Koruptor Kita Tercinta
Hari ini, seorang koruptor keluar dari Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi dengan santai dan tenang. Kepada kerumunan wartawan yang menunggu, ia memberi pernyataan berikut.
 
Saya bersyukur kepada Tuhan karena hari ini saya telah resmi ditetapkan menjadi koruptor. Ini sebuah kehormatan bagi saya karena, bagaimanapun, menjadi koruptor itu butuh keberanian mengorbankan nama baik. Tak semua orang berani melakukan pengorbanan itu.
Tirani Wakil Rakyat
Saya yakin kita semua tahu riwayat awal mula berdirinya badan antikorupsi Hongkong, ICAC, pada 1974. Ketika baru mulai, salah satu musuh utamanya adalah kepolisian Hongkong yang korup. Sampai sempat terjadi tembak-menembak dan akhirnya badan antikorupsi itu menang berkat dukungan tegas pemerintah kolonial Inggris yang saat itu masih menguasai Hongkong.
 
Kita pun pernah mengalami peristiwa mirip yang terkenal dengan sebutan ”cicak lawan buaya” meski tidak sampai terjadi tembak-menembak.
Pesta Para Koruptor
Kaum koruptor tak pernah puas berpesta pora mengeruk uang rakyat. Mereka tak rela pesta korupsi itu berakhir.
 
Adanya lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa tak ada pesta tanpa akhir. Boleh jadi, itulah sebabnya lembaga KPK—terutama sejak lembaga ini dipimpin Antasari Azhar—tak pernah sepi dari hujatan para pejabat negara yang bertanggung jawab atas pengelolaan belanja negara demi menyejahterakan rakyat.
 
Belanja negara yang sudah diperhitungkan matang-matang tak pernah mencapai tujuannya.
Korupsi dan Kejahatan Terorganisasi
Belajar dari negara-negara yang sukses memberantas korupsi, terdapat tiga resep generik ampuh untuk menekan maraknya kejahatan kemanusiaan itu.
 
Tiga resep generik itu adalah pelaku korupsi diganjar hukuman berat yang membuatnya jera, memastikan berfungsinya kontrol ketat melembaga di institusi penegak hukum, dan membasmi sumber kejahatan terorganisasi.
 
Tiga syarat itu dalam konteks Indonesia mensyaratkan perombakan tatanan hukum secara radikal, tak ada satu lembaga pun yang luput dari pengawasan dan penindakan, serta diseminasi korupsi sebag
KPK dan BPK
Komisi Pemberantasan Korupsi dan Badan Pemeriksa Keuangan adalah dua lembaga yang memiliki posisi sama. Keduanya sama-sama lembaga tinggi negara. KPK dan BPK adalah lembaga independen. Dua-duanya bebas dari intervensi pemerintah. Tugas DPR hanya mengawasi kedua lembaga ini.
 
Kedua lembaga ini memang kelihatan memiliki tugas berbeda, tetapi bisa saling mengisi. KPK bertugas dalam ranah penegakan hukum dan menyelamatkan uang negara dari korupsi, sementara BPK bertugas mengaudit keuangan negara, kementerian, lembaga, dan pemerintah provinsi serta kabupaten/kota.
Membela KPK
”Dewan Perwakilan Rakyat tentunya bukanlah Dewan Perwakilan Koruptor, ’yang terhormat’ Wakil Rakyat itu dibayar oleh uang rakyat.” (Tajuk Rencana ”Kompas”, 5 Juli 2017).
 
Tajuk Rencana Kompas, 5 Juli 2017, tidak biasa. Ada nada geram. Hampir bisa dipastikan, kutipan atau substansi Tajuk Rencana itu secara keseluruhan mewakili pikiran dan perasaan kebanyakan warga Indonesia. Logikanya sederhana, rakyat membayar pajak, merupakan uang rakyat, yang sebagian dipakai untuk membayar gaji, tunjangan, dan berbagai insentif anggota DPR.
In-Depth Analysis: Akal-Akalan Parlemen

DPR kembali mempertontonkan dagelan politik kepada masyarakat luas. Belum lepas dari masalah keabsahan pengajuan hak angket, Pansus Angket berencana menyambangi BPK, Mabes Polri, dan Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin dan Pondok Bambu. Menurut klaim mereka, tujuan dari kunjungan tersebut adalah menerima masukan dan data atas berbagai macam pelanggaran hukum yang dilakukan KPK dalam melaksanakan tugas mereka sebagai penegak hukum.

Risiko Seteru DPR-KPK
Perseteruan Dewan Perwakilan Rakyat dengan Komisi Pemberantasan Korupsi makin seru. Dengan pembentukan Panitia Angket DPR yang disesalkan banyak pihak dan ditengarai sarat kepentingan internal-mengingat beberapa anggota DPR terkena "operasi" KPK-perseteruan itu kian meruncing.
 
Panitia Angket DPR dalam melaksanakan tugasnya merasa "dihalang-halangi" KPK yang tak mau hadir memenuhi undangan.
Sertifikat Antipenyuapan
Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap oknum Badan Pemeriksa Keuangan seyogianya dijadikan momentum bagi BPK untuk berbenah diri.
Korupsi Bukan soal Jumlah
Salah satu kritik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia adalah rendahnya tingkat keberhasilan dalam mengembalikan uang korupsi. Bayangkan, dari 542 kasus korupsi (2001-2009), menurut jaksa penuntut umum, kerugian yang diderita negara adalah Rp 73,1 triliun, sementara uang korupsi yang dikembalikan hanya Rp 5,32 triliun.
 
Kalau angka ini kita tambah dengan angka kasus korupsi yang terjadi dari tahun 2009 sampai dengan 2016, jumlah ini tak akan terlalu banyak bertambah jika kita membaca laporan di media. Pengembalian uang korupsi juga bisa dibilang rendah.
Subscribe to Subscribe to