Politik uang merupakan salah satu praktik busuk yang dikhawatirkan banyak pihak dapat mengancam pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah (pilkada) bulan Juni. Begitu berbahayanya praktik politik uang tersebut tentu saja akan sangat berpengaruh terhadap kemurnian dari proses pelaksanaan pilkada. Lalu benarkah praktik politik uang akan mewarnai perjalanan pesta pilkada nanti? Mengingat isu-isu tentang praktik politik uang dalam setiap pesta politik di negeri ini selalu saja hampir terjadi, seperti misalnya pada pesta pemilu. Pertanyaan di atas patut dicermati, jika tidak akan dapat mengancam proses demokrasi yang sedang berlangsung.
Komitmen Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK dalam menanggulangi korupsi harus mendapat dukungan penuh dari bangsa dan negara, termasuk terhadap dugaan korupsi dan suap oleh Komisi Pemilihan Umum. Apa yang dialami oleh seorang bernama Mulyana W Kusumah adalah sesuatu yang tragis. Namun, apakah ia bukan korban konspirasi?
Kasus penangkapan anggota KPU Mulyana W. Kusuma oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena diduga menyuap petugas auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengejutkan setiap orang yang mengenal sosok Mulyana W. Kusuma.
Salah satu kasus yang menyita perhatian publik Indonesia pada awal bulan April ini adalah kasus Mulyana W Kusumah, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diduga melakukan tindakan usaha penyuapan terhadap auditor Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Ketika Komisi Pemberantasan Korupsi menangkap salah seorang anggota Komisi Pemilihan Umum Mulyana Wira Kusumah pada 8 April lalu. Banyak kalangan berkeyakinan bahwa kasus korupsi yang terjadi di lembaga penyelenggara pemilihan umum itu akan segera tersingkap.
Para ekonom yang tergabung dalam Tim Indonesia Bangkit kembali melancarkan gugatan tajam terhadap kinerja pemerintahan. Pesannya singkat, pemerintah makin tidak peka terhadap penderitaan rakyat miskin. Ilustrasinya pemerintah telah menjadi 'monster' yang mengisap lebih banyak uang dari rakyat.
Diskursus publik seputar penahanan anggota KPU Mulyana W Kusumah karena dituduh menyuap pegawai negeri, apalagi untuk menutupi tuduhan terjadinya kerugian uang negara di lembaga penyelenggara pemilu 2004, sebaiknya dibiarkan berkembang seperti apa adanya. Konsekuensinya, semua pihak, baik yang dirugikan, yang diuntungkan, maupun yang tidak merasa mendapat manfaat apa-apa dari kasus tersebut, seyogianya tidak melakukan rekayasa apapun yang bisa mengurangi objektivitas di balik fakta itu sendiri.
Sebuah pernyataan yang tendensius seolah-olah menuduh, karena sebenarnya dalam peristiwa kejahatan, peran kita bisa sebagai pelaku, bisa sebagai korban, dan bisa sebagai kedua-duanya sekaligus. Bahkan bisa sebagai penonton langsung ketika kejahatan itu tengah terjadi, atau sebagai penonton tak langsung melalui berita-berita di koran, majalah, atau televisi,yang setiap hari mempertontonkan kejahatan siap saji secara amat gamblang tanpa tedeng aling-aling.
Kasus tuduhan korupsi yang menimpa Mulyana W. Kusumah, masalah siapa menjebak siapa, secara moral tidak mesti diperbincangkan. Karena, kalaupun dari ketiga yang menjebak Mulyana, pertanyaan dasarnya, kenapa dia membawa dan menyerahkan uang sebesar itu? Adakah indikasi niat atau upaya penunaian jebakan tersebut? Andaikan ada, maka potensi korup memang ada dalam setiap orang, tidak terkecuali pejabat KPU. Penyuap dan tersuap, adalah elemen penentuan terjadi praktik penyuapan. Oleh karena itu, apa pun simpulan penyelidikannya, maka penulis pandang bahwa sebagai pejabat publik (KPU), Mulyana W. Kusumah, harus mengundurkan diri dari jabatannya di KPU.
Salah satu tuntutan masyarakat dalam pemilu lalu adalah presiden terpilih harus mampu menegakkan supremasi hukum dan memberantas korupsi. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membawa label perubahan dan selalu berjanji akan memberantas korupsi, akhirnya terpilih sebagai presiden.