Senin, 5 Maret 2018, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali bersidang setelah menyelesaikan masa reses. Salah satu kerja legislasi DPR yang perlu mendapat perhatian pada masa sidang mendatang adalah proses pembahasan Rancangan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). DPR menargetkan mengesahkan RKUHP menjadi Undang-Undang selambatnya pada April 2018.
Menjelang pendaftaran Calon Presiden dan Wakil Presiden pada Agustus 2018, ruang-ruang publik dan pemberitaan belakangan ini seolah hanya dipenuhi dengan diskursus numerik elektabilitas, peta koalisi partai politik, poros dua kutub kekuasaan Jokowi dan Prabowo. Berbagai lembaga survey menyajikan angka elektabilitas dan simulasi pasangan calon presiden berdasarkan popularitas dan elektabilitas.
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memprioritaskan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi Undang-Undang pada tahun 2018 ini. Namun sejumlah ketentuan yang diatur dalam RKUHP memunculkan polemik, mendapatkan penolakan banyak pihak dan dapar dinilai melemahkan upaya pemberantasan korupsi.
Korupsi kepala daerah tak kunjung berhenti. Silih berganti kepala daerah ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bahkan saat mencalonkan diri dalam pilkada pun, kepala daerah masih nekat korupsi. Tingginya biaya politik dan semakin ketatnya persaingan dalam pilkada, menjadi faktor yang mendorong terjadinya korupsi.
Modus korupsi tidak banyak yang berubah. Penyalahgunaan wewenang yang berujung pada transaksi suap-menyuap merupakan bentuk korupsi kepala daerah yang paling banyak terungkap. Kasusnya juga masih itu-itu saja, seputar kewenangan yang diperjualbelikan.
Pilkada serentak 2018 telah memasuki tahap kampanye. Pada tahapan yang tergolong awal ini, sejumlah kasus yang mencoreng integritas pilkada semakin menjadi. Setelah ramai dugaan mahar politik, kini kasus korupsi kepala daerah yang ditengarai untuk pendanaan pilkada dan suap penyelenggara pemilu bermunculan.
I. Korupsi dan Kepala Daerah
Biaya politik pemilihan kepala daerah yang tinggi dianggap sebagai penyebab korupsi kepala daerah.
Pernyataan itu dianggap benar karena kompensasi atas tingginya biaya itu dicari dari sumber daya publik dan terdapat kenyataan semakin banyak pimpinan daerah dipidana akibat korupsi. Tetapi di luar itu, bagaimana peran institusi negara yang mengatur penyelenggara negara, sehingga terjadi pembiaran terhadap sumber daya publik yang dikorbankan?
Akhir-akhir ini orang kembali membicarakan hubungan antara etika dan hukum. Hal ini setidaknya disebabkan dua hal. Pertama,maraknya pelanggaran etik yang dilakukan oleh pejabat negara, khususnya terkait Ketua Mahkamah Konstitusi yang mendapat sorotan dari banyak ahli hukum akibat pelanggaran etiknya. Kedua,munculnya revisi UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang dinilai mencampuradukkan antara hukum dan etika.
TREN PENINDAKAN KASUS KORUPSI PENGADAAN BARANG DAN JASA TAHUN 2017
“Rp 86 Triliun Anggaran Belanja APBN/APBD Tidak Diumumkan di Sirup dan Rawan Korupsi ”
Dalam beberapa diskusi sering terlontar pertanyaan dan pernyataan: mengapa setelah Komisi Pemberantasan Korupsi gencar melakukan penindakan dan operasi tangkap tangan, korupsi tidak juga berkurang? Bahkan, tak sedikit yang berpendapat, KPK gagal meredam korupsi karena tindak kejahatan kemanusiaan itu tetap berlangsung masif.
Pernyataan itu bukan saja tidak relevan, melainkan juga mengingkari das sein dan das sollen sistem pencegahan dan pemberantasan korupsi di Indonesia. Sekurang-kurangnya ada tujuh argumen untuk mematahkan pernyataan tersebut.
TEPAT 11 Februari 2018 merupakan bulan kesepuluh pasca teror yang menimpa salah seorang penyidik KPK Novel Baswedan. Jangankan mendapatkan pelaku utama, faktanya hingga saat ini pihak kepolisian tak kunjung berhasil mengungkap dua orang pelaku penyiraman air keras tersebut. Lambatnya pengusutan teror itu sebenarnya akan semakin meruntuhkan ekspektasi publik terhadap penegakan hukum di Indonesia.