Babak Baru Skandal Korupsi KPU

Kasus korupsi yang terjadi di Komisi Pemilihan Umum (KPU) memasuki babak baru. Perkembangan itu ditandai dengan mencuatnya informasi terbaru yang menyebutkan bahwa dana taktis KPU yang diperoleh dari rekanan selain dibagi kepada kalangan internal juga dibagikan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Departemen Keuangan, hal ini membuka lembaran baru kasus korupsi yang terjadi di KPU.

Ibarat cerita berseri, pengungkapan skandal korupsi di KPU dimulai dari adegan penangkapan Mulyana W Kusumah (8/4) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Peristiwa itu terjadi ketika Mulyana berupaya menyuap salah seorang auditor BPK yang sedang melakukan audit investigatif penggunaan anggaran KPU. Untuk mengungkap skenario yang ada di belakang penyuapan itu, KPK menggeledah kantor KPU.

Berpegang pada postulat bahwa tindak pidana korupsi hampir selalu melibatkan banyak aktor (baik perorangan maupun lembaga), kasus korupsi KPU memasuki babak selanjutnya. Untuk menindaklanjuti hasil penggeledahan di atas, KPK memeriksa sebagian besar figur kunci di KPU yang dianggap mengetahui aliran dana selama proses penyelenggaraan Pemilihan Umum 2004. Tidak hanya orang-orang KPU, KPK juga meminta keterangan dari sejumlah rekanan KPU. Klimaks episode ini, KPK menahan beberapa orang figur kunci di sekretariat KPU.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ada banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengungkapkan sebuah tindak pidana. Misalnya, sesuai dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) KUHAP bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang melakukan penahanan. Pasal 1 angka 3 KUHAP menegaskan penyidikan dimaksudkan untuk mencari serta mengumpulkan bukti sehingga dengan bukti tersebut membuat terang tindak pidana yang terjadi. Di samping itu, pengumpulan bukti-bukti tidak hanya dimaksudkan memperjelas tindak pidana yang terjadi tetapi juga guna menemukan pelaku tindak pidana. Bahkan, penahanan juga dapat dilakukan kalau ada kemungkinan tersangka akan menghilangkan atau merusak barang bukti.

Barangkali, dengan alasan itu pula KPK menahan Mulyana dan beberapa orang figur kunci di sekretariat KPU. Sampai sejauh ini, langkah penahanan mulai berhasil mengungkapkan fakta baru: setiap anggota KPU menerima dana taktis senilai US$105 ribu (atau hampir Rp1 miliar). Proses penyerahannya dilakukan empat tahap secara tunai usai pemilu presiden tahap kedua. Tidak hanya itu, bagi-bagi uang panas juga untuk para pejabat BPK, DPR, dan Departemen Keuangan. Sekali lagi, kalau itu benar, menurut Editorial Media Indonesia (9/5), misalnya DPR kemungkinan kepentingannya agar permintaan tambahan anggaran KPU disetujui lembaga wakil rakyat itu. Sedangkan untuk anggota BPK, apa lagi kalau bukan agar auditnya licin.

Sebagai sebuah babak baru, skandal korupsi KPU pasti akan lebih menarik dan menegangkan. Kalau pada babak sebelumnya KPK berhadapan dengan KPU, maka pada episode sekarang muncul pihak lain dengan otoritas politik yang amat besar yaitu DPR. Otoritas politik itu muncul karena hampir semua pengisian lembaga-lembaga negara melalui proses politik di DPR. Dalam kasus korupsi KPU ini, semua lembaga yang menjadi aktor penting (KPU, KPK, dan BPK) diseleksi oleh DPR.

Dengan disebut-sebutnya DPR dalam kasus korupsi KPU, dapat menjadi pisau bermata dua. Pada salah satu sisi, anggota lembaga perwakilan rakyat ini dihadapkan kepada tantangan untuk membuktikan kepada publik bahwa mereka tidak menerima uang sebagaimana yang diberitakan. Sementara di sisi lain, dengan posisi politik yang dimiliki DPR, bukan tidak mungkin ada skenario mengambangkan kasus korupi yang terjadi di KPU. Gejala ke arah ini sudah mulai terlihat dengan adanya perbedaan pandangan antara beberapa kalangan di DPR dalam merespons hasil audit investigatif BPK atas penggunaan anggaran KPU.

