Salah satu daya pikat pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla saat kampanye pemilu presiden lalu adalah janji mereka membangun Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan memiliki pribadi yang kuat sebagai bangsa.
Janji kampanye itu dikemas dalam dokumen setebal 24 halaman dengan nama Nawacita atau sembilan cita-cita utama. Salah satu program aksi utamanya adalah penegakan hukum dan pemberantasan korupsi.
Dugaan korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) yang sebelumnya ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya dapat menjadi ajang perubahan di tubuh kepolisian. Namun hal ini malah diperburuk dengan niatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menempatkan BG ke dalam jabatan strategis (Wakapolri) di kepolisian.
Pelimpahan berkas perkara dugaan korupsi Komjen Budi Gunawan (BG) ke Bareskrim Polri oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) disinyalir menjadi upaya dari penghentian dugaan perkara korupsi ini, dan meloloskan yang bersangkutan sebagai Wakapolri. Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus ikut bertanggungjawab terhadap pelimpahan perkara ini dengan menarik kembali berkas BG.
Senin, 16 Maret, Indonesia Corruption Watch merilis hasil kajian tren vonis korupsi pada 2014. Secara garis besar tren vonis pada 2014 menggambarkan bahwa kerja institusi pengadilan tindak pidana korupsi tidak maksimal dalam menghukum terdakwa korupsi.
Tidak maksimalnya kinerja pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor) tampak dalam bobot penghukuman yang dijatuhkan kepada terdakwa korupsi. Setidaknya ada lima permasalahan utama yang menjadi catatan penting dalam tren vonis 2014.
Lemahnya partisipasi masyarakat dalam penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menjadi celah penyusupan anggaran yang dilakukan oknum DPRD. Hal ini disebabkan tidak tertampungnya aspirasi masyarakat dalam musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) daerah.
Potensi korupsi dalam pemberian remisi tidak dapat dihindarkan. Terlebih syarat pemberian remisi tambahan untuk terpidana sulit diukur keberhasilannya.
"Potensinya ada di pemberian remisi tambahan. Dengan syarat yang ditetapkan, tolak ukurnya sulit ditentukan," kata Dosen Fakultas Hukum (FH) Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, saat ditemui di Kantor ICW (6/4/2015).
Pemerintah harus mencabut niatnya untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) 99/2012. Pasalnya jika obral remisi tetap dilakukan maka pemerintah tidak lagi memiliki komitmen dan kemauan untuk membersihkan Indonesia dari koruptor.
Terkait rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah melakukan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) 2015, Aliansi Nasional Reformasi KUHP mengadakan konferensi pers di Kantor ICW, Kamis (2/4/2015) pukul 13.00. Konferensi pers ini bertujuan memberikan rekomendasi kepada DPR dalam merancang dan menetapkan RUU KUHP dapat lebih revolusioner.