Pemberantasan korupsi akhirnya menemui ajalnya. Pada hari ini Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) resmi mengumumkan nasib sejumlah pegawai pasca melewati Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Setelah rapat lintas kementerian dan lembaga itu, diputuskan bahwa 51 pegawai KPK tetap dipaksa untuk keluar dari lembaga antirasuah.
Belum lama ini KPK termasyur sebagai sebuah cerita sukses. Namun pada 12 Mei 2021 ekonom Emil Salim memperingatkan masyarakat Indonesia untuk tidak mempercayai sayap resmi KPK. Bagaimana pergeseran kepercayaan publik bisa terjadi?
Persidangan pengujian Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) baru segera menemui titik akhir. Mahkamah Konstitusi (MK) dijadwalkan akan membacakan putusan uji formil dan uji materiil pada Selasa pekan depan. Berangkat dari hal tersebut, timbul satu pertanyaan, yakni: apakah MK membenarkan begitu saja sebuah produk legislasi yang sudah merusak iklim pemberantasan korupsi dan sarat akan kepentingan politik itu?
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berada pada ambang batas kepercayaan publik. Praktis setiap waktu pemberitaan lembaga anti rasuah itu selalu diwarnai dengan problematika di internalnya sendiri. Mulai dari pencurian barang bukti, gagal menggeledah, enggan meringkus buronan Harun Masiku, hilangnya nama politisi dalam surat dakwaan sampai terakhir adanya dugaan pemerasan kepada kepala daerah. Selain karena rusaknya regulasi baru KPK, isu ini juga mesti diarahkan pada kebobrokan pengelolaan internal kelembagaan oleh para komisioner.
Perlahan, namun pasti, efek buruk dari berlakunya Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 semakin menguntungkan pelaku korupsi. Selain proses penindakan yang kian melambat, kali ini KPK justru menghentikan perkara besar dengan mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Adapun perkara yang dihentikan oleh KPK adalah dugaan tindak pidana korupsi atas penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) obligor Bantuan Likuiditas Bank Indonesia dengan tersangka Sjamsul Nursalim dan Itjih Nursalim.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK kembali melakukan tindakan kontroversial. Setelah aksi Ketua KPK, Firli Bahuri, memasak nasi goreng pada awal tahun 2020, dilanjutkan dengan membagi-bagikan bantuan sosial bersama mantan Menteri Sosial, Juliari P Batubara, kini lembaga anti rasuah itu malah mengunjungi lembaga pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin untuk melakukan sosialisasi pencegahan korupsi kepada para napi koruptor. Tindakan ini sangat tidak berdasar dan justru memutar-balikkan logika pencegahan pemberantasan korupsi.