Satu-satunya cara untuk membersihkan DPR dari berita miring itu, semua anggota lembaga perwakilan rakyat harus mendorong KPK membongkar skandal korupsi KPU sampai tuntas. Terkait dengan hal itu, menarik menyimak pendapat Wakil Ketua DPR Zaenal Ma'arif dan Ketua Komisi III DPR Teras Narang yang meminta Kepala Biro Keuangan KPU Hamdani Amien menyebut nama anggota DPR yang menerima dana taktis dari KPU. Penyebutan itu menjadi penting agar tidak menjadi fitnah bagi anggota DPR yang tidak mengetahui soal itu (Media Indonesia, 9/5).

Untuk memperjelas posisi DPR, anggota DPR harus menggunakan otoritas lembaga mereka untuk membongkar dan memberantas praktik korupsi. Dalam kasus KPU, anggota DPR wajib menindaklanjuti aspirasi masyarakat yang menghendaki kasus tersebut dibongkar secara tuntas. Kewajiban itu muncul karena Pasal 29 huruf f Undang-Undang No 22/2003 tentang Susunan dan Kedudukan Lembaga Perwakilan Rakyat mengamanatkan anggota DPR untuk menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat. Ketentuan ini merupakan sebuah keniscayaan untuk menyahuti aspirasi publik dalam memberantas korupsi.

Dengan posisi politik yang dimiliki DPR, wakil rakyat punya kesempatan besar guna mendorong percepatan pengungkapan kasus korupsi KPU. Misalnya, memberikan tekanan politik kepada KPU agar mereka tidak mempersulit proses penyidikan yang dilakukan KPK. Yang harus dihindari, pertemuan antara KPU dan DPR tidak cukup hanya dijadikan sebagai forum klarifikasi untuk sekadar membersihkan nama DPR. Tidak cukup sampai di situ, DPR harus memanggil BPK untuk mengklarifikasi berita-berita miring yang mengaitkan lembaga tersebut dengan aliran uang panas dari KPU. Setelah itu, DPR mengeluarkan pernyataan terbuka: mendukung semua langkah yang dilakukan KPK dalam membongkar kasus korupsi KPU.

Kalau hal itu dilakukan, anggota DPR akan mampu memberikan keyakinan kepada masyarakat bahwa mereka dapat dipercaya untuk mendorong percepatan pemberantasan korupsi. Untuk menumbuhkan kepercayaan itu, proses politik di DPR jangan sampai mendorong munculnya democratic corruption untuk kepentingan politik jangka pendek. Ini menjadi titik penting untuk meletakkan penilaian dan menarik perbedaan komitmen dalam upaya pemberantasan korupsi antara wakil rakyat hasil Pemilihan Umum 2004 dengan wakil rakyat pada periode-periode sebelumnya.

Sebagai sebuah proses hukum, babak baru pengungkapan skandal korupsi KPU harus diikuti dengan langkah yang lebih progresif. Kalau selama ini penyidikan lebih difokuskan kepada jajaran sekretariat, kini sudah waktunya menyelidiki semua anggota KPU secara intensif. Jika perlu, bagi anggota KPU yang sudah terindikasi kuat melakukan korupsi, KPK harus melakukan penahanan. Melihat perkembangan kasus ini, penahanan menjadi pilihan yang masuk akal terutama guna mencegah adanya komitmen antarlembaga untuk membawa skandal korupsi KPU ke jalur lambat.

Yang harus diingat, sekalipun kasus korupsi KPU ibarat cerita berseri, perkembangan episodenya tidak boleh mengaburkan fokus cerita yang sebenarnya. Apalagi menutup cerita di tengah jalan. Kalau itu terjadi, kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada agenda pemberantasan korupsi.(Saldi Isra, pengajar Universitas Andalas, Padang)

Tulisan ini diambil dari Media Indonesia, 10 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan