Pernyataan Presiden SBY bahwa ada birokrat dan pengusaha yang melawan gerakan pemberantasan korupsi menunjukkan bahwa praktik korupsi di negeri ini sangat sulit diberantas. Kendala pemberantasan akan muncul dari berbagai kelompok yang selama ini menikmati praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme). Dalam hal penikmat praktik KKN bisa datang dari mana saja seperti birokrat, anggota dewan, perguruan tinggi, LSM dan pengusaha. Korupsi dalam praktiknya tidak pernah pilih kasih. Setiap orang bisa tergiur untuk melakukannya.
Perilaku korupsi di negeri ini telah menjalar ke seluruh lini kehidupan dan prosesnya berjalan secara sistematis serta terstruktur. Sehingga, tidak ada lagi ruang kekuasaan dan birokrasi yang tidak tercemar virus korupsi ini.
Calon Wali Kota Depok Nurmahmudi Ismail akan mengevaluasi dan mengaudit semua kontrak kerja, program, dan keuangan pemerintah lama.
Pertemuan dengan beberapa pelukis abstrak di rumah saya, kemarin, memberi beberapa catatan penting untuk dilihat dalam perspektif yang lebih makro. Saya melihat ada kesamaan pandangan kawan-kawan pelukis abstrak dalam mengalobarsi pemberantasan korupsi di negeri ini. Mudah-mudah jalur lukis ini, bisa jadi pintu pemberantasan korupsi, pelanggaran HAM dan berbagai tindak penyimpangan, yang menghadang hak-hak hidup manusia.
Pemerintah akan mengganti direksi PT Kereta Api Indonesia (KAI) dan PT Pos Indonesia serta membenahi PT Dirgantara Indonesia (DI). Ketiga Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang berkantor pusat di Bandung ini termasuk kelompok perusahaan yang merugi.
Penegakan hukum dan pemberantasan korupsi selain wewenang Kejaksaan Agung, juga wewenang Kepolisian Negara RI (Polri). Tersendat-sendatnya pemberantasan korupsi, antara lain karena oknum-oknum kepolisian justru ditengarai ikut terlibat dalam lingkaran korupsi. Sungguh ironis, jika polri yang mestinya jadi institusi penegak hukum malah menjadi lembaga terkorup setelah Ditjen Pajak. Tugas pokok lain yang belum optimal ditangani polri adalah pemeliharaan ketertiban dan keamanan publik, serta mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat.
Pendapat publik dan hasil berbagai penelitian justru menggambarkan, rasa aman masyarakat masih jauh dari harapan. Polri belum menjadi abdi utama rakyat. Berurusan dengan polisi dianggap menambah masalah baru. Kesan kuat di masyarakat, bahwa polisi gampang disuap. Uang kerap kali menjadi kata kunci dalam penyelesaian berbagai hal. Yang paling aktual dan mengerikan, adalah jika polri tidak bertekad mencegah dan memberantas secara tuntas illegal logging di Papua dan Kalimantan. Belum lagi penebangan liar yang sama sekali belum tersentuh tindakan hukum di Taman Nasional Gunung Leuser (Aceh Tenggara).
Demokratisasi membuka borok korupsi di tubuh bangsa ini, bagai sumur tanpa dasar. Jasa terhadap negara seolah memberi hak menerima miliaran rupiah di tengah banyak rakyat busung lapar, bunuh diri akibat gagal bayar SPP, dan puluhan gedung sekolah hampir roboh. Moral dan kepatutan berbangsa mungkin sudah mati.
Jajaran pimpinan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan membantah bahwa partai dan ketua umumnya pernah menikmati Dana Abadi Umat untuk kampanye dan pergi haji. Menurut Wakil Ketua Badan Hukum dan Advokasi PDI-P, Gayus Lumbuun, hal tersebut dibuktikan melalui independensi dana kampanye yang dilakukan pascapemilu lalu.
Tim Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Jumat (1/7), memeriksa mantan Wakil Ketua Badan Pemeriksa Keuangan Bambang Triaji dan mantan Kepala Bagian Penyusunan Anggaran 2 Komisi Pemilihan Umum A Suparta. Mereka diperiksa karena diduga menerima 33.791 dollar AS.
Wakil Presiden Jusuf Kalla, Jumat (1/7) di Jakarta, menegaskan bahwa sulit untuk bisa mendapatkan laporan keuangan yang bagus berikut bukti-buktinya mengenai penerimaan dan penyaluran dana untuk korban tsunami selama tiga bulan masa tanggap darurat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.