Pada awal Maret 2018, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membuka rekrutmen untuk posisi Deputi Penindakan dan Direktur Penyidikan. Rekrutmen posisi Deputi Penindakan untuk menggantikan Irjen Pol Heru Winarko yang kini menjabat sebagai Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN). Sedangkan rekrutmen posisi Direktur Penyidikan untuk menggantikan Brigjen Aris Budiman yang kembali ke Mabes Polri.
Pada 28 Februari 2018, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejagung), dan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menandatangani Perjanjian Kerja Sama (PKS) dalam rangka menangani pengaduan masyarakat terkait indikasi korupsi dalam penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Banyak yang mempertanyakan relevansi PKS ini mengingat terdapat aturan serupa yaitu dalam Inpres No.1 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional dan UU No.30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan?
Presiden Joko Widodo di beberapa kesempatan selalu menekankan pentingnya pemanfaatan teknologi informasi dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa agar lebih transparan.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun mengamini, bahkan belakangan menyarankan tidak hanya mengandalkan e-procurement, tetapi juga e-katalog bagi semua pengadaan barang dan jasa di kementerian, lembaga pemerintah, dan pemerintah daerah.
Rencana Komisi Pemberantasan Korupsi mengumumkan sejumlah calon kepala daerah yang sudah masuk dalam daftar tersangka korupsi tampaknya dianggap mengganggu stabilitas politik dalam pilkada serentak yang berlangsung pada 2018 ini.
Pemerintah, melalui Menko Polhukam Wiranto, langsung memberi reaksi cepat atas rencana itu dengan melakukan rapat koordinasi khusus. Hasilnya, meminta lembaga antikorupsi menunda rencananya itu. Alasannya, para figur peserta pilkada itu sudah bukan lagi pribadi, melainkan sudah menjadi milik partai politik dan juga masyarakat pendukung (Kompas, 14/3).
Ketua KPK Agus Rahardjo baru-baru ini menyatakan pihaknya akan mengumumkan beberapa calon kepala daerah yang ikut dalam Pilkada 2018 sebagai tersangka kasus korupsi. Seminggu sebelumnya, pernyataan serupa ia sampaikan dalam Rapat Kerja Teknis Polri di Jakarta.
Pemerintah, melalui Menko Polhukam, kemudian menanggapi pernyataan Ketua KPK itu setelah rakorsus penyelenggaraan Pilkada 2018. Pemerintah meminta KPK untuk menunda rencana pengumuman tersangka, dengan alasan pengumuman tersebut akan mengganggu pilkada. Selain itu, rencana KPK tersebut dipandang masuk ranah politik.
Kepolisian harus menunjukkan Surat Telegram Rahasia (STR) yang menyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara yang dikembalikan akan menghapus pidana.
Antikorupsi.org, Jakarta, 5 Maret 2018 – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak yang saat ini baru masuk dalam tahapan kampanye menimbulkan banyak masalah. Masalah utama yang dapat disorot adalah terkait integritas. Tak hanya integritas para calon kepala daerah yang bermasalah, ternyata integritas penyelenggara pilkada pun bermasalah. Banyak hal yang melatarbelakangi hingga masalah ini dapat terjadi, baik dari proses pemilihan tim seleksi (timsel) hingga sanksi yang seharusnya dikenakan kepada partai politik supaya masalah ini tidak berulang.
Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pada Kamis pekan lalu, mendakwa Bimanesh Sutarjo, dokter Rumah Sakit Medika Permata Hijau, Jakarta, karena merintangi penyidikan kasus korupsi proyek e-KTP (obstruction of justice). Kasus ini melibatkan Setya Novanto, mantan Ketua DPR.
Ada rumor bahwa Presiden Jokowi tak bersedia mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPD (UU MD3). Padahal, undang-undang itu sudah disetujui bersama oleh pemerintah dan DPR.
Sikap Presiden ini mengingatkan pada pemikiran George Jellinek (1851-1911), ahli tata ketatanegaraan Jerman yang mengklasifikasi negara menjadi dua, republik dan monarki. Negara disebut republik apabila undang-undang dibuat oleh suatu dewan. Sedangkan negara disebut monarki bila satu orang saja yang bisa membentuk undang-undang.