Hakim Tertangkap Lagi, Pengadilan Darurat Korupsi

Jumat, 6 Oktober 2017 lalu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap seorang Hakim (Ketua Pengadilan Tinggi Manado, Sudiwardono) dan seorang Anggota Komisi XI DPR RI (Aditya Anugerah Moha) karena diduga melakukan transaksi suap-menyuap. Transaksi suap menyuap yang dilakukan oleh keduanya dilakukan untuk mempengaruhi hakim agar tidak melakukan penahanan terhadap terdakwa dalam perkara korupsi yang melibatkan Bupati Bolaang Mongondow, serta mempengaruhi putusan banding atas kasus korupsi tunjangan pendapatan aparat pemerintah desa (TPAPD) Kab. Bolaang Mongondow.

Tertangkap Tangan, Percobaan, Penjebakan, dan Analogi

HARI ini pada 9 Oktober 2017 menerbitkan artikel Prof Romli Atmasamita dengan judul “Apakah OTT KPK Legal atau Ilegal“ sebagai tanggapan atas artikel saya sehari sebelumnya dengan judul “Legalitas OTT KPK“. Tulisan berikut ini membahas empat isu yang diperdebatkan antara Prof Romli dan saya. 

Tren Praperadilan Baru

Tercatat sejak praperadilan yang diajukan Komjen Budi Gunawan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dugaan tindak pidana gratifikasi dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, kini praperadilan menjadi tren baru bagi tersangka dalam suatu perkara pidana untuk menghindar dari proses hukum pidana, yang pada hakikatnya bertujuan mencari kebenaran yang sesungguhnya, kebenaran materiil.

Tentara, Modal, dan Politik

Banyak pengamat melihat Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo sudah mulai berkampanye. Secara khusus Gatot dinilai sedang memobilisasi dukungan dari partai dan organisasi Islam. Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia dan mobilisasi nonton bareng film G30S/PKI adalah salah satu strategi yang disebut-sebut dipakai untuk menggalang dukungan guna mendongkrak popularitas dan elektabilitas. Banyak pihak pun memintanya mundur dari jabatan Panglima TNI.

Dosa Ganda Korupsi KTP-el

Paradigma yang menempatkan hakim sebagai corong undang-undang sudah ketinggalan zaman. Kecuali, jika pandangan tersebut dijadikan cara untuk “mencari selamat” dalam artian luas ketika hakim mengadili suatu perkara; dan tidak memedulikan dampak putusan “hukum buta” (black letter of law) yang mengoyak rasa keadilan masyarakat.

Dana Milik Desa

Korupsi telah menghukum desa. Legitimasi tata kelola pemerintahan runtuh sehingga dana desa tahun depan dipotong separuh. Sayang, sanksi finansial itu meleset dari aturan ataupun kemanfaatan.

Mahkamah Agung Harus Periksa Hakim Cepi

Hakim Cepi Iskandar, pada Jumat 29 Oktober 2017 lalu menjatuhkan putusan yang mengabulkan permohonan Praperadilan yang diajukan oleh Setya Novanto, Ketua DPR yang (pernah) ditetapkan tersangka korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Akibat putusan ini, Setya Novanto tidak lagi menyandang status tersangka korupsi dalam skandal proyek E KTP yang diduga merugikan keuangan Negara lebih dari Rp 2,3 triliun rupiah.

Dugaan Penyimpangan Dalam Proses Pemeriksaan dan Putusan Praperadilan

Matinya Nurani Lembaga Yudikatif
Lagi, untuk yang kesekian kali Hakim ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi karena melakukan korupsi. Setelah beberapa waktu lalu Komisi Pemberantasan Korupsi melakukan Operasi Tangkap Tangan terhadap seorang Panitera di Pengadilan Jakarta Selatan, kini KPK melakukan OTT terhadap hakim tipikor di Bengkulu. Tertangkapnya hakim tipikor menambah panjang daftar hakim tipikor yang terjerat perkara korupsi.  
 
Ditangkapnya hakim karena melakukan korupsi mengindikasikan bahwa lembaga pengadilan sangat rentan melakukan praktik korupsi.
Keberadaan Pansus Hak Angket Cacat Hukum, MK Sebaiknya Mengeluarkan Putusan Provisi

Selasa, 5 September 2017, Mahkamah Konstitusi akan kembali menggelar pengujian UU MD3 dengan obyek pelaksanaan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Agenda persidangan selanjutnya tersebut akan mendengar keterangan ahli dan saksi yang diajukan pemohon. Adapun saksi dan ahli yang diajukan pemohon adalah Bambang Widjodjanto (Komisioner KPK 2011-2015) dan Bivitri Susanti (STHI Jentera)

Tabrak Aturan, Perpanjangan Masa Kerja Pansus Illegal
Selalu melabrak aturan. Agaknya itulah kalimat yang tepat untuk menggambarkan aksi pansus DPR terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi. Kejadian persetujuan Pansus Angket KPK 28 April 2017 lalu terulang kembali pada hari ini, Selasa 26 September 2017.  Publik masih merekam ingatan aksi pimpinan DPR, Fahri Hamzah mengetuk palu persetujuan hak angket dan tidak mengindahkan interupsi sejumlah anggota DPR.
Subscribe to Subscribe to