Pelan tapi pasti, dampak buruk Undang-Undang Pemasyarakatan (UU PAS) yang baru mulai terasa. Alih-alih menjunjung tinggi hak atas keadilan bagi para korban kejahatan, regulasi ini justru menguntungkan gerombolan koruptor. Tak tanggung-tanggung, dua puluh tiga pejabat dan aparat penegak hukum korup secara gratis mendapatkan pembebasan bersyarat.
Operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap 10 orang dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di Mahkamah Agung, semakin mencoreng dunia peradilan. Dari sepuluh orang tersebut, satu di antaranya merupakan Hakim Agung, yakni Sudrajad Dimyati. Peristiwa ini kian memperlihatkan kondisi lembaga kekuasaan kehakiman benar-benar mengkhawatirkan.
Berdasarkan data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tak kurang sudah 176 kepala daerah tersandung permasalahan hukum. Terakhir dan saat ini sedang ramai dibincangkan masyarakat adalah Gubernur Papua, Lukas Enembe. Bagaimana tidak, di balik dugaan gratifikasi Rp 1 miliar yang disangka KPK ternyata turut ditemukan adanya aliran dana tak wajar yang mencapai setengah triliun rupiah. Jika kemudian tudingan dan temuan KPK terbukti, maka Lukas bisa dianggap kepala daerah paling korup sepanjang sejarah.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengecam pembangkangan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang mengabaikan serta tidak menindaklanjuti tindakan korektif yang telah diberikan Ombudsman Republik Indonesia (ORI).
Wacana pengangkatan kembali 17 Aparatur Sipil Negara (ASN) koruptor oleh Bupati Mukomuko merupakan sesat pikir dan kemunduran bagi upaya reformasi birokrasi yang tengah dilakukan oleh pemerintah.
Tak cukup dengan satu pelanggaran etik, pimpinan KPK Lili Pintauli lagi-lagi berulah dan kembali berurusan dengan Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas dugaan penerimaan gratifikasi berbentuk akomodasi hotel hingga tiket menonton MotoGP Mandalika. Namun, alih-alih dijatuhi sanksi berat, langkah Dewas kalah cepat dengan manuver Lili yang lebih dulu mengundurkan diri sebagai pimpinan KPK.
Dunia olahraga selalu diidentikan dengan nilai kejujuran dan sportivitas. Sayang, kenyataannya tak selalu sesuai. Nilai kejujuran dan sportivitas yang digembar-gemborkan seringkali hanya menjadi slogan di spanduk-spanduk atau pidato yang disampaikan dalam acara olahraga. Setidaknya nilai tersebut tidak tercermin dalam kasus-kasus korupsi yang terjadi di sektor olahraga.
Indonesia Corruption Watch (ICW) pada September 2022 akan menyelenggarakan Sekolah Antikorupsi (SAKTI) untuk daerah Kalimantan Timur. SAKTI ini mengangkat tema korupsi dan krisis iklim. Dalam penyelenggaraannya, ICW bermitra dengan Jaringan Advokasi Tambang Kalimantan Timur (JATAM Kaltim). SAKTI: Korupsi dan Krisis Iklim akan diselenggarakan secara luring selama 8 (delapan) hari dengan peserta terpilih yang telah melewati dua tahap seleksi.
Alih-alih mendorong efektifitas efek jera bagi pelaku korupsi, melalui Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Pemerintah justru kian melemahkannya. Setelah mempreteli habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beberapa waktu lalu, kali ini pelemahan sistematis terhadap penegakan hukum pemberantasan korupsi tertuang dalam naskah RKUHP.