Pekan lalu, mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi, dan menantunya, Rezky Herbiyono, dijatuhi vonis 6 tahun penjara dan denda sebesar Rp 500 juta akibat praktik korupsi yang dilakukan oleh keduanya. Hakim beranggapan para terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan menerima suap dan gratifikasi senilai Rp 49,5 miliar. Namun, sayangnya, putusan ini bertolakbelakang dengan ekspektasi publik yang menginginkan terdakwa dijatuhi vonis maksimal atau pidana penjara seumur hidup.
Putusan yang dijatuhkan oleh majelis hakim terhadap terdakwa perkara korupsi lambat laun kian menjauh dari pemberian efek jera. Kalimat itu bukan tanpa dasar, sejak tahun 2005 Indonesia Corruption Watch (ICW) telah melakukan pemantauan atas vonis-vonis hakim di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, hasilnya selalu mengecewakan. Rata-rata vonis yang dijatuhkan selalu ringan. Pertanyaan pun muncul: seberapa serius lembaga kekuasaan kehakiman memandang kejahatan korupsi?
Untuk kesekian kalinya masyarakat mesti merasakan dampak korupsi yang dilakukan oleh pejabat publik. Sebagaimana diketahui pada awal Desember lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berhasil membongkar praktik korupsi pengadaan paket bantuan sosial (bansos) sembilan bahan pokok untuk warga terdampak pandemi Corona Virus Disease 19 (Covid-19) di Kementerian Sosial (Kemensos).
KPK telah menetapkan Direktur Ekstensifikasi dan Penilaian Direktorat Jenderal Pajak (DJP), Angin Prayitno Aji dan Kepala Subdirektorat 1 Kerja Sama Dukungan Pemeriksaan, Dadan Ramdani sebagai tersangka. Penetapan tersangka sepatutnya menjadi momentum untuk menuntaskan skandal-skandal perpajakan.
Pupus sudah harapan warga untuk dapat mengakses hasil audit BPKP terhadap Dana
Jaminan Sosial BPJS Kesehatan. Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 603
K/TUN/KI/2020 menolak permohonan kasasi yang diajukan oleh Indonesia Corruption
Watch (ICW), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta serta Lokataru Foundation.
Putusan MA ini bermula ketika pada 6 Juni 2020 silam PTUN Jakarta membatalkan
putusan Komisi Informasi Pusat Republik Indonesia yang menyatakan hasil audit BPKP
terhadap BPJS Kesehatan sebagai informasi yang terbuka. Komisi Informasi sebelumnya