia Angket, yakni keterangan Miryam yang mengatakan ada pertemuan dan permintaan sejumlah uang yang dilakukan penyidik dan Direktur Penyidikan KPK terhadap anggota DPR. Tentu tidak etis jika pemeriksaan sedang berlangsung di KPK, tapi Direktur Penyidikan ini mengklarifikasi juga tuduhan tersebut di hadapan Panitia Angket KPK.

Kehadiran Direktur penyidikan KPK ke forum angket memang tidak melanggar hukum, tapi ada aturan khusus yang rasanya telah ia terabas, yaitu kode etik. Peraturan KPK Nomor 7 Tahun 2013 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK menyatakan bahwa setiap pegawai KPK harus memiliki komitmen dan loyalitas kepada KPK serta mengesampingkan kepentingan pribadi/golongan dalam pelaksanaan tugas. Aris Budiman telah berbuat sesuatu untuk kepentingan pembelaan pribadinya, dan itu tidak dibenarkan dilakukan di KPK. Sudah sepatutnya ketika seseorang menjadi bagian dari KPK, ia harus menanggalkan korps lamanya dan mengabdi untuk lembaga antirasuah ini. Jangan sampai ada istilah "loyalitas ganda" di antara pegawai KPK.

Pelanggaran etik sendiri sebelumnya sudah pernah terjadi di KPK. Belum kering ingatan kita saat Abraham Samad dan Adnan Pandu Praja terbukti melakukan pelanggaran kode etik terkait dengan bocornya surat perintah penyidikan (sprindik) Anas Urbaningrum. Beberapa waktu lalu, Saut Situmorang juga dijatuhi sanksi etik karena pernyataannya yang dinilai menyinggung organisasi Himpunan Mahasiswa Islam. Ini sebenarnya membuktikan bahwa KPK benar-benar mempunyai standar yang ketat untuk menjaga integritas setiap pegawai, bahkan pimpinannya.

Nama Aris Budiman sempat mengemuka saat penyidik KPK, Novel Baswedan, mendapat surat peringatan kedua dari pimpinan KPK. Saat itu Novel dalam kapasitas sebagai Ketua Wadah Pegawai merasa keberatan dengan keinginan Direktur Penyidikan KPK dalam hal rekrutmen penyidik. Hal ini disebabkan nota dinas yang dikirimkan Aris Budiman kepada pimpinan KPK yang meminta perwira tinggi dari Polri dapat dijadikan kepala satuan tugas penyidikan. Padahal dalam aturan KPK sudah jelas tertera bahwa KPK berhak merekrut penyidik independen, tidak hanya harus bergantung pada Korps Bhayangkara, apalagi jika langsung ditempatkan dalam posisi strategis, yakni kepala satuan tugas penyidikan.

Tindakan Aris Budiman ini harus dengan segera ditindaklanjuti oleh KPK. Pertama, Direktorat Pengawasan Internal KPK perlu mendalami dugaan kedatangan dan permintaan uang yang dituduhkan oleh Miryam. Ini penting, mengingat tuduhan tersebut dapat dijadikan "amunisi" oleh Panitia Angket KPK untuk menyerang KPK. Selain itu, masyarakat harus diberi tahu perkembangan penyelidikan yang dilakukan oleh internal KPK. Ini dilakukan demi menjaga transparansi dari KPK.

Kedua, pimpinan KPK harus menjatuhkan sanksi tegas kepada Aris Budiman karena kedatangannya ke forum angket DPR, mengingat konsekuensi yang akan diterima KPK setelah kedatangan direktur penyidikannya. Momentum tersebut akan dijadikan Panitia Angket KPK untuk semakin mencecar KPK perihal ketidakharmonisan yang terjadi di tubuh Komisi. Bahkan opsi untuk mengembalikan Aris ke institusi asal menjadi salah satu pilihan yang tepat.

Sebagai lembaga yang menjadi role model integritas di Indonesia, sudah sepatutnya KPK diisi oleh orang-orang yang dapat membentengi diri dari kepentingan pribadi maupun kelompok. Apalagi di tengah tantangan besar saat ini, yaitu ancaman revisi Undang-Undang KPK dan upaya membongkar tuntas korupsi KTP elektronik. Jangan sampai lembaga yang sudah mendapat kepercayaan publik yang begitu tinggi harus runtuh hanya karena tindakan dari oknum-oknum yang minim integritas.

Kurnia Ramadhana, Pegiat antikorupsi Indonesia Corruption Watch

-------------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 6 September 2017, dengan judul "Duri di Tubuh KPK".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan