Wacana pembentukan Densus Antikorupsi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) menimbulkan polemik. Berbagai kalangan mulai dari pegiat antikorupsi, organisasi kemasyarakatan, akademisi hingga Wakil Presiden Jusuf Kalla ramai-ramai menyatakan penolakan.
Di tengah pelbagai serangan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan politikus belakangan ini, ada ide baru untuk mendorong pembentukan Detasemen Khusus Anti-Korupsi. Ide ini mengemuka dengan dukungan kuat dari politikus Senayan berupa janji fasilitas, penguatan, dan dana yang lumayan besar.
Tertangkapnya Ketua Pengadilan Tinggi (PT) Sulawesi Utara, Sudi Wardono oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperpanjang daftar hakim yang tersandung perkara korupsi. Catatan kelam ini juga menunjukan bahwa upaya untuk membersihkan mafia peradilan masih panjang. Padahal, Mahkamah Agung (MA) sedang berupaya mati-matian untuk membangun kepercayaan publik selama beberapa tahun terakhir.
Dalam beberapa bulan terakhir banyak hakim dan aparat pengadilan tertangkap tangan menerima suap. Beberapa hari lalu, Ketua Pengadilan Tinggi Sulawesi Utara juga terkena operasi tangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi di Jakarta.
Lalu tudingan bermunculan mengarah ke Mahkamah Agung. Institusi ini, sebagai induk semua aparat pengadilan, dianggap bertanggung jawab terhadap semua itu. Ada yang menganggap Mahkamah Agung telah gagal menjaga marwah peradilan, bahkan ada yang mendesak agar Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali mundur.
Opentender.net, Instrumen Peningkatan Kontrol Publik Berbasis Teknologi
Secara umum diyakini bahwa untuk mengurangi korupsi, sebuah negara perlu mengadopsi penggunaan teknologi informasi dalam mengelola dan menyediakan layanan publiknya kepada masyarakat. Kini, pendekatan untuk meningkatkan kualitas tata kelola pemerintahan yang baik berbasis teknologi informasi di berbagai belahan dunia telah begitu populer. Pesatnya pertumbuhan industri teknologi informasi turut memberikan sumbangsih bagi perkembangan penerapan IT pada sektor publik.
Antikorupsi.org, Jakarta, 13 Oktober 2017 -- 11 Oktober 2017 lalu adalah tepat enam bulan pasca insiden penyiraman air keras terhadap salah satu penyidik KPK, Novel Baswedan, Selama kurun waktu itu pula, kasus yang ditangani Kepolisian ini tidak mendapat titik terang sama sekali. Seiring dengan terangnya mata Novel Baswedan dalam melihat, malah semakin gelap penanganan kasusnya.
Terhitung sudah empat belas hari sejak (29/9) Hakim Tunggal Cepi Iskandar mengabulkan gugatan praperadilan Setya Novanto (SN). Status tersangka SN dalam kasus dugaan korupsi e-KTP yang merugikan negara Rp 2,3 triliun telah gugur pasca putusan praperadilan tersebut dibacakan. Kendati demikian, hal tersebut tidak berarti menggugurkan adanya dugaan tindak pidana korupsi yang diduga melibatkan sang ketua DPR tersebut.
Beberapa kasus korupsi yang terungkap dalam dua tahun belakangan ini, seperti kasus kartu tanda penduduk elektronik dan "Papa Minta Saham", memunculkan drama baru dalam menindak koruptor. Kasus yang menimpa mereka telah menciptakan tameng baru untuk menghadang jeratan hukum yang seharusnya mereka terima. Sebab, pengadilan memberikan putusan yang seakan-akan memperkuat posisi koruptor.
Majalah Tempo mencatat perolehan medali Indonesia dalam SEA Games 2017 adalah yang terburuk dalam sejarah. Tentu ada banyak faktor mengapa itu terjadi, tapi satu hal penting adalah buruknya persiapan Indonesia. Belakangan terungkap bahwa sejumlah cabang olahraga dan atlet belum mendapatkan fasilitas mereka. Bahkan, sampai SEA Games berakhir, peraih emas tolak peluru putri, Eki Febri Ekawati, belum mendapat uang makan dan penginapan. Sebenarnya ini bukan masalah baru. Tapi sungguh aneh persoalan ini muncul ketika regulasi soal pengadaan barang dan jasa pemerintah sudah direformasi.