KAMPANYE calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) selama sebulan penuh adalah kesempatan lagi mengangkat pemberantasam korupsi sebagai tema kampanye. Sebagai salah satu bagian dari program para capres-cawapres bila terpilih nanti, pemberantasan korupsi (termasuk dalam KKN) merupakan tema yang lebih mudah diucapkan ketimbang dilakukan.
Banyak sekali yang bisa dikorup di negeri ini. Termasuk juga pembangunan pos kampling yang dimaksudkan untuk menjaga keamanan. Di Riau, pembangunan poskampling makan dana Rp 7,5 miliar dan diduga penuh penyimpangan.
Staf pengajar Fisipol UGM AAGN Ari Dwipayana MSi mengatakan, selain mitos Ratu Adil, Non Govermen Organization (NGO) juga seharusnya membebaskan diri dari parangkap ambiguitas yang membelenggu dirinya. Ambiguitas pertama, antara demokrasi dan feodalisme. Di satu pihak NGO berbicara tentang demokrasi, terutama pada negara, di sisi lain secara internal membangun feodalisme.
SEPANJANG tahun 2002, setidaknya ada dua persoalan besar yang mendera Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau organisasi nonpemerintah (ornop) yang dibidani advokat senior Dr Adnan Buyung Nasution itu terterpa badai yang pertama karena Undang-Undang (UU) Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan berlaku pada Agustus tahun lalu. Dengan berlakunya UU Yayasan tersebut, YLBHI menjadi tidak leluasa lagi, termasuk dalam menerima dana dari negara, perseorangan, maupun organisasi lain.
TUDUHAN bahwa lembaga swadaya masyarakat (LSM) kehilangan visi ditolak. Yang terjadi saat ini adalah suasana lelah. LSM-LSM lelah berjuang sejak tahun 1970-an. Aktivis dan pengasuhnya sudah silih berganti sampai muncul kategorisasi generatif dan keberagaman LSM. Sampai tahun 2002, tidak termasuk yang tidak tercatat di Departemen Dalam Negeri (Depdagri), ada 13.500 LSM. Mereka beragam dalam misi, komitmen, kerumitan, dan bentuk kegiatan. Dari jumlah itu hampir 90 persen mengandalkan dana asing. Jadi, keliru besar menggeneralisasi LSM kehilangan visi, melainkan yang terjadi adalah rasa lelah.
DI Puncak, Jawa Barat, pada 31 Oktober sampai 1 November 2002 Harian Umum Kompas menyelenggarakan temu aktivis lembaga swadaya masyarakaat (LSM) dari berbagai kota di Jawa. Pertemuan bertopik Menggugat Eksistensi dan Peran LSM itu menghadirkan narasumber Nursyahbani Katjasungkana, Entjeng Sobirin Nadj, Binny Buchori, George Dominggo Rinels Hormat, dan Moeslim Abdurrachman. Pertemuan dimoderatori Agus Sudibyo, Zuhairi Misrawi, dan Ikhsan Malik. Berikut ini empat catatan atas pertemuan tersebut, yang masing-masing dimuat di halaman ini, 28, 29, dan 30. [di website ini ditempatkan di kanal artikel]
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai mengumpulkan data laporan keuangan Perusahaan Umum Radio Republik Indonesia 2003, terkait adanya dugaan pengelembungan dana (mark up) pembelian peralatan total senilai Rp 45,61 miliar.
Kejaksaan Tinggi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Aceh) menyita tanah berikut dengan rumah milik mantan Wali Kota Banda Aceh Zulkarnein, tersangka korupsi Rp3,5 miliar. Rumah itu dihuni istri mudanya.
Direktur Reserse dan Kriminalitas (Reskrim) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatra Barat (Sumbar) Komisaris Besar (Kombes) Tedjo Soelarso berjanji akan terus memburu keterlibatan anggota DPRD Kota Payakumbuh lainnya, setelah Ketua DPRD-nya, Chin Star dijebloskan ke tahanan pukul 18.15 WIB Rabu (2/6).
Hubungan lembaga swadaya masyarakat dan pemerintah menjelang pemilu presiden kembali menghangat. Hal ini dipicu pernyataan Kepala Badan Intelijen Negara AM Hendropriyono tentang kemungkinan pengusiran Sidney Jones (Direktur International Crisis Group di Indonesia) dan sinyalemen keterlibatan 20 LSM dalam menjual bangsa.