Catatan Merah untuk Pemerintah dan Elit Politik di Tengah Krisis Demokrasi

Demokrasi Indonesia berada di persimpangan jalan yang mengkhawatirkan. Apa yang kita saksikan hari-hari ini bukanlah sekadar dinamika politik biasa, melainkan sebuah regresi atau kemunduran sistematis yang mengancam pilar-pilar fundamental yang telah susah payah dibangun sejak era Reformasi. Berbagai indikator menunjukkan bahwa kualitas demokrasi kita terus menurun, sebuah tren yang didorong oleh tindakan pemerintah dan manuver elit politik yang lebih mengutamakan kepentingan kekuasaan pragmatis ketimbang prinsip-prinsip demokrasi itu sendiri.

Korupsi: Upaya Membunuh Demokrasi dan Hak Asasi

“Korupsi punya andil besar dalam merampas hak hidup orang. Ia merampas begitu banyak kemampuan untuk melayani kehidupan masyarakat.” Demikian tegas Mas Alvin dari Transparency International Indonesia (TII) pada kuliah umum yang saya ikuti. Ia mengingatkan saya pada destruktifnya daya rusak di balik tindak korupsi. Saya menyadari bahwa korupsi menghasilkan monetary loss.

Politik: Bukan Hanya Permainan Elite

Kondisi politik di Indonesia saat ini dapat dipahami sebagai “permainan elite”, di mana permainan ini hanya dikuasai oleh elite-elite semata. Representasi dalam pemerintahan merupakan sebatas formalitas dan topeng untuk mengelabui rakyat. Tak hanya itu, minimnya representasi dari setiap kelompok masyarakat menambah bukti bahwa politik di Indonesia merupakan permainan mereka.

Matinya Empati Negara

Negara yang seharusnya menjadi penopang keadilan dan kehormatan rakyat kini retak oleh praktik kekuasaan yang menggerogoti nurani publik. Negara yang secara formal mengakui Pancasila justru memperlihatkan borok-boroknya. Ritual kebrutalan yang sistematis berubah menjadi jalan gelap pemerintah dalam mengelola negara. Demokrasi di Indonesia semestinya menyediakan ruang dialog, akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi. Namun, realitasnya kerap dikebiri oleh kekuasaan yang memonopoli narasi.

Demokrasi Hari ini: Suara Rakyat atau Suara Tuan?

Demokrasi di Indonesia hari ini bukan lagi “suara rakyat, suara Tuhan,” melainkan “suara rakyat, suara tuan.”Sebab, yang lebih sering didengar bukanlah aspirasi rakyat kecil, melainkan kepentingan para tuan besar—elite politik, oligarki, dan pemilik modal. Dewasa ini, demokrasi kerap dipahami sebatas prosedur elektoral: rakyat datang ke TPS setiap lima tahun sekali untuk memilih pemimpin, lalu kembali bungkam setelahnya.

RUU Perampasan Aset: Jangan Hapus Kasus Korupsi Masa Lalu!

Dorongan agar RUU Perampasan Aset segera dibahas kembali menguat—tetapi arah akhirnya belum pasti.Hingga hari ini (4 September 2025), RUU ini belum disahkan. Pimpinan dan Baleg DPR menyebut draf perlu diperbarui karena berpotensi berbenturan dengan UU Tipikor dan UU TPPU; bahkan ada opsi DPR mengambil alih inisiatif agar pembahasan lebih cepat setelah RUU KUHAP rampung. Intinya: masih tarik-uluran, bukan keputusan.

Indonesia: Negeri yang Menangis di Atas Kuadriliun Korupsi

Seandainya ada lomba internasional tentang kreativitas menghilangkan uang negara, barangkali Indonesia pantas menyabet medali emas, perak, dan perunggu sekaligus. Bayangkan, baru berjalan sembilan bulan di tahun 2025, deretan kasus korupsi sudah menembus angka fantastis: Rp1.588,361 triliun. Angka itu bukan salah ketik, bukan juga angka dalam proposal proyek jalan tol imajiner. Itu nyata.

Catatan Akhir Tahun ICW 2024: Melawan Gelap Tahun Politik

Presiden Prabowo dalam World Government Summit 2025 menyebut korupsi di Indonesia sudah sangat mengkhawatirkan. Pernyataan ini sejalan dengan banyaknya kasus yang merugikan negara triliunan rupiah di berbagai sektor, seperti kasus Jiwasraya, Asabri, Duta Palma, hingga Timah. Mega korupsi terbaru yang dibongkar penegak hukum adalah korupsi di Pertamina tahun 2018-2023 dengan potensi kerugian negara mencapai Rp193,7 triliun hanya pada 2023.

Komitmen Pembahasan RUU Perampasan Aset: Sebuah Janji yang Berulang

Gelombang aksi yang dilakukan pada 25-31 Agustus 2025 menghasilkan tuntutan yang beragam dari masyarakat. Mulai dari penyesuaian tunjangan DPR yang terlalu jomplang, tuntutan reformasi hukum, sampai tuntutan pemecatan beberapa pejabat yang telah mencederai hati masyarakat. Tuntutan ini disampaikan pada 1 September 2025 yang bernama 17+8 Tuntutan Rakyat. Salah satu tuntutan yang disampaikan adalah untuk segera mengesahkan dan menegakkan UU Perampasan Aset Koruptor. 

Subscribe to Subscribe to