Pungutan di Sekolah, Siapa Peduli?

Ingar-bingar proyek ujian nasional dan pengumuman kelulusan akan sirna tersapu angin. Segera mencuat jeritan orangtua siswa yang terimpit aneka pungutan sekolah yang mencekik.

Biaya daftar ulang, buku pelajaran, seragam, wisata, majalah sekolah, ekstrakurikuler, atau asuransi, semuanya harus dibayar pada awal tahun, bahkan sebelum tahun ajaran baru dimulai.

Jika situasi demikian selalu berulang setiap tahun, siapa yang dapat memutus rantai pungutan di sekolah? Presiden?

Buku pelajaran
Kebijakan masa pakai buku pelajaran selama lima tahun tidak berjalan, berhenti sebatas wacana. Pada tahun ajaran baru 2005/2006, orangtua murid tetap terbebani ongkos pengadaan buku pelajaran (Kompas, 9/7). Bisakah komite sekolah atau BP3, yang sering menjadi bumper sekolah, menghentikannya? Dalihnya, telah disetujui komite.

Satu-satunya instansi yang dapat menghentikan pungutan berulang adalah kepala sekolah dan guru. Berbagai macam pungutan yang tertera pada surat edaran kepada orangtua murid pasti ditandatangani kepala sekolah.

Jika demikian, tidak bisakah kepala sekolah menentukan mana yang penting-tidak penting, mana yang mendesak-tidak mendesak, mana yang mendasar atau aksesori. Dengan melihat ekonomi orangtua, perlukah diselenggarakan wisata? Untuk membiayainya pun setiap orangtua harus jumpalitan. Perlukah siswa membeli seragam baru jika yang lama masih layak pakai?

Dalam era otonomi, setiap kepala sekolah dimungkinkan menentukan kebijakan sesuai dengan konteks setiap lembaga. Di sinilah keberpihakan kepala sekolah dalam mengelola sekolah diuji. Betapa naif kepala sekolah jika setiap kebijakan yang ditandatangani hanya berdasarkan alasan ”sudah menjadi kebiasaan”. Padahal, itu merupakan kebiasaan tidak baik, sebagai ”proyek” dengan biro perjalanan wisata, toko pemasok bahan seragam, penerbit buku, atau petugas asuransi.

Sungguh mulia jika kepala sekolah, karena alasan ekonomi masyarakat, berani memutuskan tahun ini tidak ada wisata, tidak perlu membeli seragam baru, tidak perlu membeli buku pelajaran lewat sekolah, tidak wajib ikut asuransi, dan lainnya.

Buku pelajaran
Terkait dengan buku pelajaran yang selalu berganti setiap tahun dan berdampak beban berantai, hanya guru yang bisa menghentikan. Betapa gagahnya guru yang berani memutuskan untuk tidak memakai buku pelajaran dari penerbit mana pun. Memakai atau tidak memakai buku pelajaran, dengan atau tanpa penerbit, mendapat rabat atau tidak adalah pilihan guru. Kurikulum atau garis besar program pengajaran tidak merekomendasikan buku pelajaran. Di sana hanya ada garis besar materi pelajaran dan rambu-rambu pembelajarannya.

Pengalaman saya mengajar selama lima belas tahun, belum pernah mengharuskan siswa membeli buku pelajaran, baik sendiri maupun kolektif, dari penerbit besar atau kecil. Bagikan saja buku paket pemerintah sebagai pegangan. Hanya guru yang tahu materi untuk meningkatkan kecerdasan siswa. Hanya guru yang tahu materi yang dibutuhkan siswa, tanpa harus menyimpang dari kurikulum.

Bahan untuk sastra dan bahasa bisa diambil dari koran, media elektronik, dan perpustakaan. Buku-buku utama sebagai sumber pembelajaran harus saya sarikan ulang untuk kepentingan kelas. Semua itu dilakukan agar sebagai guru tidak diperbudak buku pelajaran dan tidak membebani keuangan siswa. Jika demikian, ada tuntutan agar dana pemerintah dialokasikan untuk mengisi perpustakaan sekolah.

Satu-satunya risiko yang harus ditanggung kepala sekolah dan guru yang berani melakukan perubahan adalah kehilangan

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan