Peta Bumi Korupsi

Dalam beberapa diskusi sering terlontar pertanyaan dan pernyataan: mengapa setelah Komisi Pemberantasan Korupsi gencar melakukan penindakan dan operasi tangkap tangan, korupsi tidak juga berkurang? Bahkan, tak sedikit yang berpendapat, KPK gagal meredam korupsi karena tindak kejahatan kemanusiaan itu tetap berlangsung masif.

Pernyataan itu bukan saja tidak relevan, melainkan juga mengingkari das sein dan das sollen sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tujuh argumen untuk mematahkan pernyataan tersebut.

10 Bulan Teror Novel Baswedan

TEPAT 11 Februari 2018 merupakan bulan kesepuluh pasca teror yang menimpa salah seorang penyidik KPK Novel Baswedan. Jangankan mendapatkan pelaku utama, faktanya hingga saat ini pihak kepolisian tak kunjung berhasil mengungkap dua orang pelaku penyiraman air keras tersebut. Lambatnya pengusutan teror itu sebenarnya akan semakin meruntuhkan ekspektasi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.

Gairah Korupsi Kepala Daerah

Rentetan penangkapan kepala daerah oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terjadi. Dalam satu bulan ini, KPK telah menangkap empat kepala daerah (Kompas, 15/2). Keempatnya, calon petahana. Menurut ICW, sebanyak 215 kepala daerah tersandung korupsi dalam kurun waktu 2010-2017.

Riset dari Rumesten (2014) menemukan, perilaku korupsi kepala daerah dipicu oleh gelaran pilkada secara langsung. Meski demikian, Rumesten tak setuju jika kemudian pilkada dikembalikan ke sistem tak langsung, karena pemilihan oleh DPRD tak mampu menekan perilaku korupsi kepala daerah.

Dana Kapitasi Sangat Rawan Dikorupsi Kepala Daerah dan Birokrat Daerah

Dana kapitasi yang ditransfer belasan triliun tiap tahun oleh BPJS Kesehatan pada FKTP terutama puskesmas rawan dikorupsi oleh birokrat daerah di sektor kesehatan. Tidak hanya itu, dana kapitasi juga digunakan untuk menyuap kepala daerah, akreditasi puskesmas dan dana kampanye pilkada oleh petahana. Akibatnya, ratusan miliar dan bahkan triliunan dana ini diduga menguap tidak jelas.

Menjaga Kehormatan DPR

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berlogika bahwa mereka dipilih oleh rakyat dalam kurun waktu sekali dalam lima tahun melalui mekanisme pemilihan umum. Logika berikutnya, anggota DPR mendapatkan mandat secara langsung dari rakyat, maka kedudukan mereka sangat terhormat. Karena sangat terhormat, mereka perlu dilindungi.

Menyoal Hubungan DPR dengan Rakyat

Dewan Perwakilan Rakyat adalah lembaga politik. Eksistensi DPR ada karena ada rakyat. Oleh karena itu, hubungan DPR dengan rakyat sejatinya adalah hubungan politik. Rakyatlah yang memberikan kekuasaan kepada DPR.  Lembaga DPR melaksanakan kekuasaan itu.

Tren Korupsi 2017: Objek Penyalahgunaan APBD Paling Banyak Dikorupsi oleh Kepala Daerah

Pemilu merupakan salah satu cara agar sirkulasi kepemimpinan berjalan dengan baik. Bila tidak pemerintahan akan berpotensi masuk dalam pemerintahan yang otoritarianisme dan cenderung korup. Perhelatan pemilu perlu dilakukan di negara yang demokratis, baik di tingkat nasional (pemilihan Presiden) hingga di tingkat lokal (pemilihan kepala daerah).

Tren Penindakan Kasus Korupsi 2017

Kepala daerah rentan melakukan tindak pidana korupsi. Sepanjang tahun 2017, 30 orang kepala daerah yang terdiri dari 1 Gubernur, 24 Bupati/Wakil Bupati dan 5 Walikota/Wakil Walikota telah menjadi tersangka kasus korupsi. Mereka terlibat dalam 29 korupsi dengan kerugian negara Rp 231 miliar dan nilai suap Rp 41 miliar. Korupsi kepala daerah ini terutama terkait dengan penyalahgunaan APBD, perizinan, infrastruktur, pengadaan barang dan jasa, promosi dan mutasi pejabat daerah, pengelolaan aset daerah dan lainnya.

Anomali Dalam Revisi UU MD3

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah rampung membahas revisi UU No. 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD (UU MD3). Namun, UU MD3 yang disahkan pada 12 Februari 2018 tersebut memuat sejumlah materi baru yang justru menimbulkan reaksi keras dari publik.

Tolak RKUHP Ngawur

Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang memunculkan polemik dan mendapatkan penolakan banyak pihak. Subtansi RKUHP yang ada saat ini dinilai membahayakan demokrasi, penegakan Hak Asasi Manusia, dan pemberantasan korupsi di Indonesia. 

Salah satu yang menolak keras keberadaan RKUHP adalah Aliansi Nasional Reformasi KUHP. Aliansi ini merupakan gabungan dari beberapa lembaga seperti ICJR, Elsam, YLBHI, ICW, PSHK, LeIP, AJI Indonesia, KontraS, LBH Pers, Imparsial, HuMA, LBH Jakarta, dan PSHK.

Subscribe to Subscribe to