Memburu Koruptor

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2 Mei lalu mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005 tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ada dua tugas utama yang diemban tim yang diketuai Hendarman Supandji, Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejaksaan Agung RI itu. Pertama, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sesuai dengan ketentuan hukum acara yang berlaku terhadap kasus atau indikasi tindak pidana korupsi.

Kedua, mencari dan menangkap pelaku yang diduga keras melakukan tindak pidana serta menelusuri asetnya untuk pengembalian keuangan secara optimal. Masa tugas tim yang terdiri dari unsur kepolisian, kejaksaan, serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) adalah dua tahun dan dapat diperpanjang.

Pembentukan tim ini paling tidak merupakan realisasi dari janji Presiden untuk mencari koruptor yang kabur hingga ke luar negeri. Janji yang diucapkan saat membuka Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional 2005 di Jakarta, Rabu (13/4), dilatari kesedihan Yudhoyono melihat kasus-kasus korupsi bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang sampai saat ini belum tuntas, tapi para koruptornya masih mampu berbisnis di luar negeri. Dalam janjinya Presiden akan mencari para koruptor yang sudah divonis pengadilan tetapi kabur, serta para koruptor yang sudah lama dicari Kepolisian RI.

Dalam hal perburuan koruptor, selain tim bentukan Presiden itu, sudah juga dibentuk Tim Pemburu Koruptor pada awal 2005 yang diketuai Wakil Jaksa Agung Basrief Arief dan di bawah koordinasi Wakil Presiden Jusuf Kalla. Meskipun hasilnya saat ini belum terlihat, tim pimpinan Basrief kabarnya sudah menurunkan tim pemburu ke lima negara, yaitu Singapura, Amerika Serikat, Hong Kong, Cina, dan Australia, untuk melacak tujuh terpidana dan 12 tersangka kasus korupsi. Tim itu juga telah mengidentifikasi jumlah aset yang parkir di luar negeri Rp 6-7 triliun.

Indonesia bukanlah negara pertama yang mengeluarkan kebijakan memburu koruptor. Cina dan Peru jauh sebelumnya sudah melakukannya. Surat kabar Legal Daily dalam tajuknya, sebagaimana dikutip AFP akhir 2004, menulis ada sekitar 4.000 pejabat Cina yang korup melarikan diri ke luar negeri.

Mereka membawa serta hasil jarahannya yang mencapai US$ 50 miliar (sekitar Rp 450 triliun). Tujuan favorit koruptor itu adalah Amerika Serikat, Australia, dan Selandia Baru. Adapun kantor berita Cina Xinhua belum lama ini melaporkan, sejak 1989 Cina hanya bisa membawa kembali 71 pejabat tersangka kasus korupsi.

Begitu pula dengan Peru yang pada 2003 telah mulai berburu koruptor, khususnya memburu Alberto Fujimori, mantan Presiden Peru keturunan Jepang yang diduga melakukan sejumlah kasus korupsi selama menjabat. Tapi Peru gagal memaksa Jepang menyerahkan Fujimori yang telah berganti kewarganegaraan Jepang untuk diadili di pengadilan Peru. Dalam hal perburuan koruptor, Cina dan Peru memiliki kendala yang sama, yaitu tidak adanya perjanjian ekstradisi dengan negara tempat koruptor berlindung.

Secara umum perburuan terhadap koruptor dapat dilakukan dengan cara biasa dan atau cara luar biasa. Perburuan cara biasa adalah perburuan dengan cara santun, yang sebelumnya dilakukan kerja sama ekstradisi antara dua negara atau meminta bantuan Interpol di negara tempat koruptor bersembunyi.

Namun, proses ini akan butuh waktu lama untuk mencapai kesepakatan dan sering kali gagal dalam pelaksanaannya. Hal ini terbukti sejak era Megawati, perjanjian ekstradisi dengan Singapura belum menuaikan hasil yang menggembirakan hingga saat ini.

Dengan berpedoman bahwa korupsi harus dilawan dengan cara-cara luar biasa, alternatif lain perburuan koruptor adalah dengan cara-cara yang luar biasa pula. Pembentukan tim pemburu koruptor tidak sebatas melibatkan kepolisian, kejaksaan, dan BPKP, tapi perlu pula melibatkan pihak intelijen di dalamnya.

Tim yang dibentuk nantinya tidak saja melakukan upaya-upaya diplomasi atau kerja sama bilateral, tapi dalam kondisi tertentu dapat melakukan upaya-upaya intelijen dengan mengambil paksa atau menculik dan membawa pelaku korupsi ke Indonesia secara ilegal.

Cara kedua ini pada dasarnya berisiko tinggi, tapi dari segi waktu, cara ini lebih cepat dibanding cara pertama. Hal ini pernah dilakukan oleh agen rahasia Israel Mossad ketika menculik seorang anggota Nazi Jerman pelaku pembantaian warga Yahudi yang melarikan diri ke Argentina untuk selanjutnya disidang di Israel.

Ada beberapa langkah yang harus ditempuh dalam mendukung tim pemburu koruptor ini. Pertama, perburuan juga harus dilakukan terhadap aset para koruptor yang kabur ke luar negeri. Sejumlah aset koruptor, khususnya pelaku korupsi BLBI, masih banyak yang berada di Indonesia. Aset tersebut seharusnya disita dan dilelang untuk kepentingan negara.

Namun, proses lelang tersebut penting untuk diawasi, mengingat sering kali banyak penyimpangan dan kolusi. Seperti proses lelang gula ilegal dengan tersangka Waris Halid yang dilakukan kejaksaan dan lelang aset milik terpidana korupsi Hendra Raharja senilai Rp 66 miliar yang dinilai sangat bermasalah.

Kedua, perburuan juga harus dilakukan terhadap pihak-pihak yang membantu koruptor melarikan diri. Hal ini bisa kita lihat dari kaburnya Sudjiono Timan, terpidana perkara korupsi PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia senilai US$ 126 juta yang kabur karena diduga dibantu sejumlah perwira kepolisian, tapi hasil pemeriksaan terhadap perwira polisi tersebut tidak jelas hingga saat ini.

Singkat kata, perlu dilakukan upaya pembersihan aparat korup di masing-masing institusi penegak hukum sebelum melakukan pembersihan korupsi di tempat lain. Kasus suap yang dilakukan Adrian Waworuntu kepada sejumlah perwira kepolisian saat penanganan kasus pembobolan BNI 46 setidaknya jadi pelajaran bagi aparat penegak hukum ataupun tim pemburu koruptor untuk tidak mengulangi kejadian yang sama.

Ketiga, perlu dibuat suatu kebijakan khusus sehingga presiden melalui kejaksaan atau kepolisian dapat melakukan penahanan terhadap pihak-pihak yang diduga korupsi, walaupun masih dalam proses penyelidikan dengan status tersangka. Pengalaman menunjukkan, banyak pelaku korupsi yang kabur saat proses hukumnya masih berjalan dan belum berkekuatan hukum tetap.

Keempat, perlu ada pembagian tugas dan kewenangan yang jelas antara tim bentukan presiden dan timnya Wakil Jaksa Agung yang sama-sama memburu koruptor. Adanya pembagian tugas ini sangat penting untuk menghindari kerja tumpang-tindih kedua tim yang pada akhirnya justru menghambat proses perburuan.

Kelima, suatu hal yang perlu mendapat perhatian lebih dan sewaktu-waktu dapat menjadi potensi masalah nantinya adalah kewenangan kedua tim pemburu koruptor ini, khususnya dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan. Ini menjadi masalah karena berdasarkan KUHAP, yang berwenang dalam penyelidikan dan penyidikan hanya institusi kejaksaan dan kepolisian. Untuk itu, perlu dipikirkan agar proses penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan kedua tim itu nantinya tidak dimentahkan oleh hakim pengadilan melalui putusan praperadilan yang diajukan para pengacara koruptor.

Keenam, perlu ada kesepahaman antara pemerintah dan Mahkamah Agung (MA) dalam menghindari upaya pihak tertentu untuk mengajukan pembatalan keputusan presiden yang baru keluar itu. Kesepahaman ini menjadi penting agar MA memberi dukungan terhadap upaya pemberantasan korupsi sehingga tim bentukan Presiden itu tidak bernasib sama dengan Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19/2000 yang akhirnya dibubarkan melalui putusan uji material oleh MA.

Di luar langkah pendukung di atas, usulan lain yang tak kalah menarik adalah menjatuhkan pidana mati bagi pelaku korupsi yang terbukti bersalah dan telah melarikan diri. Jika membandingkan dengan Cina, hingga pertengahan 2004 sudah ada 4.000 koruptor yang dihukum mati, Indonesia sejak merdeka hingga saat ini belum ada satu pun koruptor yang dihukum mati.

Namun, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh sudah menyatakan bahwa jenis pidana ini hanya dapat diterapkan ketika negara dalam keadaan darurat dan krisis moneter. Penulis sendiri tidak mengerti, apakah Jaksa Agung melihat kondisi negara yang carut-marut akibat praktek korupsi ini tidak dapat dikategorikan sebagai keadaan darurat?

Sekarang yang ditunggu-tunggu jutaan orang di Indonesia adalah langkah konkret pemberantasan korupsi, bukan sekadar kebijakan atau wacana tanpa arah.(Emerson Yuntho, Anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch)

Tulisan ini diambil dari Koran Tempo, 10 Mei 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan