Sesat Pikir Perpanjangan Masa Jabatan Kades: Niat Buruk Politisasi Desa dan Suburkan Oligarki Desa
Wacana perpanjangan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun patut ditolak DPR dan pemerintah. Selain bernuansa politis dengan tukar guling dukungan menuju kontestasi pemilu 2024, usulan tersebut sama sekali tidak relevan dengan urgensi kebutuhan pembenahan desa. Sebaliknya, akomodasi atas usulan tersebut akan menyuburkan oligarki di desa dan politisasi desa.
Desa hari ini masih dilingkupi sejumlah masalah, mulai dari tata kelola keuangan yang masih eksklusif dari partisipasi bermakna (meaningful participation) masyarakat hingga korupsi. Akibatnya, pembangunan dan kesejahteraan masyarakat desa belum optimal. Oleh karena itu, pengambil kebijakan, baik itu eksekutif maupun legislatif, seharusnya fokus urun rembuk membenahi regulasi dan sistem yang efektif meningkatkan kemajuan pembangunan desa, termasuk didalamnya mereduksi potensi korupsi. Bukan menyambut usulan yang justru akan memperburuk masalah di desa.
Tren penindakan korupsi yang diinventarisir Indonesia Corruption Watch (ICW) setiap tahun menunjukkan fenomena mengkhawatirkan terkait dengan desa. Korupsi di level desa konsisten menempati posisi pertama sebagai sektor yang paling banyak ditindak atas kasus korupsi oleh aparat penegak hukum sejak 2015-2021. Sepanjang tujuh tahun tersebut, terdapat 592 kasus korupsi di desa dengan nilai kerugian negara mencapai Rp 433,8 miliar.
Korupsi yang makin meningkat di desa berjalan beriringan dengan peningkatan alokasi dana yang cukup besar untuk membangun desa. Sejak 2015-2021, Rp 400,1 triliun dana desa telah digelontorkan untuk keperluan pembangunan desa, baik dalam hal pembangunan fisik maupun manusia melalui program pengembangan masyarakat dan penanganan kemiskinan ekstrim. Korupsi yang terjadi di desa akan berdampak pada kerugian yang dialami langsung oleh masyarakat desa. Hal ini perlu menjadi perhatian utama pemerintah. Hingga saat ini, belum ada solusi dan langkah pencegahan efektif untuk menekan korupsi di desa.
ICW menilai usulan tersebut jika diakomodir justru akan menyebabkan tiga masalah mendasar, yaitu:
Pertama, perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membuat iklim demokrasi dan pemerintahan desa menjadi tidak sehat dan bahkan dapat menyuburkan oligarki di desa. Belum lagi ditambah fenomena dinasti yang juga muncul dalam pemilihan kepala desa. Akibatnya, potensi sebuah desa dipimpin oleh kelompok yang sama selama puluhan tahun semakin terbuka lebar.
Salah satu masalah mendasar di desa hari ini adalah minimnya keterlibatan masyarakat dalam pengambilan suatu keputusan yang berkaitan dengan pembangunan. Selain itu, transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan dan pembangunan oleh pemerintah desa disinyalir kerap melatarbelakangi praktik korupsi di sana.
Kedua, perpanjangan masa jabatan kepala desa tidak sejalan dengan semangat reformasi 1998 dan amandemen UUD 1945 yang menekankan limitasi terhadap kekuasaan di cabang eksekutif. Salah satunya dengan memberikan batasan jelas terhadap periode maupun lama jabatan. Upaya untuk memperpanjang masa jabatan kepala desa jelas bertentangan dengan semangat konstitusional tersebut.
Pasal 39 UU Desa mengatur bahwa satu periode masa jabatan kepala desa yaitu selama enam tahun. Kepala desa juga dapat menjabat paling banyak tiga periode, baik secara berturut-turut ataupun tidak. Konstruksi pembatasan masa jabatan demikian telah diteguhkan konstitusionalitasnya oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No. 42/PUU-XIX/2021. Dibanding masa jabatan pejabat lain yang lahir dari mandat masyarakat, seperti kepala daerah, presiden, dan anggota legislatif, masa jabatan kepala desa ini jauh lebih panjang. Sayangnya, ide perpanjangan itu tidak didukung dengan argumentasi yang jelas dan cenderung bermuatan politis.
Ketiga, respon positif atas usulan perpanjangan masa jabatan kepala desa akan membawa preseden buruk dan patut dicurigai sebagai pintu masuk perpanjangan masa jabatan presiden, kepala daerah, dan anggota legislatif. Jika usulan tersebut diakomodasi, bukan tidak mungkin selanjutnya masa jabatan elected officials lain bisa diwacanakan untuk diperpanjang. Terlebih, narasi perpanjangan masa jabatan ini bukan kali pertama. Pada 2022 silam, Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (DPP APDESI) yang dipimpin Surta Wijaya mendeklarasikan dukungan untuk Presiden Joko Widodo menjabat selama tiga periode.
Poin di atas bukan tanpa dasar. Gejala melanggengkan kekuasaan petahana kerap dimunculkan sejumlah kelompok belakangan waktu terakhir. Modelnya pun beragam, mulai dari penundaan pemilu, menambah masa jabatan presiden, hingga menjadikan periode waktu kepemimpinan presiden menjadi tiga periode. Atas dasar itu, ide untuk merevisi UU Desa dengan substansi terkait perpanjangan masa jabatan kepala desa patut dicuragai sebagai agenda terselubung dari kelompok tertentu.
Lepas dari itu, alasan bahwa enam tahun dinilai tidak cukup membangun desa karena adanya menimbulkan ketegangan dan polarisasi masyarakat pasca pilkades bukan alasan tepat untuk dijadikan sebagai justifikasi memperpanjang jabatan kepala desa. Solusi atas persoalan ini adalah pembenahan pada sektor pilkades yang diketahui transaksional atau rentan jual beli suara serta konflik.
Alih-alih menjegal usulan perpanjangan masa jabatan, sinyal positif justru ditunjukkan sejumlah partai politik dan politisi DPR. Tidak mengherankan, sebab, ada ceruk suara besar yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik praktis di desa. Atas dasar itu, Indonesia Corruption Watch mendesak agar pembentuk UU secara tegas menolak usulan ganjil ini dan menghentikan wacara perpanjangan masa jabatan kepala desa.
Jakarta, 26 Januari 2023
Narahubung:
Almas Sjafrina (085770624117)
Kurnia Ramadhana (085770623304)