Budaya Hukum Pelaku Korupsi

Korupsi adalah permasalahan setiap negara. Tindak pidana korupsi berdampak merusak tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena itulah, lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa menetapkan United Nations Convention Against Corruption 2003 yang wajib diratifikasi setiap negara.
 
Indonesia memiliki masalah korupsi yang tidak kalah pelik. Kasus korupsi pengadaan KTP-el menunjukkan bahwa perilaku korupsi seakan sudah berstatus melebihi budaya, bahkan telah mendarah daging dalam diri oknum-oknum pelakunya.
 
Hukum pelaku korupsi
Pada dasarnya setiap korupsi di birokrasi sifatnya sama, yakni pemanfaatan jabatan oleh oknum untuk menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya dengan cara menyimpang dari sumpah jabatan dan hukum.
 
Korupsi itu, kendati dianggap kekuatan bersifat lunak (soft power), daya rusaknya tidak kalah dari ancaman kekuatan keras (hard power), seperti konflik kekerasan kolektif yang berkelanjutan, separatisme, atau perang sekalipun. Kenyataan demikian akan diperparah ketika korupsi dilakukan dengan menggunakan hukum sebagai alatnya. Jadilah kejahatan sempurna (perfect crime) dengan pengetahuan hukum dan kekuasaan yang dimiliki. Tidaklah mengherankan jika hukum dijadikan alat kejahatan (law as a tool of crime) yang dapat menyembunyikan korupsi dalam kebijakan yang memayunginya.
 
Pelaku tindak pidana korupsi kebanyakan berasal dari kelas menengah atau kalangan terdidik. Satu golongan dengan pendidikan tinggi dan profesi atau karier yang mapan.
 
Bagi mereka, bayang-bayang ancaman ekonomi berupa krisis keuangan merupakan suatu perkara menakutkan. Apalagi jika mempertaruhkan masa depan anak, istri, dan kerabat lain. Tidak jarang, nafsu untuk menjadi semakin kaya raya (serakah) juga menjadi pendorong munculnya ketakutan akan ancaman ekonomi dan membuat mereka terjebak dalam corruption by greed (greedy corruption).
 
Tidak mengherankan jika dalam realitas sosial masyarakat Indonesia banyak yang masih memandang korupsi sebagai solusi dan alternatif untuk mengantisipasi kesulitan ekonomi masa depan. Pemikiran tersebut akhirnya dijadikan alasan pembenar dan alasan pemaaf bagi mereka yang korupsi.
 
Akibatnya, mereka memilih ”sedia payung sebelum hujan” saat menduduki posisi strategis dengan kewenangan tertentu. Setiap kesempatan dimanfaatkan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, setelah memperhitungkan segala kemungkinan, beberapa pihak kemudian terlibat tindak pidana korupsi.
 
Seseorang sebelum korupsi telah mengevaluasi probabilitas untuk ketahuan dan tertangkap, tingkat hukuman yang mungkin dijatuhkan, nilai potensial dari jaringan kejahatan yang ada, dan kebutuhan jangka pendek terhadap hasil kejahatan.
 
Jadi, yang bersangkutan telah memperhitungkan segalanya dengan saksama termasuk kemungkinan tertangkap dan sisa uang yang memadai. Pemikiran untung rugi demikian, bagi mereka, merupakan risiko yang pantas demi keamanan ekonomi diri dan keluarganya.
 
Dari uraian di atas, dapat diketahui budaya hukum yang dianut dan tertanam dalam diri pelaku korupsi sangat berbeda dengan yang terpatri pada masyarakat yang taat hukum dan tidak korupsi.
 
Friedman (1969) menuturkan, budaya hukum dapat diartikan sebagai sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum, kepercayaan, nilai, dan harapan. Bagaimana seseorang menempatkan diri menyikapi suatu aturan, khususnya yang bertalian dengan korupsi dan sanksi pidana di dalamnya.
 
Budaya hukum tersebut dibedakan menjadi budaya hukum internal dan eksternal. Budaya hukum internal merupakan budaya hukum dari masyarakat yang melaksanakan tugas-tugas hukum secara khusus, seperti polisi, jaksa, dan hakim. Sementara budaya hukum eksternal merupakan budaya hukum masyarakat pada umumnya.
 
Pada kesempatan berbeda, Blankenburg (1984) mengemukakan, budaya hukum juga merupakan keseluruhan sikap, kepercayaan, dan nilai-nilai yang berkaitan dengan hukum. Dalam buku Perangkap Penyimpangan dan Kejahatan (2009), saya mengartikan budaya hukum sebagai subbudaya yang bertalian dengan penghargaan dan sikap tindak manusia terhadap hukum sebagai realitas sosial.
 
Mencermati pelaku dan motif korupsi dengan segenap alasan pembenar dan alasan pemaaf ciptaan mereka, terlihat jelas bahwa pelaku tidak menganggap korupsi sebagai suatu perbuatan melanggar hukum yang memiliki sanksi hukum serius, tetapi dipandang sebagai jalan keluar. Krisis ekonomi, gangguan stabilitas ekonomi pribadi dan keluarganya dianggap lebih mengerikan daripada sanksi tindak pidana korupsi.
 
Pemahaman demikian, lebih jauh akan menciptakan budaya hukum yangmenyiasati hukum agar dapat memenuhi pembenaran mereka ihwal korupsi.
 
Becermin kasus KTP-el
Jauh sebelum bergulirnya ide KTP-el, pihak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mewanti-wanti pemerintah dan pihak terkait mengenai rawannya gagasan di atas dengan korupsi. Proyek KTP-el ini awalnya dianggarkan Rp 6,3 triliun, tetapi belakangan dikurangi menjadi Rp 5,9 triliun. Dari anggaran Rp 5,9 triliun tersebut disepakati 51 persen untuk proyek. Sisanya, 49 persen, dibagi-bagikan.
 
Sementara itu, dalam dakwaan yang dibacakan di Pengadilan Tipikor, Jakarta (Kamis 9/3), dikemukakan lebih dari 30 nama-nama pihak yang diduga menerima uang bancakan proyek KTP-el. Dapat diketahui bahwa mereka yang diduga sebagai pelaku korupsi pengadaan KTP-el tersebut merupakan kalangan yang tidak sembarangan. Suatu kelompok dengan profesi dan karier yang baik, yang memandang korupsi merupakan perilaku wajar, lumrah, dan menganggap kesusahan ekonomi lebih mengerikan.
 
Kemungkinan kesulitan yang terlihat menakutkan tersebut secara naluriah perlu dipecahkan. Akhirnya dilakukan segala langkah yang diperlukan untuk mengantisipasi ancaman di atas termasuk korupsi. Tidak tanggung-tanggung terkadang perbuatan tersebut dipayungi kebijakan resmi.
 
Manakala nama-nama para anggota dewan dan pejabat pemerintahan lain selaku aparatur negara yang disebutkan di bagian sebelumnya benar-benar terbukti terlibat korupsi dalam pengadaan KTP-el, maka kejadian tersebut bersifat terstruktur, melibatkan hubungan bawahan-atasan dan jabatan yang sejajar sehingga membentuk lingkaran kejahatan terorganisasi (organized crime) yang disebut ”state organized crime”, yaitu tindakan yang menurut hukum ditentukan sebagai kejahatan tetapi dilakukan oleh pejabat pemerintah dalam tugas jabatannya selaku wakil negara.
 
Keadaan di atas harus ditindaklanjuti dengan langkah-langkah membentuk budaya hukum anti korupsi di segala lapisan masyarakat. Upaya menjadikan masyarakat dengan budaya hukum anti korupsi bukanlah tidak mungkin. Sikap terhadap larangan korupsi sebagai hukum positif belum dirasakan sebagai hukum yang benar-benar hidup (living law). Fenomena tersebut terkait dengan tingkat kesadaran hukum (rechtsbewustzijn), khususnya ketika hukum itu dioperasionalkan (law in action).
 
Kesadaran hukum berkaitan dengan tindak pidana korupsi hanya sebatas pada pengertian narasi perundang-undangan (law in book) belum secara optimal memberikan manfaat.
 
Setelah peraturan tersosialisasikan dengan baik, umumnya mudah naik ke tahap internalisasi sehingga menumbuhkan pemahaman mendalam yang mendorong orang berperilaku di lapangan sesuai yang dituntut oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan kata lain, terdapat kesadaran hukum yang tinggi. Pada titik inilah akhirnya muncul perasaan hukum (rechtsgevoel), yakni melihat hukum sebagai kebutuhan sehingga taat hukum mengalir tanpa paksaan.
 
Apabila realitas di atas terus tumbuh dalam masyarakat, akan lahir budaya hukum (legal culture) yang luhur. Setiap pihak benar-benar meresapi larangan dan bahaya dari korupsi sebagai prinsip hidup serta mengenyampingkan ketakutan mengenai krisis dan bencana ekonomi. Berpijak dari sinilah diharapkan tindak pidana korupsi akan makin dijauhi oleh siapa pun.
 
TB RONNY RACHMAN NITIBASKARA, KETUA PROGRAM STUDI PENGKAJIAN KETAHANAN NASIONAL SEKOLAH STRATEGI DAN GLOBAL PASCASARJANA UNIVERSITAS INDONESIA
--------------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 25 Maret 2017, di halaman 7 dengan judul "Budaya Hukum Pelaku Korupsi".

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan